NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Janji di Balik Jeritan"

Pagi mulai merekah pelan-pelan, tapi goa tempat mereka bersembunyi masih menolak terang. Cahaya lembut menyelinap dari celah-celah batu, namun tak mampu menghangatkan dingin yang tinggal di dasar goa. Dan lebih dari itu, tak mampu mengusir ketakutan yang menggantung di dada mereka. Suara-suara hutan yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti bisikan maut—langkah Broto, desis pasukannya, bisa muncul kapan saja.

Di antara keheningan yang retak oleh napas gugup, Bapak Dahlan, lelaki tua yang telah melihat terlalu banyak kejamnya dunia, membuka suara. Suaranya berat, namun penuh ketegasan yang tak bisa dibantah.

"Jangan sampai kita tertangkap... Apa pun yang terjadi. Ingat apa yang terjadi pada Jajang. Mereka menyiksanya seperti hewan, tanpa ampun. Hanya karena dia mencoba bebas."

Hening. Mata semua orang tertunduk. Nama itu—Jajang—masih membekas seperti luka lama yang belum mengering. Namun, tak ada yang tahu, bahwa Liana, yang saat ini tengah menyusuri hutan bersama Johan, adalah tangan diam yang dulu membuka pintu kebebasan Jajang.

Kala itu, malam begitu gelap, dan ketakutan begitu nyata. Jajang diasingkan, dipukul karena kesalahan kecil: memanen ganja yang belum waktunya. Ia disiksa malam demi malam, tidak diberi makan, tidak diberi harapan.

Liana masih bisa merasakan bagaimana tangannya gemetar saat menyelinap dan membuka sel Jajang.

“Cepat… Pergi sebelum mereka sadar,” bisiknya waktu itu, nyaris tak terdengar.

Jajang menatapnya, sejenak, penuh syukur yang tak terucap. Namun takdir rupanya kejam. Belum jauh ia melangkah, Broto menemukannya. Liana menyaksikan segalanya dari balik semak—jeritan, hantaman, darah. Itu bukan kematian, itu penghancuran.

Suara Johan memanggil pelan, membuyarkan kenangan pahit itu.

“Lia, kamu baik-baik saja?”

Liana mengangguk. Namun ada sesuatu di matanya—seperti luka yang tak berdarah, tapi nyerinya nyata.

“Kita harus segera temukan makanan,” katanya, pelan.

Langkah mereka menyusuri hutan. Liana masih menahan perih di wajahnya. Separuh wajah dibalut perban, namun tekadnya tak setengah. Ia menolak istirahat. Dan Johan, tak mampu menolak keinginannya, memilih menemani.

Mereka mencari jamur, tumbuhan liar yang bisa disantap. Dan saat mereka kembali ke goa, peluh di dahi belum kering, tetapi mereka membawa harapan kecil: makanan untuk mereka yang kelelahan.

“Masih sakit, Lia?” tanya Johan.

“Nyeri sedikit, tapi sudah mendingan,” jawabnya, berusaha tersenyum.

“Kalau nanti sakit banget, bilang ya. Aku bawa obat penahan rasa sakit.”

“Ada obat kayak gitu? Aku selama ini cuma pakai daun-daunan. Gak nyangka ada yang praktis.”

“Ada. Dunia luar punya banyak hal yang belum kamu lihat. Nanti… kalau kita berhasil keluar dari sini, aku antar kamu ke rumah sakit. Lihat sendiri keajaiban dunia medis.”

Liana mengangguk kecil. Di dadanya, tumbuh harapan. Tipis. Tapi cukup untuk bertahan hari ini.

Sesampainya di goa, Kalmi sedang menjelaskan rencana pelarian. Suaranya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari hantaman Broto.

“Kita akan bagi dua kelompok. Kelompok kecil akan memancing pengejar ke arah berbeda—kita buat asap, seolah kita di sana. Sementara kelompok besar bergerak cepat, ke pemukiman. Asap itu akan jadi sinyal.”

“Ide bagus,” ujar Johan. “Aku ikut kelompok kecil.”

“Aku juga,” kata Liana tanpa ragu.

“Gue yang bikin rencana, gue juga ikut,” sahut Kalmi.

Ia lalu menatap orang-orang yang kini menjadi keluarganya. Dua puluh tujuh jiwa yang berharap.

“Kita butuh satu pemimpin untuk kelompok besar. Yang tahu jalan. Yang bisa bawa mereka keluar dari hutan.”

Seseorang berdiri. Seorang pria muda. Matanya jernih, langkahnya mantap.

“Saya, Pak. Nama saya Imam. Saya anak asli sini. Saya tahu rute tercepat ke pemukiman.”

Kalmi tersenyum kecil.

“Cocok. Namamu Imam, dan sekarang kau akan jadi imam bagi kelompok ini.”

Ia lalu mencoba menyegarkan suasana.

“By the way, my name is Kalmi Virza Andika… you can call me Kalmi.”

Hening. Tak satu pun tertawa.

Kecuali Johan, yang akhirnya meledak.

“Hahaha! Gua udah bilang dari dulu, Mi. Itu gak lucu! Dulu orang ketawa karena segan aja sama lo.”

Dan semua orang akhirnya tertawa. Bukan karena lelucon Kalmi lucu, tapi karena suasana itu... butuh sejenak jeda dari gelap yang menghimpit.

“Baiklah, mari kita bantu Chief kita masak makanan dulu. Nanti sore kita eksekusi rencana.”

“Oke, Chief Johan. Silakan ambil alih,” ujar Kalmi sambil terkekeh.

“Baik, saudara-saudara,” sahut Johan sambil tertawa. “Tugas kalian sekarang: potong kecil-kecil jamur dan tumbuhan yang kami bawa. Urusan masak, serahkan pada saya.”

“Baik, Chief!” serempak mereka menjawab.

Untuk sesaat, mereka lupa rasa takut. Untuk sesaat, mereka merasa seperti manusia kembali. Dalam kehangatan sederhana: tawa, rencana, dan harapan.

Dari dalam ransel besar yang telah menemani mereka sejauh ini, Kalmi dan Johan mengeluarkan bahan makanan yang tersisa—cukup untuk bertahan satu bulan jika digunakan dengan bijak. Namun waktu mereka tidak sepanjang itu. Kata Imam, rute tercepat untuk keluar dari hutan ini hanya butuh sehari lebih berjalan kaki. Tapi sehari di pedalaman Bukit Barisan tak sama dengan sehari di kota. Di sini, setiap detik terasa seperti meniti garis tipis antara hidup dan maut.

Maka Johan memutuskan: bahan makanan instan akan disimpan. Untuk kali ini, alam yang mereka injak akan menyediakan bahan makanannya. Daun-daunan, jamur, dan umbi yang aman disantap mulai diracik. Tangannya terampil menakar bumbu, mengolah apa yang ada, seperti seorang penyihir yang hafal betul mantra masaknya. Empat tabung gas kecil habis demi menyelesaikan satu panci besar sop pengisi tenaga.

Namun sebelum itu, ia memanggil beberapa nama. Suaranya tenang, tapi matanya waspada.

“Pak Dahlan, Kalmi, ayo bantu ambil air di sungai. Tapi jangan buat suara. Jejak pun jangan tinggalkan.”

Bapak Dahlan hanya mengangguk, tanpa banyak kata. Ia paham betapa mahalnya kehati-hatian saat ini. Bersama beberapa orang lainnya, mereka bergerak seperti bayangan di senja hari—hampir tanpa suara, hampir tak terlihat. Kalmi ikut membantu, matanya menyapu sekitar, memastikan tiada musuh yang mengintai dari balik pepohonan raksasa itu.

Saat mereka kembali dengan air segar yang ditadah dari sungai yang jernih, Johan mulai memasak. Aroma kaldu perlahan menyusup ke dalam rongga goa, membawa sedikit ketenangan di tengah udara yang masih basah oleh kecemasan. Walau tak sepenuhnya damai, tapi untuk pertama kalinya sejak lama, mereka merasa hangat.

Satu per satu, mereka bergiliran makan dari delapan mangkok yang tersedia. Satu sop untuk mengisi lebih dari dua puluh perut yang kelaparan.

“Hmm… sudah lama aku tak merasakan sop seperti ini,” ucap Bapak Dahlan pelan, seolah sedang mengenang masa damai yang sudah lama hilang.

“Setuju, Pak,” sahut Liana. “Sungguh, tak menyangka bisa seenak ini, di tengah keadaan begini.”

“Koki kita memang bisa diandalkan. Siapa dulu, Jooohaannn,” ledek Kalmi sambil menyengir.

“Anjir lu, Mi. Hahaha. Tapi makasih ya, Pak, Lia,” jawab Johan merendah. “Yang sudah makan, langsung istirahat, ya. Perjalanan kita dimulai nanti sore.”

Mereka pun beristirahat dalam diam, membiarkan tubuh mereka yang letih mendapat jeda, walau singkat. Kalmi dan Johan, yang baru mulai menyantap jatah mereka setelah memastikan semua kebagian, duduk berdampingan, membagi kata-kata seperti dua sahabat lama yang telah melewati banyak badai.

“Mi, aku rasa… Liana masuk kelompok besar aja, ya. Dia belum benar-benar pulih. Aku khawatir…”

Namun belum selesai Johan bicara, suara tegas memotong dari belakang.

“Nggak, aku ikut kelompok kamu aja, Jo,” ucap Liana, matanya menatap lurus ke arah mereka. “Tubuhku mungkin belum sepenuhnya pulih, tapi aku masih bisa bertarung. Aku lebih takut jika kalian jalan tanpa aku.”

“Tapi, Lia…”

“Ssst… Titik. Aku ikut.”

Liana berbalik, meninggalkan mereka begitu saja, dengan langkah yang mengeras. Ia tahu apa yang ia pilih, dan tidak butuh izin untuk bertahan bersama orang-orang yang ia lindungi.

“Hahaha… Jo, lo bisa deket sama bidadari Bukit Barisan itu gimana sih?” ledek Kalmi, berusaha memecah suasana. “Bisa tuh dijadiin calon, ya kan?”

“Kurang ajar lu, Mi. Panjang ceritanya. Tapi yang jelas, dia itu alasan kita semua bisa sampai di sini. Udahlah, yok istirahat. Biar lo nggak jadi beban kayak kemarin lagi,” sahut Johan sambil tertawa kecil.

“Anjir, Jo. Gak ada kasian-kasiannya.”

Tawa kecil mereka pun meredup seiring malam yang merambat turun, menutupi goa dengan selimut dingin dan bayang-bayang. Tapi untuk sesaat, di tengah semak belukar dan sunyi hutan yang begitu lebat, mereka merasakan kedamaian kecil—sebuah jeda sebelum badai yang akan datang.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!