Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 > Antara Hidup Dan Kehilangan
Suara alarm medis terus berdering, memecah kesunyian kamar rawat. Lampu indikator di monitor berkedip tidak stabil, grafik detak jantung salah satu janin naik-turun secara tak beraturan. Serene terbaring pucat. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya mencengkeram seprai sekuat tenaga, seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak tenggelam dalam ketakutan yang menggerogoti dari dalam.
“Dok… bayi saya…” suaranya bergetar hebat.
Seorang dokter perempuan berusia sekitar empat puluh tahun menatap monitor dengan fokus penuh. “Tenang, Nona Serene. Kami masih memantau.”
“Tapi detaknya-”
“Kami melihatnya,” potong sang dokter lembut namun tegas. “Tolong tarik napas perlahan.”
Serene mencoba menurut, meski dadanya terasa sesak. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Ia mengusap perutnya yang membuncit, seolah ingin memeluk kedua bayinya dari luar. Bertahanlah… tolong bertahan.
Di lorong rumah sakit, langkah kaki Raiden menggema keras. Jasnya masih rapi, namun wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah dan ketakutan yang bercampur jadi satu. Ponselnya masih tergenggam erat. Panggilan dari rumah sakit tadi belum sempat ia jawab sepenuhnya sebelum Aurelia mengucapkan kalimat itu.
“Kehamilan itu bukan kecelakaan biasa.” Kalimat itu terus terngiang, menusuk seperti pisau. Raiden mendorong pintu kamar rawat Serene dengan napas berat. Pandangannya langsung tertuju pada tubuh perempuan itu yang terbaring lemah.
“Serene.” Nama itu keluar dengan nada yang jarang ia gunakan. Kali ini ia benar-benar terlihat cemas.
Serene menoleh perlahan. Begitu melihat Raiden, air mata yang sempat ia tahan runtuh sepenuhnya. “Raiden…” suaranya nyaris tak terdengar. “Salah satu bayi kita…”
Raiden langsung berada di sisinya, menggenggam tangan Serene erat. “Aku di sini.”
Dokter menoleh pada Raiden. “Tuan Raiden Varendra?”
“Ya.”
“Kondisi janin kembar memang memiliki risiko lebih tinggi. Saat ini, salah satu detak jantung melemah. Kami menduga stres emosional dan tekanan fisik menjadi pemicunya.”
Raiden menatap Serene dengan rasa bersalah yang menghantam keras. “Aku minta maaf…”
Serene menggeleng pelan. “Jangan… jangan salahkan dirimu.”
Namun Raiden tahu... ini tidak sesederhana itu. Lalu... Dokter melanjutkan, “Kami akan melakukan tindakan untuk menstabilkan kondisi. Tapi saya harus jujur, ini masa kritis.”
“Kami melakukan yang terbaik,” jawab dokter tegas.
“Tapi Anda harus siap untuk segala kemungkinan.”
Segala kemungkinan? Raiden mengepalkan tangan. Tidak. Ia tidak akan kehilangan apa pun lagi.
Beberapa jam berlalu dengan lambat dan menyiksa.
Serene tertidur setelah diberi obat penenang ringan. Raiden duduk di sampingnya, tidak beranjak sedikit pun. Tatapannya kosong, pikirannya penuh.
Kata-kata Aurelia kembali menghantam.
“Tanyakan pada orang yang paling kau percaya.”
Satu nama muncul tanpa diundang. Dan semakin ia mencoba menolaknya, semakin kuat kecurigaan itu mencengkeram. Raiden berdiri pelan, menutupi Serene dengan selimut, lalu melangkah keluar kamar. Di lorong, Arlo berdiri menunggu.
“Tuan.”
Raiden menatapnya lama. Terlalu lama. “Arlo,” ucap Raiden pelan. “Aku ingin kau jawab satu hal dengan jujur.”
Arlo mengangguk. “Apa pun.”
“Siapa yang pertama kali menyarankan rumah sakit ini?”
Arlo terdiam sejenak. “Tim medis internal… atas rekomendasi-”
“Siapa?” suara Raiden menajam.
“… orang itu,” jawab Arlo akhirnya.
Raiden menghela napas panjang, menahan badai di dadanya. “Sejak kapan dia mengurus data medis Serene?”
“Sejak awal,” jawab Arlo. “Dia bilang demi keamanan.”
Raiden menoleh ke arah pintu kamar Serene. “Keamanan?” gumamnya dingin.
Arlo menyadari perubahan aura Raiden. “Tuan… apakah Anda mencurigainya?”
Raiden menatap Arlo tajam. “Aku tidak mencurigai lagi. Aku hampir yakin.”
Arlo menelan ludah. “Lantas... apa langkah Anda selanjutnya?”
Raiden melangkah maju. “Aku ingin semua aksesnya dicabut. Sekarang!”
“Dan jika dia melawan?”
Raiden tersenyum tanpa kehangatan. “Maka dia akan tahu rasanya mengkhianati Varendra.”
***
Di sebuah apartemen mewah di sisi kota lain, seseorang berdiri di depan jendela, memandangi lampu kota dengan senyum puas. Telepon di tangannya bergetar. “Ya?” jawabnya santai.
Suara di seberang terdengar tertekan. “Kondisi janin mulai tidak stabil.”
“Bagus,” jawabnya ringan.
“Tapi Raiden sudah sampai di rumah sakit.”
“Hm.” Ia terkekeh. “Biarkan dia panik.”
“Bagaimana jika dia menyadari semuanya?”
Senyum di bibir orang itu menipis. “Dia terlambat.”
Telepon dimatikan.
Sementara di meja, berkas-berkas medis terbuka rapi. Nama Serene tercetak jelas. Dan di antara dokumen itu, ada satu catatan kecil... kode obat, dosis, dan waktu pemberian. Seseorang telah bermain terlalu jauh.
Malam berganti dini hari. Raiden duduk di ruang tunggu ICU khusus. Dokter keluar dengan wajah serius. “Tuan Raiden.”
Raiden berdiri cepat. “Bagaimana kondisi mereka?”
Dokter menarik napas. “Kami berhasil menstabilkan detak jantung untuk sementara. Tapi ada indikasi… zat tertentu dalam darah Nona Serene.”
Raiden menegang. “Zat apa?”
“Kami masih menunggu hasil lab lengkap,” jawab dokter. “Namun ini bukan obat standar kehamilan.”
Mendengar itu dunia seakan berhenti. “Apakah itu berbahaya?” tanya Raiden dengan suara nyaris pecah.
“Dalam jangka panjang… iya.”
Raiden menutup mata, amarah dan rasa bersalah bertabrakan hebat di dalam dirinya. “Cari tahu!” perintahnya dingin. “Aku ingin tahu siapa yang menyentuh istriku.”
Dokter terkejut sejenak oleh kata itu... istriku? Namun, segera mengangguk. “Kami akan menyelidiki.”
Raiden kembali ke kamar Serene. Perempuan itu terbangun perlahan, matanya berkaca-kaca. “Raiden…” bisiknya. “Bayi kita?”
Raiden menggenggam tangan Serene, mencium punggung tangannya lembut. “Mereka bertahan.”
Serene terisak. “Aku takut…”
“Aku tahu,” jawab Raiden lirih. “Dan aku bersumpah… tidak ada siapa pun yang akan menyentuhmu lagi.”
Serene menatapnya lemah. “Ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
Raiden terdiam.
“Katakan padaku,” pinta Serene. “Aku tidak ingin lagi dilindungi dengan kebohongan.”
Raiden menarik napas panjang. “Ada kemungkinan… ini disengaja.”
Serene membelalak. “Apa?”
“Seseorang mungkin mencoba menyakitimu… melalui kehamilan ini.”
Air mata Serene jatuh lagi. “Kenapa?”
Raiden menatap perut Serene. “Karena anak-anak ini adalah kelemahanku.” Dan juga kekuatannya.
Sementara itu, Aurelia duduk santai di ruang makannya, memutar gelas anggur dengan anggun. Lagi-lagi ponselnya berdering. Ia langsung menjawabnya. Lalu menempelkan ponsel di telinga kanannya.
“Rencana tidak berjalan sempurna,” suara di seberang terdengar kesal.
Aurelia tersenyum tipis. “Tak apa. Ini baru pembuka.”
“Raiden mulai curiga.”
“Biarkan,” jawab Aurelia dingin. “Semakin dia mendekati kebenaran, semakin sakit saat ia tahu siapa dalangnya.”
“Dan Serene?”
Aurelia menatap bayangannya di kaca. “Perempuan itu… akan menjadi titik balik.”
“Bagaimana jika Raiden memilihnya?”
Aurelia terkekeh. “Maka aku akan memastikan pilihannya menghancurkan segalanya.”
***
Menjelang pagi, Raiden menerima laporan dari Arlo. “Tuan,” suara Arlo terdengar serius. “Kami menemukan sesuatu.”
“Apa?”
“Ada perintah perubahan dosis suplemen kehamilan. Tertanggal dua minggu lalu.”
“Siapa yang menandatangani?”
Arlo terdiam sejenak. “Nama Anda.”
Raiden membeku. “Itu… mustahil.”
“Dokumennya asli,” lanjut Arlo. “Dengan tanda tangan digital Anda.”
Raiden menatap layar ponselnya dengan mata menyala. Seseorang tidak hanya mengkhianatinya. Mereka menggunakan namanya… untuk menyakiti Serene. Raiden mengepalkan tangan.
Sementara itu di kamar, Serene terlelap dengan napas tak stabil. Raiden berdiri di ambang pintu, menatap perempuan yang kini menjadi segalanya baginya. “Siapa pun kau,” bisiknya dingin, “aku akan menemukannya.”
Dan ketika ia menemukannya… tidak akan ada jalan kembali. Namun Raiden tidak tahu satu hal... di saat ia mulai menyusun balas dendam, sebuah keputusan besar sedang dibuat diam-diam. Keputusan yang akan memisahkan Serene darinya. Bahkan untuk Selamanya.
***
To be continued