Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND~ Bab 10
Hilman berjalan santai saja memasuki pelataran rumah ibu dan bapak, yang sudah 3 hari ia inapi bersama Kai karena Kai yang merengek meminta tidur bersama eyangnya, katanya sih di rumahnya itu sepi karena Hilman yang keseringan pulang telat dan tak ada waktu untuk bermain dengannya.
Langkahnya terbilang normal saja ketika Kai justru memilih berlari dari sejak turun mobil hingga masuk rumah, "mbokkkk!" teriaknya disusul omelan ibu, "Kai...Kaisar! Tidak teriak-teriakkk, le!! Ndak boleh lari-lariii!"
Hilman menggeleng, lantas Kai ngikutin siapa cobak teriak-teriak?
Yang pertama di cari Hilman adalah Gilang. Berbicara dengan adiknya itu sebagai pejantan yang sudah akhil baligh. Netranya mengedar tak menemukan Gilang di ruang tamu dan tengah.
"Pa'lek!" jerit Kai mencari Gilang, karena hanya bersama Gilang dan para asisten rumah tangga lah teman-temannya di rumah.
Sayup-sayup ia mendengar suara Kaisar dan Gilang bercengkrama di teras belakang dan ia tau jika adiknya berada disana.
Dibukanya sepatu pantofel yang membalut kaki lalu masuk ke kamar mandi, tak butuh mengganti baju terlebih dahulu Hilman sudah tak sabar ingin berbicara pada Gilang.
Pandangannya tertumbuk pada Gilang dan Kai yang sedang berebut keripik ketela, "pa'lek harusnya ngalah sama anak kecil..." omel Kai merengut manyun saat Gilang menjauhkan toples itu dari Kai untuk dirinya sendiri sebagai bentuk keusilannya.
"Cah cilik mangannya bubur, bukan keripik..." ucap Gilang jahil.
"Eyangggg, pa'lek Gilangnya nyebelin!" maka senjata Kai saat itu adalah mengadu pada ibu.
"Tapi gigiku kuat, udah bisa ngunyah keripik. Aku juga udah disunat to...pertanda kalo aku udah gede!" ocehnya lagi memancing tawa Gilang.
Hilman menghampiri dan mengusap rambut lurus legam berpotongan seperti mangkok itu hingga putranya itu beralih mengadu padanya, "yanda lihat pa'lek Gilang! Pelit." ia mendongak dengan wajah memelas dan mata kubangannya.
"Padahal aku sayang pa'lek loh! Ndak mau kalo nanti kuburan pa'lek sempit." ocehnya lagi, mengenai kuburan...Hilman semakin ingat sesuatu padahal Gilang saja sudah tergelak mendengar ocehan Kai.
"Ndak papa, nanti kalo sempit. Pa'lek datengin Kai di mimpi, mau minta tolong kuburan pa'lek diluasin kalo bisa dikasih arena buat main lego!"
"Mana bisa?!" lengkingannya kuat, namun sejurus kemudian ia mendongak pada Hilman yang ketinggiannya bikin leher Kai kecengklak, "emang bisa yanda?"
Hilman menggeleng, "tak ada harta seorang makhluk hidup pun yang akan dibawa ke liang lahat." Jelasnya lagi, "Kai sudah makan? Kai bahkan belum ganti baju, coba sana ganti baju dulu terus makan bareng mbak Sri.." pintanya mengusir secara halus putranya itu, agar tak mengganggu pembicaraan serius yang akan terjadi antara dirinya dan Gilang.
"Sri!" panggilnya pada pengasuh sang putra. Tak lama seorang berpakaian suster pengasuh yang usianya masih muda itu hadir di hadapan, "bawa Kai mengganti pakaiannya dan makan."
"Njih pak. Ayo den..." ajaknya.
"Yandaaa.. Kai mau keripik to, bukan makan," rengeknya lesu.
Gilang mengulas senyuman, "nih, bawa sama toples-toplesnya, tapi dimakan kalo kamu sudah makan nasi. Seperti kata yanda," serahnya memantik garis senyum menampilkan gigi ompong di bagian depan milik Kai.
Pandangan keduanya masih lekat ke arah hilangnya Kai bersama mbak Sri, lalu deheman Hilman membuat Gilang mengalihkan pandangannya.
"Betul yang ibu bilang, Lang?" Hilman menggeser kursi kayu mendekatkan posisinya dengan Gilang.
Pandangannya beralih menatap pohon bungur seperti yang ditanam di butik Ambar. Dedaunannya seperti melambai bebas dan bahagia, karena tekstur daun yang terlihat hijau nan lebat.
"Iya, mas."
"Lang---"
"Aku kepengen merasakan apa yang lelaki normal rasakan mas, sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia fana ini." tukasnya memotong ucapan Hilman, "kenapa? Mas ndak suka aku langkahi lagi to? Atau menurut mas aku belum cukup besar? Apa orang sepertiku tak boleh jatuh cinta, tak boleh merasakan apa yang lelaki normal lain rasakan?" jawabnya berapi-api, ibu yang baru saja selesai mengganti pakaiannya keluar menghampiri kedua putranya di teras belakang.
Sejuknya udara disini membawa serta perasaan campur aduk yang didominasi perasaan sedihnya sebagai seorang ibu, permintaan Gilang itu seolah-olah sudah menjadi patok yang pasti jika putra bungsunya itu benar-benar akan pergi dari pelukannya untuk selamanya dalam waktu dekat.
"Jangan ngomong seperti itu! Kamu ndak akan kemana-mana, jodoh, maut itu kersaning gusti! Jangan melangkahi! Kita sedang ikhtiar!" bentak ibu tak terima, dan Gilang hanya mengulas senyum perih, "mas tau Cerenia Aqila Yumna?" baliknya bertanya. Hilman mengernyitkan alis, "apa---"
"Ya. Dia adalah gadis yang mau Gilang persunting. Gilang menyukainya..."
"Sin ting kamu, Lang! Yang benar saja!" Hilman sampai terjengkat karena terkejut, ia bisa terima jika gadis yang dimaksud adalah gadis baik-baik, minimal pilihannya atau ibu, tapi Ceren....ia lebih tau siapa siswinya itu.
"Napa to?! Dia anak pak Harun, kan..." ibu ikut terkejut dengan keterkejutan Hilman.
"Semua orang menganggap dia nakal, mas. Dia badung, banyak tingkah. Tapi Gilang lebih tau bagaimana kepribadian dia yang sebenarnya..."
Ibu hanya bisa menyimak dengan kernyitan di dahi saat 2 putranya itu mendebatkan Ceren.
"Tau darimana? Kamu mengenalnya saja baru, kan?! Jangan mengada-ada, Lang!" debat Hilman.
Gilang menghela nafasnya lelah, rasa pusing yang mendera sudah menjadi teman hidupnya, "Gilang hanya mau dia, mas. Jika kalian tanya apa permintaan terakhir Gilang, maka sampai akhir nafas terakhir pun Gilang hanya mau Ceren..." jawabnya, sedetik kemudian alisnya mengernyit menahan kepala yang terasa akan pecah, dan lelehan cairan kental berwarna merah meluncur begitu saja dari hidung Gilang.
"Astaghfirullah!" Ibu segera mengambil tissue, dan Hilman ikut membantu dengan mengambil air minum, "mbok!"
"Ya Allah..." jika sudah begini ibulah orang yang sering menangis, "sudah. Jangan terlalu dipikirkan, jadi begini kan....jangan dibawa jadi beban, nanti kamu harus nginep lagi di rumah sakit." ucap ibu.
Gilang kembali mengulas senyum seraya menahan laju da rah di hidung, "cuma kambuh sedikit aja bu, pusingnya. Aku ndak papa..."
Kini pandangan ibu beralih pada Hilman dan memandangnya penuh sorot memohon, sampai putra pertamanya ini lebih memilih pergi begitu saja. Dari sikap Hilman inilah, Gilang dapat menyimpulkan bahwa kakaknya itu tidak merestui permintaannya itu.
"Biar ibu yang datang ke rumah pak Harun." Ujar ibunya, "dengan atau tanpa restu masmu."
Ceren masih saja rebahan di kursi panjang tengah rumah dengan kaki yang menggantung sambil mainan hape.
"Pak, buruan to...udah telat ini, bapak mau dihukum sama bu Ambar?!" teriaknya semangat, sekali-kali ia yang menegur berteriak begini, jangan bapak saja yang sering begitu saat ia terlambat ke sekolah.
Hingga sebuah mobil mewah tiba di depan rumahnya.
Langkah selop kayu terdengar seperti suara sepatu kuda di lantai keramik putih yang beberapanya sudah terdapat retakan.
"Permisi, assalamu'alaikum..."
Pluk!
Suara renyah ponsel yang beradu dengan tulang pangkal hidungnya membuat Ceren mengguguk layaknya temen guguk, "anjirrrr!"
Ia mengusap area yang terkena jatuhan ponsel dengan mata yang sedikit berair, "sakit co! Siapa sih?!" omelnya geram.
Ia lantas bangkit ingin menyembur tamu yang secara tak sengaja sudah membuat pangkal hidungnya kini nyut-nyutan pegal bukan main, untung saja tulang hidungnya bukan terbuat dari tahu. Jadi ngga ancur!
Assalamu'alaikum!
Kembali suara itu bergema menyebalkan di telinga Ceren, ingin rasanya ia memaki dan menyuguhi tamu itu dengan gagang sapu, saat datang bapak yang sudah rapi dengan stelan batik dan celana bahannya bersiap untuk pergi bekerja.
"Siapa Ren? Ada tamu bukannya dibukain..." bapak melengos melewati Ceren sambil membawa sepatu pantofel yang ditentengnya untuk dipakai, sudah dipakein semir jadinya kinclong sekinclong jidatnya.
"Tau ah! Gara-gara dia nih, idung Ceren kejatohan hape! Siapa sih!" omelnya.
Ceklek.
"Bu Ambar!" seru bapak, Ceren yang masih sibuk mengusap pangkal hidung dan merutuki kejadian barusan seketika berlari ke arah kamarnya untuk bersembunyi saat bapak menyebutkan salah satu nama yang tak boleh disebutkan namanya.
Angin terasa berhembus kencang sekelebat melewati punggung bapak ketika Ceren secepat kilat berlari persis setan.
"Pak Harun bisa saya bicara.. "
(......)
Setelah melewati perdebatan sengit, penuh drama dan air mata serta da rah pengorbanan, bapak hanya bisa menoleh pada Ceren yang ada di sampingnya dengan tatapan getir, sudah menolak pun rasanya penolakan bapak tak masuk sampai otak dan hati kekeh sumekehnya bu Ambar.
Begitupun Ceren yang menolak dengan penuh akal sampe memasang mata berairnya, tak serta merta bisa mengalahkan niat keras seorang ibu dari bu Ambarwati. Maka senjata terakhir yang ia gunakan adalah kekuasaan.
"Jika kalian tidak dapat menolong, dan tak mau mewujudkan permintaan Gilang, maka dengan berat hati saya memecat pak Harun secara tak hormat."
"Loh...loh! Tapi itu ngga pro----" Ceren membulatkan matanya.
"Jangan berbicara keprofesionalitasan dengan saya..." potong bu Ambar, ia beranjak dari duduknya dengan wajah yang sudah tak berekspresi lagi, karena usahanya sia-sia belaka, "saya hanya meminta sampai waktunya tiba saja...Tidak meminta lebih, bahagiakan Gilang. Tidak sulit toh?! Tidak lama, dokter bilang hanya beberapa bulan lagi. Pernikahan pun ndak usah rame-rame, keluarga besar ndak usah tau...kalo bisa siri saja..." ia meloloskan kembali lelehan air mata yang menganak sungai.
"Nduk," hangatnya tangan bapak merambat di tangan dingin Ceren, hingga membuat Ceren terasa terjepit begini, begitu banyak alasan yang membuat hatinya 60 persen ingin meloloskan kata iya. Tapi jika menurut pada hati, maka 100 persen ia tak mau.
"Bagaimana? Jika tidak, siang ini, pak Harun tak usah datang kembali ke butik, biar saya cari jodoh Gilang sekalian cari supervisor baru..." Bu Ambar mulai melangkah keluar.
Refleks Ceren ikut berdiri, "oke."
Bu Ambar akhirnya tersenyum lega, berbanding terbalik dengan Ceren yang kini hatinya sudah ditumpuki beban begitu berat hingga ia merasa dirinya begitu sesak.
.
.
.
.
.