Dikhianati adik sendiri tentu akan terasa sakit, apa lagi ini soal cinta.
karena kesibukan Anya yang bekerja, dirinya selalu membuat sang kekasih berdekatan dengan sang adik, tidak tahu ini salah cinta atau salah Anya yang tak bisa menjaga kekasih nya.
sampai menjelang hari pernikahan dia baru tahu jika sang kekasih menghamili sang adik.
Bisakan Anya keluar dari bayang-bayang pengkhianatan cinta dan menemukan cinta baru dari lelaki lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewiwitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang buruk
POV Anya.
"Anya."
Masih pagi nih jangan buat mood aku hancur ya, aku lagi banyak kerjaan di kantor. Kalau mood ku sampai hancur kerjaan ku pun tidak akan beres.
Masih jam tujuh pagi. Dan aku sudah berpapasan dengan mas Akbar, kali ini dia mau apa.
"Ada apa?"
Aku malas sekali sebenarnya menanggapi, tapi aku enggak bisa menghindar terus aku harus tegas kalau tidak nanti yang ada semua orang bisa menganggap aku belum melepaskan mas Akbar.
"Mas mau bicara."
"Silahkan."
Aku mempersilahkan mas Akbar bicara, mataku memandang tak suka kearah dasi yang dia kenakan. Itu dasi yang aku berikan untuk hadiah anniversary kami dulu.
"Mas mau minta maaf, maaf kalau mas menyakiti kamu sedalam ini. Tapi yang harus kamu tahu, mas masih sangat mencintai mu."
Aku sebenarnya sudah muak dengan pembicaraan ini, bahkan sebelum mas akbar menikah. Aku sudah memberi peringatan kepadanya agar tidak membahas masalah ini lagi terlebih dengan ungkapan cintanya, bagi ku ini sudah tidak ada gunanya lagi semua sudah selesai. Aku dan mas Akbar benar-benar selesai.
"Aku sudah pernah bilang sama kamu mas, jangan pernah ungkit masalah ini. Aku sudah mengihklaskan semuanya, aku menganggap bawasanya kamu dan aku memang tidak berjodoh."
Aku menatap tajam kearah mas Akbar, disana matanya terlihat memerah dan berkaca-kaca. Aku muak dengan sandiwaranya yang seolah dirinya menyesali perbuatannya.
"Tolong jangan pernah mengatakan kamu masih mencintai aku, disaat jari tangan mu sudah dilingkari cincin pernikahan dengan wanita lain."
Aku beranjak pergi dari hadapan mas Akbar sebelum orang rumah mendengarkan semua percakapan kami, tapi saat aku melangkah mas Akbar menarik tangan ku kemudian mendekap aku kedalam pelukannya cukup erat.
"Lepasin mas, kamu apa-apan sih."
Aku meronta memukul punggung mas Akbar, pelukan ini adalah pelukan yang selalu kurindukan pelukan yang selalu menguatkan hati ku dikala aku putus asa dan ingin menyerah dalam segala hal usaha ku tapi itu dulu.
"Sebentar saja Anya."
Suara mas Akbar lirih dan bergetar, aku bisa merasakan kini tubuhnya ikut bergetar. Aku yakin dia sedang menangis, ekting mu cukup bagus mas biar apa sih kayak gini enggak ada gunanya untuk apa tangisan dan air matanya, semalam aku sangat jelas melihat dia bahagia dengan pernikahannya dan juga kehamilan Andira.
"Anya maafkan saya."
Setelah mengucapkan kata itu, mas Akbar berlalu pergi meninggalkan aku yang masih senantiasa menahan emosi.
"Biar apa sih, nangis-nangis di pelukam gue. Lo pikir semuanya akan kembali."
Aku tak mau ambil pusing, aku harus bersiap pergi kekantor. Tak ada waktu untuk menangis, bagi ku cukup tadi malam saja.
Tak lama aku sudah berpakaian rapih, tapi satu yang mengganggu ku. Bagaiman aku pergi kekantor mobil ku sedang berada di bengkel karena insiden kecelakan kemarin.
Tiba-tiba pintu kamar ku di ketuk dari luar dan seseorang memanggil nama ku, sepertinya itu suara mama.
"Ada apa ma?"
"Di depan ada Raka, katanya mau jemput kamu berangkat ngantor."
Aku sedikit mengernyitkan kening ku perasaan tadi malam dia tidak bilang mau menjemput ku, lalu aku cek handphone ku siapa tahu ada pesan yang belum terbaca dan nihil tak ada chat atau telvon dari mas Raka.
"Kok malah diam, sana temuin kasihan Raka nya nunggu lama."
"Ahh, iya sebentar. Anya ambil tas dulu."
Mama kembali turun kelantai bawah, mungkin menemuia mas Raka kembali.
Aku perlahan menuruni anak tangga di rumah, di bawah aku tak sengaja melihat Andira dan mas Akbar tengah asyik sarapan. Mereka saling suap tak lupa juga senyuman khas pengantin baru yang tak pernah luntur.
Emang buaya, baru aja tadi nangis di pelukan aku. Ini udah romantis syekali sama mbak istri.
"Mbak Anya enggak sarapan dulu, mama masak nasi goreng kesukaan mbak."
Aku berhenti sejenak, lalu kutatap sinis ke arah Andira.
"Makasih, gue sudah kenyang tadi habis sarapan air mata buaya."
Sontak saja ucapan ku membuat Akbar meletakan sesuap nasi yang akan dia makan ke atas piring, kini raut wajahnya berubah menjadi sendu.
Enggak usah sok sedih dasar, buaya.
Sebelum aku pergi aku memberikan satu petuah untuk Andira yang aku yakin akan membuat senyuman manis di wajahnya luntur.
Maaf ya aku bukannya jahat, tapi kamu harus sadar diri.
"Andira, lo udah menikah udah mau jadi seorang ibu. Tolong belajar mengurus rumah tangga. Setidak nya bangun pagi dan bantu masak mama sebisa lo, mama gue bukan pembantu lo."
Sarkas, perkataan ku cukup sarkas. Aku hanya ingin Andira mandiri setidaknya dalam hal mengurus rumah tangga nya, lama-lama aku kasihan sama mama. Mama sudah repot di butiq jadi aku enggak mau mama juga repot ngurusin kemauan Andira yang kadang keterlaluan manjanya.
"Maaf mbak, nanti aku belajar."
"Bagus deh, percaya diri itu penting tapi sadar diri juga pelu."
Kaki ku mulai melangkah meninghalkan ruang makan, aku tidak tahu itu masih bisa di sebut ruang makan atau ruang berdebat karena belum juga dua langkah aku berjalan. Mas akbar sudah mendebat ku.
"Anya, kalau kamu benci sama aku. Setidaknya lampiaskan sama aku, jangan ke Andira."
Aku berbalik lalu ku tatap tajam manusi-manusia yang tak tahu malu ini.
"Kenapa kalau gue lampiasin ke Andira, situ sakit hati."
"Anya, kamu banyak berubah. Dulu kamu enggak pernah kasar seperti ini saat bicara."
Mas Akbar sedikit menaikan bibirnya, lalu kemudian dia membicarakan omong kosong tentang aku dan Raka.
"Aku mengerti sekarang, kamu sudah di pengaruhi oleh Raka oleh lelaki yang selalu ikut campur urusan kita dan selalu membela mu."
Ucapanya membuat aku semakin emosi, rasanya ingin sekali aku memukul wajah angkuhnya itu dia yang salah tapi masih saja mencari kambing hitam.
"Jaga bicara anda!"
Aku terkejut, ternyata mas Raka sudah berdiri di belakang ku. Aku sedikit tak enak, karena mas Raka jadi terseret dalam perdebatan ini.
"Cih, lelaki macam apa yang mau mendekati kakak dari mantan calon tunangan nya."
Wah, rasanya aku ingin memberikan hadiah kaca untuk mas Akbar. Aku tak menyangka ternyata mas Akbar cukup tidak tahu malu, kenapa aku bisa menjalin hubungan dengan lelaki semacam mas Akbar. Aku menyesal telah mengangisi lelaki tak tahu malu itu semalaman, sayang-sayang air mata ku.
"Cukup! Mas Raka enggak salah. Lo yang salah, lo lupa kalau tunangan mas Raka udah lo rebut dan parah nya dia adalah adik dari calon istri lo sendiri."
Seketika suasana menjadi sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara. Perkataan ku menjadi pukulan berat untuk mas Akbar.
"Mbak Anya, udah mbak. Aku minta maaf, maaf kalu aku udah rebut kebahagiaan mbak Anya."
Sungguh aku sudah muak dengan derama air mata ini, aku ingin pergi dari rumah ini.
"Ayok mas Raka kita pergi."
Aku menggandeng tangan mas Raka, aku ingin menghampiri Mama dan berpamitan tapi mas Akbat lagi-lagi berbicara omong kosong tentang aku dan mas Raka.
"Atau jangan-jangan dari awal kalian sudah dekat, kalian main di belakang kami."
Aku merasakan tangan mas Raka yang ingin melepas genggaman ku, tapi aku mengeratkan genggaman itu. Aku tak mau mas Raka terpancing emosinya dan berujung berkelahi.
"Kenapa diam, jadi semuanya benar. Kalian selalu menyalahkan kami tapi ternyata kalian juga bermain di belakang kami."
Aku sungguh sudah tak tahan lagi dengan perkataan mas Akbar yang semakin lama semakin melantur, sontak saja aku menarik mas Raka untuk keluar dari rumah setelah aku berpamitam dengan mama.
Jujur aku tak enak dengan mas Raka, gara-gara permasalhan ku dengan mas Akbar kini namanya jadi tercemar.
Aku dan mas Raka sudah masuk ke dalam mobil, dari dalam aku melihat mama denga raut wajah nya yang sedih di tambah air mata yang tak hentinya keluar dari sudut matanya. Aku ingin turun dan memeluk mama tapi aku melihat di sana ada Andira yang ngusap bahu mama.
"Jangan sedih."
Aku menatap kearah mas Raka.
"Kasihan mama, pasti mama sedih lihat anak sama menantunya ribut."
Aku tidak tahu kenapa aku cengeng sekali, ini pertama kalinya aku menangis didepan orang selain orangtua ku dan mas Akbar.
"Jangan nangis ya."
Mas Raka dengan sigap mengusap bahuku agar aku bisa sedikit tenang dan berhenti menangis tapi bukannya berhenti air mata ku justru semakin deras.
"Mas tau, mama selalu cerita ke aku. Kalau mama mau masa tuanya nanti hidup serumah sama anak-anak nya dan juga menantunya. Mama enggak mau jauhan sama anak-anaknya, mama mau masa tuanya di kelilingi sama cucunya."
Aku semakin terisak jika mengingat perkataan mama waktu itu, waktu itu aku habis di lamar mas Akbar dan mama sangat terlihat bahagia kemudian mama mengutarakan mimpinya yang sudah dirancang sejak lama.
"Tapi semuanya pupus semuanya hanya tinggal mimpi, aku yakin mama pasti kecewa mas. Aku udah kecewain mama."
"Anya berapa kali mas bilang sama kamu, kamu enggak salah. Ini bukan mutlak kesalahan kamu, kamu memang tidak jodoh dengn Akbar."
Perlahan mas Raka membawa ku kedalam pelukanya, dia mengusap lembut kepala ku bahkan aku samar merasakan kalu mas Raka memberi kecupan di ujung kepala ku.
"Udah jangan sedih lagi, kita lanjut berangkat ngantor keburu siang."
Aku mengangguk kemudian menjauh melepaskan diri dari pelukan mas Raka.
"Maaf soal perkataan mas Akbar, jangan di ambil hati ya mas."
"Tenang aku enggak baperan kok."
Mas Raka tersenyum lalu melajukan mobilnya menuju kantor, tadi dia bilang kalau dia tidak baper. Bohong sekali aku tadi bisa merasakan kalau mas Raka sudah terpancing emosinya mungkin kalau tidak ku cegah mas Raka dan mas Akbar akan baku hantam.
Lelahnya derama percintaan orang dewasa.
biar aman dari adik durjana Thor