Dara anak seorang pembantu di jodohkan dengan seorang pewaris tunggal sebuah perusahaan karena sebuah rahasia yang tertulis dalam surat dari surga.
Dara telah memilih, menerima pernikahannya dengan Windu, menangkup sejumput cinta tanpa berharap balasannya.
Mampukah Dara bertahan dalam pernikahannya yang seperti neraka?
Rahasia apa yang ada di balik pernikahan ini?
Mampukah Dara bertahan dalam kesabaran?
Bisakah Windu belajar mencintai istrinya dengan benar? Benarkah ada pelangi setelah hujan?
Ikuti kisah ini, dalam novel " Di Antara Dua Hati"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 JANGAN SALAHKAN AKU
"Aku akan tidur di sini malam ini...!" Wajah Windu yang dingin itu dengan tajam menatap Dara, lalu dengan kasar mendorong pintu lebih lebar, melangkah masuk dengan langkah panjang melewati Dara yang tercengang, masih di depan pintu.
"Aku tidak mau kita sekamar." Dara menyahut dengan masih berdiri memegang gagang pintu, seolah berharap Windu berbalik dan mengurungkan niatnya untuk berada di dalam kamar itu.
"Aku mau kita sekamar malam ini. titik." Windu menuju tempat tidur dan mengambil bantal dari sana. Sesaat dia menoleh kepada Dara yang mematung dengan wajah tegang mengamati setiap gerakannya.
"Tapi aku tidak mau!" Akhirnya Dara menyahut dengan volume tinggi. Dara benar-benar kesal luar biasa dengan sikap arogan Windu.
"Kamu mau atau tidak, bukan urusanku. Yang pasti malam ini aku tidur di sini. Jadi, kembalilah ke tempat tidurmu sekarang." Windu menepuk-nepuk sofa bed di bawah kaki tempat tempat tidur.
Sekarang, Dara hanya membeliak kepada Windu, mulutnya terkunci, tapi piasnya merah padam.
"Jangan terlalu keras kepala, hanya membuatmu tambah sakit saja. Lebih baik beristirahat saja, jika ingin bertengkar masih banyak waktu besok hari." Lanjut Windu.
"Dan lagi, kamu masih berstatus istriku. Seorang istri tidak pantas melotot begitu pada suaminya." Windu mengambil tempat di sofa bed, berbaring di sana dengan acuh.
istri? Istri macam apa yang diperlakukan seperti sampah, di maki dan di cerca sesuka hati? Dan suami seperti apa pula dirimu, merasa pantas dihormati, sedangkan dirimu sendiri tak bisa menghargai perasaan orang?
Hati Dara seolah berteriak, mendengar kalimat sinis yang diucapkan Windu barusan.
Dara menutup kamar supaya suara perdebatan mereka tidak terdengar oleh penghuni rumah yang lain.
Sejurus kemudian Dara menatap ke arah Windu yang dengan cuek memejamkan matanya, sementara lengannya di atas dahinya, seolah dia bersiap akan tidur.
"Aku tidak mau terjadi kesalahpahaman lagi antara kita. Aku benar-benar tidak ingin nanti memunculkan tuduhan macam-macam padaku."
"Hanya malam ini." Sahut Windu pendek.
"Apa lagi yang ingin tuan muda lakukan padaku?" Dara melontarkan pertanyaan itu dengan nada sindiran.
"Aku tidak ingin melakukan apa-apa, jangan terlalu ge-er." Windu menjawab tanpa sekalipun membuka matanya.
"Oh, iya...tidak perlu memanggilku tuan muda-tuan muda terus dari tadi, rasanya membuat telingaku sakit. Bersikap normal saja, panggil saja aku kak Windu seperti biasanya lebih enak di dengar, statusmu tidak perlu dipertegas begitu, semua orang juga tahu, aku tuan muda di rumah ini, tidak harus di katakan lagi." Windu membuka sebelah matanya, seakan ingin melihat reaksi Dara.
"Penghinaan apa lagi yang ingin kamu berikan padaku? Apa tidak puas kamu merendahkanku?" Sekarang Dara memberanikan diri bertanya dengan tajam. Dia tidak mau lagi membuat Windu merasa di atas angin.
Meskipun dia sangat menghormati status Windu sebagai tuannya dari semula tapi untuk saat ini dia sudah kehilangan rasa sungkan lagi.
Windu telah benar-benar membuatnya tak punya rasa takut lagi, apalagi sebentar lagi dia berencana melayangkan seribu surat cerai kepada Windu, supaya Windu tahu dia sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan pernikahan mereka meskipun dia sebenarnya jatuh hati sejak lama pada laki-laki itu.
"Sudahlah, kamu kan yang ingin menjadi istriku? nikmati saja..." Windu menjawab dengan santainya.
"Kenapa kamu suka sekali menyiksaku?" Air mata Dara hampir keluar, karena emosi yang berusaha di tahannya.
"Aku tidak sedang menyiksamu. Seharusnya kamu berterimakasih aku menemanimu malam ini. Jangan mewek begitu." Windu sekarang membuka matanya, menatap tajam ke arah Dara.
"Aku tidak perlu di temani." Dara berbalik hendak keluar dari kamar itu, lebih baik dia tidur di dalam pavilliun pembantu daripada sekamar dengan orang yang jelas-jelas begitu bahagia merendahkan harga dirinya.
Sebuah cengkeraman di lengannya membuat langkah Dara terhenti di depan pintu.
"Dokter Niko bilang kamu tidak baik-baik saja! Jadi kembali ke tempat tidurmu sekarang!!" Nada perintah setengah membentak itu membuat Dara terdiam di tempatnya seketika.
Windu mencemaskannya karena dia sakit? rasanya Dara hendak tertawa terbahak-bahak, sebuah alasan yang tidak masuk akal.
Dara berusaha memberontak tapi Windu telah memutar tubuhnya, menghadap ke arahnya.
Mereka berhadapan dengan wajah terpisah hanya beberapa centi.
"Aku tidak suka di bantah." Windu mendesis di depan wajah Dara.
"Kamu hanya istri warisan dari mama. Bersikap baiklah." Lanjutnya dengan suara yang kejam.
"Aku juga manusia, kak Windu...aku juga manusia..." Dara berucap dengan suara parau.
"Meskipun aku hanya anak pembantu, yang dinikahkan oleh ibumu padamu, tolong jangan limpahkan semua kesalahan padaku hanya karena tidak bisa berbuat apa-apa dengan takdirku. Apa lagi yang ingin kau lakukan padaku? Apakah tidak cukup penghinaan yang kuterima? Bahkan anjing sekalipun tidak akan memperkosa pasangannya!!" Dara tak bisa lagi menahan luapan perasaannya, airmatanya turun begitu saja sembari dia mengucapkan kalimat itu dengan ketus di depan wajah Windu.
"Jika memang perceraian akan membuatku berhenti menerima penghinaan darimu, maka aku akan melakukannya, apapun konsekwensinya!"
Windu sesaat seperti tercengang, tak pernah dia melihat dengan jelas mata gadis ini, yang biasanya bening kini berkilat merah dipenuhi amarah, sementara air mata mengalir dipipinya yang putih pucat itu.
"Sudah...sudah! Kamu hanya perlu tidur saja, besok pagi aku akan keluar sendiri tanpa perlu kamu menyuruhku." Windu menarik tangan Dara dan mendorongnya ke tempat tidur.
"Aku tidak akan menyentuhmu, jika kamu mencemaskan hal itu. Otakku dalam keadaan sadar, aku tidak sedang mabuk! Jadi, aku tak akan membuatmu takut lagi." Windu pergi menuju pintu dan menguncinya.
Airmata Dara turun dengan deras, tapi sama sekali tak bersuara. Tak ada isakan ataupun sedu sedan. Dia benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi.
Windu berjalan kembali menuju sofa bed di kaki tempat tidur besar yang seharusnya menjadi tempat tidurnya dan Dara itu.
Kemudian dengan acuh tak acuh membaringkan tubuhnya di sana.
Suasana hening sesaat, hanya Dara yang masih duduk dengan wajah bersimbah air mata.
Dia benar-benar merasa mulai membenci Windu, dia membenci semua perlakuan lelaki itu padanya.
Windu kembali ke posisinya, meletakkan lengannya di atas dahi, membiarkan Dara terpekur sendiri mengamati dirinya. Dia sepertinya tidak perduli sama sekali perasaan Dara.
Hening seketika, hanya suata detak jam dan helaan nafas mereka yang terdengar dalam sepi.
Dara menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya, persis seperti posisinya saat dia begitu ketakutan di malam pertamanya dengan Windu, hanya bedanya sekarang dia tidak takut lagi. Dia hanya begitu sedihnya meratapi nasibnya.
"Dara..." Tiba-tiba suara Windu terdengar datar memecah sunyi.
Pertama kali Dara mendengar Windu memanggil namanya.
...Terimakasih sudah membaca novel ini❤️...
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan😊...
...I love you all❤️...
Terimakasih
Rangkaian katanya indah tapi mudah dimengerti.
Karakternya tokoh2nya kuat,
Alurnya jelas, jadi tidak melewatkan 1 kalimatpun,
Sekali lagi Terimakasih 🙏🙏🙏🙏🙏
author pandai merangkai kata.
tapi tak pandai memilih visual windu, ga cocok tor sama dara haha maap ya tor 🙏