Kisah yang menceritakan tentang keteguhan hati seorang gadis sederhana, yang bernama Hanindya ningrum (24 tahun) dalam menghadapi kemelut rumah tangga, yang dibinanya bersama sang suami Albert kenan Alfarizi (31 tahun)
Mereka pasangan. Akan tetapi, selalu bersikap seperti orang asing.
Bahkan, pria itu tak segan bermesraan dengan kekasihnya di hadapan sang istri.
Karena, bagi Albert Kenan Alfarizi, pernikahan mereka hanyalah sebuah skenario yang ditulisnya. Namun, tidak bagi Hanin.
Gadis manis itu, selalu ikhlas menjalani perannya sebagai istri. Dan selalu ridho dengan nasib yang dituliskan tuhan untuknya.
Apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka?
Dan bagaimana caranya Hanin bisa bertahan dengan sikap dingin dan tak berperasaan suaminya?
***
Di sini juga ada Season lanjutan ya say. Lebih tepatnya ada 3 kisah rumah tangga yang akan aku ceritakan. Dan, cerita ini saling berkaitan.
Selamat menikmati!
Mohon vote, like, dan komennya ya. Makasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shanayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Malam kian larut, semua orang sudah memasuki kamar mereka masing-masing. Tak terkecuali pasangan suami istri yang ada di lantai atas.
Hanin baru keluar dari kamar mandi, mendudukkan tubuhnya di meja rias. Memakai cream malam, dan pelembab kulit. Hal rutin yang biasa dilakukannya sebelum tidur.
Hanin melirik suaminya yang berdiri dibalkon kamar. Terdengar percakapan disana, bertanda kalau dia sedang menelpon seseorang. Dari caranya berbicara, Hanin tau kalau yang ditelpon oleh Kenan pastilah kekasihnya.
"Hm.. apa tidak cukup acara bermesraan di mobil tadi siang? Lagian kenapa nggak dijumpai aja coba, pacarnya kan ada di bawah." Hanin bergumam.
Setelah selesai dengan ritualnya, Hanin berjalan menuju ranjang. Bukan untuk tidur, melainkan untuk mengambil salah satu bantal yang akan digunakannya untuk tidur diatas sofa yang ada di depan ranjang.
Gadis itu merebahkan tubuhnya, menarik selimut hingga dada. Meraih HP, memeriksa beberapa pesan yang sejak tadi sore tak sempat dibuka.
Ada beberapa pesan yang datang dari Puri karyawannya. Juga, dari pria yang dulu pernah singgah di hatinya.
"Hanin, apa kalian sudah sampai?"
Begitulah kira-kira tulisan yang tertulis dilayar benda pintar itu.
Terlihat, dia mulai membalas beberapa pesan yang dianggapnya perlu, termasuk pesan dari sakala.
"Alhamdulillah sudah mas, kami sampai jam 6 sore tadi."
Hanin sudah mengirim balasan pesannya.
Tak lama, HP gadis itu kembali bergetar, sebuah panggilan suara masuk, dan tertulis nama Sakala di sana.
"Assalamualaikum mas." Hanin menyapa sang penelpon.
"Waalaikum salam, Gimana perjalanannya Nin, lancar?" Terdengar suara dari pria di seberang sana.
"Alhamdulillah mas."
"Nin, besok ibuk sama putriku Shanum mau datang ke sini. Mereka minta kamu yang jadi pemandu wisata selama mereka disini."
"Oh ya, InsyaAllah ya mas. Tapi aku baru bisa balik lusa." Hanin memiringkan tubuhnya kearah sandaran sofa.
"Ndak papa nin, ibuk rencananya bakalan seminggu disini." Pria tadi kembali berucap.
"Sukurlah kalau gitu, besok kalau sudah pulang, aku bakalan mampir kesana ya mas."
"Makasih ya Nin, maaf sudah merepotkanmu."
"Ndak papa mas, ibuk mas kan Bukde ku sendiri. Jadi jangan terlalu sungkan."
"Ya sudah, kalau gitu selamat istirahat ya Nin. Kalau ndak keberatan mimpiin mas ya." Terdengar kekehan dari seberang.
"Ih, ogah..." Hanin ikut tersenyum.
"Hahaha.. Assalamualaiku."
"Waalaikum salam." Hanin melepas HP dari telinganya.
Gadis itu masih tersenyum, dia kembali menelentangkan tubuhnya. Hanin terkejut saat melihat Kenan sudah duduk di atas meja, di depan sofa tempat dia berbaring.
Sontak gadis itu mendudukkan dirinya.
"Ke..kenapa mas, apa mas butuh sesuatu?" Suara Hanin tercekat, gugup.
Pria itu hanya diam, dia terus menatap mata Hanin, dalam. Gadis itu semakin bingung, dia tidak tau harus apa. Hanin hanya bisa berusaha mengalihkan perhatian matanya ke arah lain.
Kenan mendekat. Pria itu mendudukkan dirinya tepat disebelah sang istri.
Membuat gadis itu kian gelisah, Hanin menggeser tubuhnya, saat merasakan paha Kenan menempel pada pahanya.
Namu, di luar dugaan. Kenan malah menarik lengan Hanin, membuat tubuh gadis itu terbenam pada dada bidangnya. Hanin tersentak, dia menggeliat, berusaha melepaskan kungkungan pria itu.
"Mas, apa yang mas lakukan? Lepaskan aku!" Hanin menarik tangan Kenan yang telah melingkar kuat di pinggangnya. Namun, kekuatan otot pria itu tak sebanding dengan tubuh mungilnya.
"Syutt.... apa kau ingin membangunkan semua penghuni rumah?" Kenan meletakkan telunjuknya di tengah bibir Hanin.
"Iya, tapi jangan seperti ini dong mas." Hanin masih mengeliat.
"Diamlah. Aku tidak akan melakukan hal itu padamu. Karena tubuhmu ini, bukan seleraku." Ucap kenan, dengan tatapan menilai.
"Aku tau, tapi kenapa mas memelukku?" Hanin terus mengurai tangan Kenan yang terasa makin kuat menekan punggungnya, menipis jarak antara mereka.
Tangan Kenan berpindah ke tengkuk Hanin, pria itu menahan agar wajah gadis itu tetap mengarah padanya.
"Diamlah, aku hanya ingin memastikan sesuatu." Ucap pria itu dengan pandangan yang mulai terlihat sayu.
Wajah Kenan kian mendekat, semakin dekat, hingga Hanin bisa mendengar deru nafas pria itu. Jantung Hanin kian bertalu, tidak kuat bertatapan lama dengan sang suami, akhirnya wanita itu memutuskan berpaling saat hidung mereka akan bersentuhan.
"Bukankah aku memerintahkanmu untuk diam?"
Pria itu berbisik pelan di telinga Hanin. Menciptakan sensasi aneh ditubuh gadis itu, Bahunya terangkat sedikit, sebagai bentuk respon dari tubuhnya.
Kenan kembali meluruskan wajah Hanin.
"Kali ini diamlah, bukankah aku sudah mengatakan, kalau aku tidak akan macam-macam padamu? Atau kau ingin aku bertindak lebih jauh?" Pria itu melototkan matanya.
"Ti..tidak mas." Gadis itu menjawab, dia masih sempat bersyukur dalam hati, karena cahaya kamar itu sudah dalam keadaan remang-remang. Kalau tidak, Kenan pasti sudah melihat wajahnya yang semerah tomat.
"A..apa yang ingin mas lakukan? Apa mas lupa, kita tidak boleh melakukan ini mas." Hanin masih mencari celah.
"Syut, diamlah. Ada yang ingin kupastikan." Pria itu tiba-tiba ******* bibir Hanin. Mengecup pelan.
Hanin terkejut, sontak menarik wajahnya. Membuat ciuman yang diberikan Kenan terlepas.
Namun pria itu kembali menarik tengkuknya,
"Diam, cobalah menikmatinya"
Kenan kembali mengecup pelan bibir Hanin.
Kecupan yang awalnya pelan, tiba-tiba berubah menjadi *******. Kenan mengulum bibir atas dan bawah istrinya secara bergantian, Hanin hanya terdiam. Gadis itu hanya bingung, apakah harus membalas ciuman pria itu atau tidak.
Karena bagaimanapun Hanin adalah wanita normal. Akhirnya, nalurinya terpancing. Tanpa disadari gadis itu sudah mulai membuka mulutnya, memberi celah pada Kenan untuk memperdalam ciuman mereka.
Kenan semakin kalap, nafas pria itu kian memburu, tangan kanannya sudah mulai meremas-remas punggung Hanin. Sementara tangan kiri prianitu sudah mulai membuka kancing piyama Hanin.
"Mas, sudah." Hanin tersadar, dia mendorong kuat tubuh Kenan saat merasa remasan tangan Kenan sudah naik ke dadanya.
Pria itu tertunduk, mengusap rambutnya beberapa kali.
"Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar."
Ucapnya kemudian berlalu keluar dari kamar.
Hanin terdiam, matanya masih terpaku pada punggung pria yang mulai menghilang di balik pintu.
"Apa dia marah atas penolakanku? Mau kemana dia tengah malam begini." Hanin bergumam.
Lama Hanin terduduk disofa, dia merasa berdosa pada suaminya. Bagaimana pun keadaan pernikahan mereka, Kenan tetap suaminya. Pria itu berhak atas jiwa dan raganya. Tidak seharusnya dia menolak suaminya seperti tadi.
"Aku akan minta maaf padanya." Hanin berdiri, kemudian mengayunkan langkah keluar kamarnya. Mencoba mencari keberadaan sang suami.
Hanin sudah mengitari rumah besar itu. Mulai dari ruang tamu, dapur teras hingga kebun bunga belakang rumah, juga tak luput dari pandangannya. Namun orang yang dicarinya tak kunjung terlihat.
Hanin memutuskan kembali ke kamar mereka. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara desahan aneh dari kamar tamu yang sedang dilewatinya.
Gadis itu mendekat, meletakkan telinganya ke pintu. "Ah, iya ken. lebih kuat lagi." Kalimat itulah yang di tangkap oleh Hanin.
Gadis itu segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menahan isakan kepiluannya. Air mata gadis itu mulai nembanjiri pipinya.
"Hanin, apa yang kau harapkan dari pria seperti itu? Dia bukan pria baik-baik, dia bahkan tak menginginkan tubuh dan cintamu, jangan lemah Hanin. Fokuslah pada rencana perceraian kalian." Hanin berusaha menguatkan dirinya.
TBC
Mohon dukungannya Readers,
vote,
like
sorry gwa baca sampe sini