Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: GODAAN UNTUK BERHARAP
Malam semakin larut, namun udara di Samarinda terasa semakin berat, seolah awan mendung di atas sana menampung semua beban yang sedang dipikul oleh Firman dan Yasmin. Di dalam mobil Firman yang terparkir di sebuah sudut gelap di Tepian Mahakam jauh dari kerumunan orang suasana hening menyelimuti mereka. Hanya ada suara deru napas yang saling bersahutan dan cahaya biru dari layar ponsel Firman yang sedang disiapkan untuk siaran langsung.
Yasmin duduk di kursi penumpang, jemarinya bertaut erat di pangkuannya. Wajahnya yang pucat tampak semakin rapuh di bawah sorotan lampu kabin mobil yang remang.
"Mas... apa kita benar-benar harus melakukan ini?" bisik Yasmin. suaranya bergetar, mencerminkan keraguan yang sangat besar. "Bagaimana kalau orang-orang justru semakin membenci saya setelah mendengar kejujuran saya?"
Firman menoleh, menatap Yasmin dengan intens. Ia mematikan layar ponselnya sejenak. "Dunia sudah membencimu karena sebuah kebohongan dan narasi yang dipelintir, Yas. Memberi mereka kejujuran adalah satu-satunya cara untuk merebut kembali kendali atas hidupmu. Kamu nggak bisa terus-menerus membiarkan Sarah atau siapa pun yang menulis naskah untuk hidupmu."
Firman meraih tangan Yasmin yang dingin. Genggaman itu kini tidak lagi terasa seperti akting. Ada rasa protektif yang begitu kuat, sebuah dorongan yang membuat Firman sendiri ketakutan.
Kenapa aku peduli sampai sejauh ini? Kenapa aku rela menghancurkan karirku demi dia? pertanyaan itu muncul di benak Firman, namun ia segera menepisnya. Ia menyebutnya sebagai "Integritas Jurnalis", padahal di lubuk hatinya, ia tahu itu adalah sesuatu yang lebih berbahaya: Harapan.
"Siap?" tanya Firman.
Yasmin memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Siap."
Firman menekan tombol Go Live. Dalam hitungan detik, angka penonton di layar ponselnya melonjak. Ratusan, lalu ribuan. Sebagai jurnalis yang memiliki reputasi cukup baik dan sering melakukan investigasi berani, akun media sosial Firman memang selalu dipantau oleh warga lokal.
"Selamat malam semuanya," suara Firman terdengar berat dan berwibawa. "Saya Firmansah. Malam ini, saya tidak bicara sebagai jurnalis yang membawa berita, tapi sebagai saksi atas sebuah pembunuhan karakter yang sedang terjadi di kota kita. Di samping saya, adalah Dokter Yasmin Paramitha."
Komentar-komentar mulai membanjiri layar. Ada yang menghujat, ada yang bertanya-tanya, dan ada yang hanya menonton dengan penasaran.
Yasmin mulai bicara. Awalnya suaranya lirih, menceritakan tentang mimpinya menjadi dokter di Surabaya. Ia menceritakan malam nahas di IGD setahun lalu tanpa menutup-nutupi satu detail pun. Ia mengakui keraguannya saat itu, ia mengakui rasa takutnya.
"Saya tidak mencari pembelaan," ujar Yasmin sambil menatap lurus ke kamera. "Keluarga pasien berhak marah, dan saya berhak dihukum oleh perasaan bersalah saya sendiri. Tapi saya pindah ke Samarinda bukan untuk lari dari tanggung jawab, melainkan untuk menebusnya. Saya ingin membuktikan bahwa kesalahan satu malam tidak seharusnya mengubur kemampuan saya untuk menyelamatkan nyawa di malam-malam berikutnya."
Firman memperhatikan Yasmin. Ia melihat keberanian yang luar biasa di balik kerapuhan itu. Dan di detik itu, Firman merasakan sebuah getaran yang sangat ia takuti. Ia mulai berharap. Berharap bahwa setelah badai ini selesai, Yasmin akan tetap di sampingnya. Berharap bahwa mereka bisa lebih dari sekadar "Teman Level".
Namun, harapan itu langsung dipatahkan oleh suara ketukan keras di kaca jendela mobil.
Tok! Tok! Tok!
Firman tersentak. Di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang remang, berdiri Sarah dan Andre. Wajah Sarah tampak merah padam karena amarah, sementara Andre memegang ponselnya, sepertinya juga sedang merekam kejadian itu.
Firman tidak menghentikan siaran langsungnya. Ia justru membuka pintu mobil dan keluar, diikuti oleh Yasmin. Kamera ponselnya kini ia pegang ke arah Sarah, memperlihatkan konfrontasi itu secara real-time kepada ribuan penonton.
"Selesai dramanya, Fir?!" teriak Sarah. Ia tidak memedulikan kamera. Baginya, egonya yang terluka jauh lebih penting dari reputasinya. "Kamu mau jadi pahlawan buat dokter gagal ini? Kamu mau membohongi semua orang dengan cerita sedih kalian?"
"Sarah, hentikan. Kamu hanya mempermalukan dirimu sendiri," ucap Firman tenang, meski matanya berkilat marah.
"Aku nggak akan berhenti sampai semua orang tahu kalau kalian berdua cuma sepasang penipu!" Sarah maju, hendak merampas ponsel Firman, tapi Andre menahannya.
"Cukup, Sar! Kamu sudah keterlaluan!" Andre tiba-tiba bersuara, mengejutkan semua orang, termasuk Sarah.
"Andre? Kamu belain mereka?!" Sarah menatap calon suaminya tidak percaya.
Andre menatap Yasmin, lalu beralih ke Firman. "Gue mungkin nggak suka sama lo, Fir. Tapi setelah gue denger penjelasan Dokter Yasmin tadi... gue sadar kalau gue dimanfaatin sama Sarah buat ngancem Rendy. Gue nggak mau pernikahan kita dibangun di atas reruntuhan hidup orang lain, Sar."
Dunia seolah berhenti bagi Sarah. Pengkhianatan dari calon suaminya sendiri di depan ribuan orang yang menonton siaran langsung itu adalah pukulan telak yang tidak pernah ia duga.
Yasmin melangkah maju. Ia berdiri tepat di depan Sarah. Tidak ada amarah di wajah Yasmin, hanya ada kelelahan yang sangat dalam.
"Mbak Sarah," suara Yasmin tenang namun tajam. "Anda bilang saya rusak. Anda bilang saya monster karena kasus di Surabaya. Tapi tahukah Anda rahasia terakhir kenapa investigasi internal rumah sakit tidak pernah menyatakan saya bersalah secara hukum?"
Sarah terdiam, matanya yang tadi penuh api kini tampak goyah.
"Karena di malam itu, alat pacu jantung di IGD tersebut memang sudah rusak dan sudah dilaporkan berkali-kali oleh staf, tapi tidak pernah diperbaiki karena masalah anggaran yang dikorupsi oleh manajemen. Saya memilih diam dan mengundurkan diri karena saya tidak ingin mengadu domba staf medis dan manajemen di saat keluarga pasien sedang berduka. Saya menanggung nama buruk itu agar orang lain tidak perlu kehilangan pekerjaan mereka," Yasmin bicara dengan air mata yang mulai mengalir. "Jadi, silakan teruskan kebencian Anda. Tapi jangan pernah sebut saya tidak mencintai profesi saya."
Keheningan yang mencekam menyusul pengakuan itu. Ribuan penonton di siaran langsung mulai memberikan dukungan luar biasa di kolom komentar. Kebenaran yang lebih besar baru saja terungkap.
Sarah mundur beberapa langkah, wajahnya pucat pasi. Ia menyadari bahwa permainannya sudah selesai. Andre menarik tangan Sarah, membawanya masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan lokasi tanpa sepatah kata pun.
Firman mengakhiri siaran langsungnya. Ia menatap Yasmin yang kini terduduk lemas di pinggir trotoar, menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan. Semua beban yang ia simpan selama setahun akhirnya tumpah.
Firman duduk di sampingnya. Ia tidak lagi peduli dengan aturan "Level" yang ia buat. Ia menarik Yasmin ke dalam pelukannya, membiarkan perempuan itu menangis di bahunya.
"Sudah selesai, Yas... sudah selesai," bisik Firman sambil mengusap rambut Yasmin.
Di tengah isak tangis Yasmin, Firman merasakan dadanya sesak. Ia merasakan detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Ada godaan yang sangat kuat untuk membisikkan kata-kata cinta, untuk berjanji bahwa ia akan selalu menjaganya.
Tapi kemudian, bayangan Sarah dan pengkhianatan Rendy kembali melintas. Firman merasa takut. Ia takut jika ia terlalu berharap, ia akan kembali hancur. Ia takut jika ia melampaui "level" ini, segalanya akan berubah menjadi rumit dan menyakitkan.
"Mas..." Yasmin mendongak, matanya yang basah menatap mata Firman. "Kenapa kamu melakukan ini semua? Kamu bisa saja kehilangan pekerjaanmu besok."
Firman menatap bibir Yasmin yang bergetar. Godaan itu semakin kuat. Namun, ia menarik napas panjang dan melepaskan pelukannya secara perlahan.
"Karena itu tugas seorang teman, Yas," jawab Firman, suaranya kembali datar, meski matanya tidak bisa berbohong. "Kita sudah sepakat, kan? Teman level adalah pokoknya. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang teman di level yang sama."
Yasmin terdiam sejenak, ada sedikit binar kekecewaan di matanya yang segera ia sembunyikan dengan senyum tipis. "Ya. Teman level. Terima kasih, Firman."
Firman bangkit berdiri, membantu Yasmin untuk berdiri juga. "Ayo pulang. Besok akan jadi hari yang sangat panjang di kantor redaksi dan di rumah sakit."
Malam itu, saat Firman mengantar Yasmin sampai ke depan kosannya, ada sebuah jarak yang kembali ia bangun. Sebuah tembok pertahanan yang ia dirikan lebih tinggi dari sebelumnya. Firman sadar, ia mulai jatuh cinta pada Yasmin. Dan baginya, cinta adalah musuh paling nyata bagi kedamaiannya.
"Good night, Yas," ucap Firman singkat sebelum memacu motornya pergi.
Di kamarnya, Firman menatap foto panti asuhan yang belum sempat ia kirim. Ia melihat senyum Yasmin di sana. Ia tahu, mulai malam ini, "Teman Level" bukan lagi sebuah kesepakatan, melainkan sebuah siksaan bagi hatinya yang mulai ingin berharap lebih.
Keesokan harinya, nama Yasmin kembali bersih di mata publik, namun Firman justru dipanggil oleh dewan etik pers karena siaran langsungnya dianggap melanggar prosedur perusahaan. Di saat Firman terancam kehilangan karirnya, Yasmin mendapatkan tawaran untuk kembali ke Surabaya dengan posisi yang lebih tinggi sebagai bentuk kompensasi atas ketidakadilan yang ia terima dulu. Akankah Yasmin pergi meninggalkan Firman demi karirnya yang sempat hancur, ataukah ia akan tetap di Samarinda demi pria yang memberinya harapan tapi selalu menolak untuk mengakuinya?