NovelToon NovelToon
Falling For My Stepbrother

Falling For My Stepbrother

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:972
Nilai: 5
Nama Author: Izzmi yuwandira

Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.

Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.

Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.

Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.

Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.

Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.

Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tanpa Almamater

Setelah pertandingan sengit antara Nathan dan Riza di lapangan basket, kepala sekolah memerintahkan seluruh siswa jenjang SMA untuk berkumpul di aula. Semua siswa tahu betul, jika sudah dipanggil ke aula oleh kepala sekolah, maka tidak ada toleransi sedikit pun terhadap pelanggaran atribut.

Seragam harus lengkap—dasi, almamater, dan nametag terpasang rapi. Rambut harus hitam, sesuai aturan sekolah. Siapa pun yang melanggar, akan langsung mendapat sanksi tanpa pengecualian.

Nathan kembali ke kelas untuk mengambil almamaternya. Namun begitu sampai, ia langsung berhenti di depan bangkunya.

Kosong.

Padahal sangat jelas ia tadi melempar almamater itu tepat di atas tasnya.

“Kenapa sekarang nggak ada…?” gumamnya.

“Nathan, ayo buruan!” teriak Tian dari pintu kelas.

“Iya, bentar.”

Nathan membongkar bangkunya, menyibak buku-buku, bahkan mengecek meja teman-temannya di sekitar. Tetap nihil.

Ia mengusap kasar rambutnya, frustrasi.

“Kenapa sih?” tanya Raka.

“Almamater gue nggak ada.”

“Bukannya tadi lo taruh di atas meja?”

“Itu dia. Sekarang nggak ada.”

Kesal, Nathan menendang kaki meja hingga bergeser sedikit dan menimbulkan suara berdecit. Waktu terus berjalan, dan panggilan untuk segera ke aula kembali terdengar dari pengeras suara.

Tanpa almamater, Nathan akhirnya melangkah menuju aula bersama Tian dan Raka. Mereka mencari barisan kelas masing-masing.

Begitu Nathan masuk, hampir semua mata langsung tertuju padanya.

Bukan karena namanya.

Tapi karena ia satu-satunya siswa yang tidak mengenakan almamater.

Namun Nathan sama sekali tidak menunduk. Ia berdiri tegak, wajahnya tenang, sorot matanya mantap menatap ke depan—ke arah kepala sekolah yang berdiri di podium.

Kepala sekolah itu bukan orang asing baginya.

Pria itu adalah pamannya sendiri.

Kalau hanya Pak Bayu atau guru lain yang memanggil seluruh siswa ke aula, mungkin hal ini masih bisa dianggap sepele. Tapi kali ini berbeda.

Karena yang berdiri di depan mereka adalah kepala sekolah.

Dan Nathan tahu, kesalahan sekecil apa pun hari ini tidak akan berlalu begitu saja.

Di depan microphone yang menyala, kepala sekolah menghembuskan napas panjang. Suara itu terdengar jelas, membuat aula yang semula berisik perlahan sunyi.

Tatapan beliau menyapu seluruh barisan siswa, berhenti sesaat lebih lama pada satu titik.

Melihat pemandangan itu, Jema justru panik sendiri.

Dadanya terasa sesak. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Tangannya meremas jemari sendiri, kukunya digigit tanpa sadar. Almamater itu—almamater Nathan—ada padanya. Lebih tepatnya, pagi tadi ia mengambil nya diam-diam.

Ia teringat jelas bagaimana tadi, dengan emosi dan kesal yang menumpuk, ia mengambil almamater itu dan hendak membuangnya sembarang di dekat tong sampah belakang gedung. Niatnya hanya satu: balas dendam kecil. Membuat almamater itu kotor, jorok, dan bau. Sekadar pelampiasan.

Ia sama sekali tidak menyangka akan ada razia mendadak seperti ini.

Aula dan tempat pembuangan sampah jaraknya sangat jauh. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang membuat tenggorokannya kering—apakah almamater itu masih ada di sana? Atau sudah dibuang petugas kebersihan? Bagaimana kalau hilang?

Jema menelan ludah.

“Kenapa harus hari ini…” batinnya kacau.

Ia melirik ke arah Nathan yang berdiri tenang di barisannya. Tidak ada wajah panik, tidak ada gelagat takut. Nathan berdiri santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, padahal jelas-jelas ia satu-satunya siswa yang melanggar aturan.

Perasaan bersalah Jema menamparnya pelan tapi terus-menerus.

Niatnya hanya iseng. Niatnya hanya ingin membuat Nathan malu sedikit. Tapi sekarang, konsekuensinya jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

Di depan aula, kepala sekolah akhirnya membuka suara.

“Siapa pun yang hari ini tidak mengenakan atribut lengkap, saya minta maju ke depan.”

Napas Jema tercekat.

Langkah Nathan terdengar mantap saat ia melangkah keluar dari barisan.

Dan di saat itulah, Jema sadar masalah ini bukan lagi sekadar almamater kotor. Ini sudah berubah menjadi kesalahan yang bisa menghancurkan banyak hal.

Nathan naik ke atas panggung aula dengan langkah santai, seolah-olah tatapan ratusan pasang mata bukan apa-apa baginya.

Kepala sekolah langsung memarahinya habis-habisan. Nada suaranya tinggi, kalimatnya tajam, seakan sengaja dibuat untuk mempermalukan. Namun Nathan tetap berdiri tegak, wajahnya datar. Dalam pikirannya, ini bukan hal baru. Adik ayahnya itu tak jauh berbeda dari sang ayah—sama-sama gemar memarahinya, sama-sama merasa paling benar.

“Pagi ini kamu sudah membuat keributan di lapangan dengan membully adik kelasmu,” suara kepala sekolah menggema di aula. “Dan sekarang kamu melanggar aturan dengan tidak melengkapi atribut sekolahmu? Wow, kamu hebat sekali, Nathan.”

Beberapa siswa saling berbisik.

“Seorang pembuat onar di sekolah ini, tukang bully. Kira-kira hukuman apa yang pantas buat kamu?” lanjutnya tanpa jeda. “Tidak ada habis-habisnya gebrakan kamu. Setiap hari selalu membuat masalah.”

Nathan menghela napas pelan. Ia lalu meraih microphone dari tangan anggota OSIS yang berdiri di sampingnya. Aula mendadak sunyi.

“Bapak Kepala Sekolah yang terhormat,” ucap Nathan datar namun jelas, “saya tahu saya sudah melanggar peraturan sekolah.”

Ia menatap lurus ke depan, tanpa menunduk sedikit pun.

“Tapi saya rasa Bapak bisa langsung ke intinya saja. Semua warga sekolah yang ada di sini sudah kenal, sudah tahu saya itu siapa dan bagaimana.” Sudut bibirnya terangkat tipis, bukan senyum—lebih mirip ejekan halus.

“Jadi nggak usah panjang lebar orientasi babi-bubebo. Langsung saja… hukuman buat saya apa?”

Para guru yang berdiri di samping kepala sekolah tampak terkejut. Beberapa saling pandang, sebagian lain langsung menegakkan sikap. Aula yang tadinya tegang kini berubah ricuh oleh bisik-bisik para murid. Nathan terlalu berani—atau terlalu nekat. Ia berdiri tanpa rasa takut pada siapa pun, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.

“Kamu ya, Nathan…” suara kepala sekolah terdengar tertahan, jelas berusaha menjaga wibawa.

Nathan menghela napas panjang, lalu mengangkat mic sedikit lebih dekat ke mulutnya.

“Aduh, Pak…” katanya dengan nada dibuat prihatin. “Saya tuh kasihan banget sama teman-teman saya yang lain.”

Ia menoleh ke arah barisan siswa. “Pasti mereka capek dengar Bapak ngomong panjang lebar dan—maaf ya—unfaedah tentang saya. Soalnya kan mereka udah tahu saya itu kayak gimana.”

Beberapa siswa mulai menunduk, menahan tawa. Ada yang menutup mulut dengan tangan, ada juga yang pura-pura batuk.

Nathan melirik ke belakang. “Bapak bisa lihat Tian di belakang sana. Dia itu sebenarnya udah kebelet banget pengen ke toilet.” Tian refleks melotot. “Cuma karena menghargai Bapak yang lagi pidato, dia nahan banget itu pak, sangat dimohonkan pengertian nya”

Tawa kecil mulai pecah di beberapa sudut aula.

“Apa Bapak nggak punya hati nurani? Dimana norma kesusilaan di sekolah yang kita cintai ini??” lanjut Nathan santai. “Kalau begitu, apa bedanya kita?”

Ia menunjuk ke sisi lain. “Coba lihat Raka. Dia lagi puasa ganti hari ini, lemas banget. Tega banget, Pak. Dia capek, pengen duduk, tapi Bapak ngomong terus, nggak berhenti-berhenti.”

Raka langsung menunduk, wajahnya merah, sementara Tian sudah hampir tertawa terbahak.

“Belum lagi Riza,” Nathan menoleh ke arah adik kelas itu. “Itu udah nguap lima belas kali, Pak. Saya hitungin tadi.”

Aula nyaris meledak oleh tawa yang tertahan. Beberapa guru tampak menutup wajah, entah menahan malu atau geli. Kepala sekolah mengusap keningnya, napasnya terdengar berat.

Nathan berdiri di sana, tegak dan tenang—seolah-olah semua kekacauan itu bukan apa-apa. Di antara ratusan pasang mata yang menatapnya, ada satu pasang mata yang justru diliputi rasa bersalah.

Kepala sekolah mengangkat tangannya sedikit, memberi kode tegas ke arah Pak Bayu. Isyarat itu langsung dipahami.

“Pak Bayu,” ucapnya singkat.

Pak Bayu bergegas menghampiri Nathan dan meraih microphone dari tangan Nathan tanpa banyak bicara. Aula kembali hening, hanya tersisa sisa-sisa tawa yang belum sepenuhnya hilang.

“Guru-guru yang lain,” lanjut kepala sekolah dengan suara dingin, “tolong berikan hukuman seperti biasa pada Nathan.”

Tanpa menunggu respons, pria itu langsung turun dari panggung. Langkahnya cepat dan keras, jelas menahan emosi. Ia keluar dari aula tanpa menoleh lagi, meninggalkan suasana yang kembali tegang.

Nathan berdiri di tempatnya, tangan dimasukkan ke saku celana. Ekspresinya tetap santai, seolah semua itu tidak ada artinya.

Dalam hatinya, Nathan sudah hafal betul skenario ini.

Paman kesal. Nanti sampai rumah, ayah bakal marah. Ceramah panjang, nada tinggi, muka kecewa.

Semua itu sudah terlalu sering terjadi.

Pak Bayu menatap Nathan dengan wajah lelah. “Kamu ini nggak pernah berubah, ya.”

Nathan mengangkat bahu. “Berubah buat apa, Pak? Ujung-ujungnya tetap salah.”

Pak Bayu menghela napas panjang. “Ikut saya. Hukuman seperti biasa. Bersih-bersih gudang olahraga sama lapangan belakang.”

Nathan mengangguk singkat. “Siap, Pak.”

Ia turun dari panggung diiringi tatapan ratusan pasang mata. Ada yang sinis, ada yang kagum, ada yang sekadar penasaran. Di antara kerumunan itu, Jema menatap punggung Nathan yang menjauh dengan dada terasa sesak.

Nathan berjalan melewati barisan siswa tanpa menunduk, tanpa menoleh. Langkahnya mantap.

Dimarahi, dihukum, disalahkan—semua itu sudah jadi bagian dari hidupnya.

1
Lorenza82
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️🤭🤭🤭🤭❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐🔥🔥🔥🔥🔥
Lorenza82
Semangat terus Thor ❤️🤭
Lorenza82
Lanjut Thor... btw novel yg satunya juga lah Thor 😭😭 jgn dilupakan 💪
audyasfiya
Baca ini karena visual nya member cortis wkwk, sukaaaaaa banget 🤣🤣🤣💐💐💐💐💐💐
audyasfiya
Semangat terus, sehat selalu yaa Thor...❤️
audyasfiya
Lanjut Thor, buruan, jan lama lama 🤭🤭
Sasya
/Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Rose//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss//Kiss/
Nurul Fitria
Nathan ini nyebelin banget, agak jahat menurutku... 😭 kasihan sama si Jema, kalau suka seharusnya ga begitu kan ya? 🥲
Nurul Fitria
Suka banget sama cerita kayak gini wkwk, lanjut Thor, semangat /Chuckle//Chuckle//Chuckle//Chuckle//Cake//Cake//Cake//Cake//Cake//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good/
Chuyoung56
Semangat Author, keluarin semua ide ide cemerlang mu
Chuyoung56
"Chill gigi Lo" 🤣🤣🤣🤣 ngakak banget asli
Parkhanayaa
Gemes banget 😭 kayaknya Nathan mulai suka ga sih??
Parkhanayaa
Semangat author... penasaran sama kelanjutan cerita kamu... sehat-sehat terus ya author. we love you ❤️✨✨
Parkhanayaa
iiiiiii gemes banget ceritanya 😭 Si Nathannya ini agak genit genit gimanaaaa gitu 🤣🤣🤣 sukaa banget 🤣
Cewenya Sunghoon
Cerita nya unik banget 😂 Fresh gitu, apalagi visualnya ganteng dan cantik, tau aja author yang lagi viral 🤭🤭 semangat terus ya Thor /Chuckle//Chuckle//Chuckle//Chuckle//Chuckle/
Cewenya Sunghoon
Author ceritanya fresh banget 😭😭 author sedang mencoba genre baru yaaaaaaa 🤭🤭🤭 lucu banget, Gemeshh ceritanya, semangat terus ya Thor... ❤️❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!