Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Ledakan Kak Binar malam itu tidak meninggalkan bekas luka fisik, tapi dampaknya meracuni seluruh atmosfer rumah. Keheningan yang sebelumnya canggung kini berubah menjadi keheningan yang sarat akan permusuhan. Kami tidak lagi sekadar hidup berdampingan dalam ketidaknyamanan; kami kini hidup di zona perang dingin, di mana setiap lirikan mata dan setiap helaan napas bisa menjadi awal dari pertempuran baru.
Pagi setelah insiden itu, meja makan terasa seperti medan ranjau. Ayah dan Ibu tampak lelah dan cemas, berusaha keras menciptakan ilusi normalitas dengan membahas hal-hal sepele seperti cuaca dan berita di koran. Kak Binar tidak turun untuk sarapan. Ibu bilang, "Kakakmu masih butuh istirahat, semalam dia syok sekali." Sebuah cara halus untuk mengatakan bahwa dia masih memainkan kartu korbannya dengan sangat baik.
Mas Danu duduk di seberangku. Wajahnya tampak lebih kuyu dari biasanya. Dia tidak menyentuh sarapannya, hanya mengaduk-aduk kopinya tanpa henti. Beberapa kali ia mencoba menatapku, tatapan yang sarat akan permintaan maaf, tapi aku sengaja membuang muka. Maaf tidak ada gunanya lagi. Hinaan Kak Binar telah terpatri di benakku, dan keheningan Mas Danu setelahnya—saat ia memilih untuk menenangkan istrinya daripada membela kehormatanku—adalah persetujuan diam-diam atas hinaan itu.
Aku menghabiskan hari-hariku seperti bayangan. Aku memastikan untuk menjadi orang pertama yang pergi dan orang terakhir yang pulang. Aku sengaja mengunci diri di kamar, menolak semua ajakan Ibu untuk makan malam bersama dengan alasan "masih kenyang" atau "banyak kerjaan". Aku membangun benteng yang lebih tinggi dan lebih tebal di sekelilingku.
Tapi aku salah jika mengira Kak Binar akan membiarkanku bersembunyi. Kekalahannya dalam pertempuran malam itu—di mana ia diekspos sebagai wanita pencemburu di depan suami dan orang tuanya—justru membuatnya semakin agresif. Dia tahu dia tidak bisa lagi menggunakan taktik sabotase halus. Kini, ia melancarkan serangan frontal.
Sekitar seminggu setelah pertengkaran itu, ia mencegatku di lorong saat aku baru saja pulang kerja. Ini adalah pertama kalinya kami bicara berdua saja sejak insiden itu.
"Kita perlu bicara," katanya, tanpa basa-basi. Ia tidak lagi memakai topeng manisnya. Wajahnya datar dan dingin.
"Saya capek, Kak," jawabku, mencoba melewatinya.
Ia menggeser tubuhnya, menghalangi jalanku. "Sebentar saja. Ini penting. Menyangkut kita semua."
Aku menghela napas, menyerah. "Mau bicara apa?"
Ia menyilangkan tangan di depan dada. "Aku mau tanya sama kamu, Arini. Apa sebenarnya maumu?"
Aku mengerutkan kening. "Maksud Kakak?"
"Jangan pura-pura bodoh. Kamu sengaja, kan? Menikmati perhatian yang diberikan Mas Danu. Menikmati peranmu sebagai korban yang tersakiti sehingga dia merasa bersalah dan terus membelamu," desisnya. "Kamu pikir aku tidak tahu permainanmu?"
Aku hampir tertawa mendengarnya. Sungguh ironis. Dia menuduhku memainkan sebuah permainan yang diciptakannya sendiri.
"Saya tidak bermain apa-apa, Kak," jawabku setenang mungkin. "Saya hanya mencoba bertahan hidup di neraka yang Kakak ciptakan untuk saya."
Matanya menyipit marah. "Neraka? Kamu bilang ini neraka? Coba kamu ada di posisiku! Divonis tidak bisa punya anak, dan harus melihat suami sendiri mulai peduli pada wanita lain! Itulah neraka yang sesungguhnya!"
"Saya tidak pernah minta kepeduliannya!" balasku, suaraku mulai meninggi. "Saya tidak pernah minta apa-apa! Kakak yang menyeret saya ke sini! Kakak yang memaksa saya menikahi suami Kakak! Jadi jangan pernah putar balikkan fakta seolah-olah saya ini perebut!"
"Kalau begitu buktikan!" tantangnya. "Buktikan kalau kamu memang tulus mau menolongku! Buktikan kalau kamu tidak punya niat lain!"
"Bagaimana caranya?"
Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Mulai programnya. Segera. Berhenti mengulur waktu dengan alasan konyol 'butuh waktu untuk beradaptasi'. Lakukan tugasmu, Arini. Hamil. Berikan aku dan Mas Danu seorang anak. Setelah itu, kamu boleh pergi dari kehidupan kami kalau kamu mau. Anggap saja lunas."
Aku terpaku menatapnya. Begitu gamblang. Begitu kejam. Dia benar-benar mereduksi keberadaanku menjadi sekadar sebuah fungsi, sebuah tugas yang harus diselesaikan.
"Ini bukan cuma keputusanku, Kak. Ini juga keputusan suami Kakak," kataku, mencoba mencari celah.
"Oh, tentu saja," katanya. "Dan aku akan pastikan dia juga setuju."
Malam itu, di meja makan—aku terpaksa ikut karena Ibu memohon dengan berlinang air mata—Kak Binar melancarkan serangannya.
"Yah, Bu," mulainya dengan nada manis yang dibuat-buat. "Binar habis dari dokter kandungan lagi tadi siang untuk konsultasi."
Semua perhatian langsung tertuju padanya. "Bagaimana hasilnya, Sayang?" tanya Ibu cemas.
"Dokter bilang, kondisi Binar baik-baik saja untuk bisa ... menitipkan benih di tempat yang sehat," katanya, melirik sekilas ke arahku dengan sengaja. "Dan dokter menyarankan, agar tingkat keberhasilannya tinggi, prosesnya harus dilakukan di masa subur. Harus dihitung dengan cermat."
Aku meletakkan sendok dan garpuku. Nafsu makanku hilang seketika. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Binar bahkan sudah beli kalender ovulasi digital dan alat tes kesuburan," lanjutnya dengan riang, seolah sedang memamerkan mainan baru. "Jadi, mulai bulan ini, kita bisa mulai programnya dengan benar. Terjadwal. Biar hasilnya maksimal. Iya, kan, Mas?"
Ia menoleh pada Mas Danu, yang sejak tadi hanya diam membisu. Ia menuntut persetujuan suaminya di depan semua orang, membuatnya tidak punya pilihan.
Mas Danu tampak sangat tidak nyaman. Ia menatapku sekilas, tatapannya penuh rasa bersalah, sebelum akhirnya mengangguk pelan pada istrinya. "Iya, Sayang."
Sebuah anggukan. Anggukan kecil itu terasa seperti vonis mati bagi sisa-sisa harga diriku. Janjinya untuk memberiku waktu kini telah resmi dibatalkan di depan umum.
Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dari kursi. "Maaf, Arin sudah selesai," kataku, suaraku bergetar.
"Arini, duduk! Makananmu belum habis!" tegur Ibu.
Aku mengabaikannya dan berjalan cepat menuju kamarku. Aku bisa merasakan tatapan kemenangan Kak Binar membakar punggungku.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku merasa terhina, dilecehkan, dan benar-benar tidak berdaya. Aku akan dijadwalkan seperti seekor hewan ternak. Tubuhku tidak lagi menjadi milikku, tapi menjadi milik jadwal ovulasiku. Kemarahan yang begitu besar membakar dadaku, membakar habis semua sisa kepasrahan dan kesedihan.
Cukup. Aku tidak akan membiarkan dia mendikteku lagi. Aku tidak akan menjadi pion dalam permainannya. Jika mereka ingin perang, maka aku akan memberikannya.
Aku keluar dari kamar dan berjalan lurus menuju pintu kamar utama. Aku tidak peduli lagi pada sopan santun. Aku mengetuk pintu itu dengan keras.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Mas Danu yang membukanya, wajahnya tampak terkejut. "Arini? Ada apa?"
"Kita perlu bicara," kataku tegas, melirik ke dalam di mana aku bisa melihat Kak Binar sedang duduk di tepi ranjang, menatapku dengan ekspresi pura-pura bingung.
"Tidak sekarang, Arini. Binar mau istirahat," kata Mas Danu pelan, mencoba menghalangiku.
"Sekarang!" desakku. "Atau Mas mau saya bicarakan di sini biar semua orang dengar?"
Ancamanku berhasil. Wajahnya mengeras, tapi ia akhirnya mengalah. "Tunggu aku di ruang keluarga."
Lima menit kemudian, dia menemuiku. Ruang keluarga terasa dingin dan gelap, hanya diterangi oleh lampu taman dari luar.
"Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya, nadanya lelah.
"Saya mau menagih janji Mas," kataku tajam. "Janji yang tadi Mas batalkan di meja makan dengan anggukan kepala Mas yang menyedihkan itu."
Dia membuang muka. "Aku tidak punya pilihan, Arini. Kamu dengar sendiri, kan? Dia membawa-bawa nama dokter. Kalau aku menolak, dia akan histeris lagi. Kesehatannya..."
"Kesehatannya selalu menjadi alasan untuk semua tindakan kalian, kan?" potongku sinis. "Alasan untuk memaksa saya menikah. Alasan untuk menghina saya. Dan sekarang, alasan untuk mengingkari janji Mas."
"Lalu kamu mau aku bagaimana?!" balasnya frustrasi. "Aku terjebak! Di satu sisi ada janjiku padamu, di sisi lain ada nyawa istriku yang emosinya tidak stabil!"
"Saya tidak peduli lagi dengan dilema Mas!" bentakku, air mata kemarahan mulai menggenang. "Ini hidup saya! Tubuh saya! Saya tidak akan membiarkan kakak saya atau siapa pun memperlakukannya seperti properti yang bisa dijadwalkan! Mas sadar tidak sih? Dia bukan cuma mau anak. Dia mau menghancurkan saya! Dia menikmati setiap detik penderitaan saya!"
Dia terdiam, tak bisa membantah karena dia tahu aku benar.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosiku yang meluap-luap. Kemarahan tidak akan membawaku ke mana-mana. Aku harus cerdas. Aku harus mengambil kembali kendali.
"Baiklah," kataku dengan suara yang kini lebih tenang, tapi jauh lebih dingin. "Saya akan lakukan. Saya akan penuhi keinginan kalian."
Dia menatapku dengan terkejut. "Kamu ... serius?"
"Sangat serius," jawabku. Aku melangkah mendekat, menatap lurus ke matanya yang dipenuhi kebingungan. "Saya akan memulai 'program' ini. Tapi bukan berdasarkan kalender ovulasi kakak saya. Bukan berdasarkan jadwal yang ia buat untuk mempermalukan saya."
Aku berhenti sejenak, membiarkan kata-kataku meresap.
"Kita lakukan dengan cara saya. Dengan waktu yang saya tentukan."
"Apa ... apa maksudmu?"
"Saya lelah dengan semua permainan ini, Mas. Saya lelah menunggu. Jadi, mari kita selesaikan ini secepatnya," kataku. "Malam ini."
Wajahnya berubah pias. Matanya melebar karena syok. Dia sama sekali tidak menduga ini. Dia mengira aku akan melawan, berdebat, atau menangis. Dia tidak siap untuk sebuah penyerahan diri yang terasa seperti deklarasi perang.
"Malam ini?" bisiknya tak percaya.
"Ya. Malam ini. Di kamarku. Satu jam lagi," kataku tegas. "Katakan pada istri Mas kalau Mas ada urusan mendadak atau apa pun itu. Saya tidak peduli. Tapi jika Mas tidak datang, maka kesepakatan ini batal. Saya akan pergi dari rumah ini besok pagi dan tidak akan pernah kembali. Pilihan ada di tangan Mas."
Tanpa menunggu jawabannya, aku berbalik dan meninggalkannya yang masih berdiri mematung karena terkejut. Konflik ini telah memanas hingga ke titik didih. Dan aku baru saja mengambil alih kendali atas apinya. Aku tidak tahu apakah aku akan terbakar hangus, tapi setidaknya, aku akan terbakar dengan caraku sendiri.
kan jadi bingung baca nya..