Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas dan Masa Lalu Arwah Tumbal
Hutan Lindung Kawah Candra adalah labirin kegelapan yang hidup. Pohon-pohon raksasa dengan sulur yang tebal menjulang tinggi, menghalangi sinar bulan, menciptakan malam abadi di bawah kanopi. Udara dingin dan lembap, bercampur bau tanah basah dan belerang yang samar dari kawah di dekatnya.
Bian dan Tiara berlari jauh ke dalam hutan, suara teriakan dan mesin truk di kejauhan perlahan meredup. Mereka bersembunyi di balik akar beringin besar, mencoba menenangkan napas yang tersengal-sengal.
"Mereka ada di belakang kita," bisik Tiara, mencengkeram lengan Bian. "Mbah Pawiro tidak hanya merasuki Jaga, dia juga menggerakkan para pengikutnya."
Bian mengangguk. "Mbah Pawiro tidak lagi terikat pada Desa Raga Pati. Lilin Hitam adalah inti fisiknya, dan dia menggunakan Jaga serta pengikutnya sebagai alat. Kita harus menghancurkan Lilin itu di sini, seperti yang diperintahkan Jaga."
Mereka tahu mereka tidak bisa berdiam diri. Lilin Kutukan di ransel Bian terasa seperti batu bara panas, memancarkan aura yang memanggil Arwah Tumbal. Dan mereka tahu, Arwah Wanita Pucat itu kini berada di suatu tempat di sekitar mereka.
Bian mengeluarkan Liontin Tumbal. Di dalam kegelapan hutan, liontin tulang itu bersinar redup. Ia tidak lagi memancarkan panas atau dingin, melainkan getaran konstan yang menunjukkan arah, seperti kompas kuno.
"Liontin ini menunjuk ke arah Kawah Candra," kata Bian, menunjuk ke arah selatan. "Mungkin 'api suci' yang dimaksud kakek ada di sana."
Mereka mulai berjalan, dipandu oleh kompas tulang itu. Setiap langkah terasa berat, lumpur tebal menahan sepatu mereka.
Tiara tiba-tiba berhenti. "Bian, tunggu. Aku merasakannya lagi."
Tiara melihat sekeliling. Di antara pepohonan, ia melihat bayangan yang bergerak cepat, terlalu cepat untuk hewan. Wanita Pucat itu mengawasi mereka, tetapi kali ini, wujudnya tampak semakin kabur dan tidak fokus. Arwah Tumbal itu lemah karena energi Kutukan Mbah Pawiro terpecah antara Lilin Hitam dan pengikutnya.
"Dia hanya mengawasi," kata Bian, mencoba menenangkan. "Dia tidak bisa menyerang dengan kekuatan penuh selama Lilin itu ada pada kita. Lilin itu juga melindunginya dari kehancuran."
Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi sungai kecil yang mengalir di hutan. Saat itulah Bian mengambil gulungan kulit Kakek Pranoto lagi.
"Kita harus mengerti janji kakek sepenuhnya. Kita harus tahu, siapa Arwah Tumbal ini," ujar Bian.
Mereka menyalakan senter yang redup, dan Bian mulai membaca bagian akhir gulungan itu, yang belum sempat mereka periksa sepenuhnya.
......Kesalahanku fatal. Aku tidak menyadari bahwa pengorbanan yang dilakukan Pawiro bukan untuk mengusir wabah, tetapi untuk kekuasaan. Pawiro mengorbankan Sari, wanita yang ku cintai dan seharusnya ku nikahi....
...Aku melarikan diri, meninggalkan Sari pada takdir yang mengerikan. Saat dia dikorbankan, dia bersumpah akan menuntut balas pada darahku. Itulah mengapa Arwahnya terikat pada desa, terikat pada Lilin. Aku membuat Liontin ini, bukan untuk menguncinya, tetapi untuk memegang janji persatuan kami. Liontin ini adalah lambang cinta dan pengkhianatan kami....
...Untuk mematahkan sumpah, dan membebaskan Arwahnya, dia harus dipertemukan kembali dengan Cinta Sejati yang telah dikhianati dan Api Suci (api yang murni, bukan api jahat). Aku berdoa, keturunanku, kau bisa melakukan apa yang aku gagal lakukan....
Bian menyelesaikan membaca, dan keheningan menyelimuti mereka. Gulungan itu jatuh ke lumpur.
"Sari," bisik Tiara, matanya terbelalak. "Namanya Sari. Arwah Tumbal itu adalah wanita yang dicintai Kakek Pranoto."
Semua teka-teki kini menemukan tempatnya. Arwah Tumbal bukan entitas acak, melainkan jiwa yang tersiksa karena pengkhianatan cinta, menuntut keadilan dari garis keturunan yang meninggalkannya.
"Itu menjelaskan mengapa dia selalu menyerangmu dan mengabaikanku," kata Tiara. "Kau adalah cucu dari pria yang meninggalkannya di altar pengorbanan."
"Dan Mbah Pawiro tahu ini," kata Bian, menggenggam Liontin Tumbal, yang kini tidak hanya terasa dingin, tetapi juga sedih. "Dia menggunakan duka Sari, mengubahnya menjadi Kutukan Tumbal Desa. Dia mengikat amarah Sari pada Lilin Hitam."
Tiba-tiba, dari kejauhan, mereka mendengar suara samar dentuman gendang yang dipukul dengan irama yang lambat dan ritmis.
BUM... BUM... BUM...
Suara itu datang dari arah belakang, dari jalur yang mereka lewati.
"Itu mereka," kata Bian, berdiri tegak. "Para pengikut Mbah Pawiro. Mereka mengadakan ritual di hutan. Mereka tahu kita membawa Lilin dan mereka akan memburunya."
Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan cepat mengikuti petunjuk Liontin Tumbal. Hutan terasa semakin curam.
Tepat saat mereka melintasi jembatan kayu tua di atas jurang kecil, Bian merasakan dorongan kuat dari punggungnya.
BRUK!
Bian terlempar ke depan. Tas ranselnya, yang berisi Lilin Hitam, terlepas dari bahunya dan jatuh ke lumpur.
Tiara berteriak. Di belakang mereka, berdiri sosok Jaga yang dirasuki. Matanya tidak lagi bersinar hijau, tetapi kini hitam pekat, seperti lubang kosong.
"Lilin itu milikku!" raung suara Mbah Pawiro dari mulut Jaga.
Bian dengan sigap mengambil Liontin Tumbal dan mengayunkannya ke arah Jaga. Gelombang energi dingin menyengat Jaga. Jaga mundur selangkah, tetapi tidak roboh.
"Kau tidak bisa menghentikanku dengan janji lama!" teriak Mbah Pawiro. "Aku lebih kuat dari janji cinta itu!"
Saat Bian dan Tiara mencoba mengambil Lilin Hitam di lumpur, tiba-tiba terdengar suara dentuman gendang yang sangat keras.
BUM! BUM! BUM!
Tepat di seberang jembatan, muncul tiga pengikut Mbah Pawiro, mengenakan jubah hitam dan memegang parang. Mereka telah mengepung Bian dan Tiara.
Bian dan Tiara terjebak di jembatan kayu yang reyot. Lilin Hitam berada di lumpur di sisi jembatan. Jaga menghalangi jalan kembali.
Arwah Tumbal Sari muncul di antara para pengikut itu, wajahnya pucat tetapi kini dipenuhi kebingungan. Kekuatan Lilin yang terlepas di dekatnya membuatnya terombang-ambing antara dendam dan duka.
Bian mencengkeram Tiara. "Liontin itu adalah kunci untuk memisahkan Sari dari kutukan! Kita harus memukul Lilin itu dengan Liontin!"
Bian harus memilih, lari atau menghancurkan Lilin itu.
Tepat saat Bian bersiap melompat untuk mengambil Lilin, Jaga yang dirasuki beraksi. Jaga melompat ke atas jembatan, dan dengan kekuatan yang mengerikan, ia memukul papan kayu jembatan dengan tongkat patah Mbah Pawiro.
Jembatan itu retak. Kayu tua itu mengerang dan mulai ambruk ke jurang di bawahnya.
Bian dan Tiara kehilangan pijakan. Mereka tergelincir, tas ransel yang berisi Lilin Hitam jatuh semakin jauh ke bawah jurang, menuju ke arah sungai batu yang gelap.
Di atas mereka, Jaga, yang di dalamnya Mbah Pawiro tertawa kemenangan, menatap mereka yang kini bergelantungan pada kayu jembatan yang tersisa. Dan di bawah mereka, Lilin Hitam itu jatuh bebas, menuju keheningan jurang yang menanti.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"