Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Alih perusahaan
"Baik-baik ya di sana, jangan nakal. Inget, jangan menjahili anak-anak cewek," pesan Alina sambil merapikan kerah seragam TK Aeris.
"Oke... itu juga kalau Aeris nggak khilaf ya, Ma," jawab Aeris santai.
Alina gemas sendiri, lalu mencubit kedua pipi putranya yang gembul itu.
Hari ini Senin—saatnya kembali ke rutinitas kerja.
"Sini, salim dulu," kata Alina sambil menyodorkan tangannya.
"Dadah Mama! Semangat kerjanya ya! Cari uang yang banyak buat kita jajan!" teriak Aeris sambil melambaikan tangan ceria.
Alina terkekeh melihat tingkah anaknya setelah mengantar ke TK yang sekaligus tempat penitipan anak tersebut. Begitu memastikan Aeris masuk dengan aman, ia segera naik taksi menuju kantor.
Sebulan terakhir ini, Alina memang pindah ke cabang kota ini. Penyebabnya karena kantor pusat di Kota A lagi terkena badai krisis keuangan dan restrukturisasi internal. Awalnya Alina sempat menolak keras. Bukan karena malas bekerja, tapi karena kota ini menyimpan banyak kenangan pahit baginya.
Pindah ke sini artinya dia harus menghirup udara yang sama lagi dengan 'pria itu'.
Tapi Kamelia meyakinkannya kalau ini kesempatan besar buat kariernya. Akhirnya, di sinilah dia sekarang.
Turun dari taksi, Alina menatap gedung tinggi di depannya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati, lalu melangkah masuk.
Di penerbitan ini, Alina bekerja sebagai re-writer sekaligus editor naskah. Meski baru sebulan, dia sudah akrab dengan ritme kantornya.
"Lo udah cek daftar naskah yang pending? Parah banget, tumpukan bulan lalu aja belum kelar!"
"Katanya sih orang keuangan lagi nahan izin cetak. Katanya dana produksinya lagi diaudit ulang."
"Masa sih? Perasaan buku-buku yang kita terbitin laku keras deh. Nggak masuk akal kalau dananya macet."
"Nggak tahu deh... jangan-jangan ada yang korupsi di bagian keuangan."
"Sst... pelanin suara lo, entar kedengeran orangnya berabe."
Alina sempat mengernyit mendegar gosip-gosip itu, tapi dia milih buat masa bodoh. Selama sebulan di sini, kerjanya masih aman-aman saja.
Ia hanya mengangkat bahu dan melanjutkan jalan ke ruangannya. Begitu duduk, ia menyalakan komputer.
"Semangat, Lin," gumamnya pelan sebelum mulai fokus mengetik.
Baru juga satu jam kerja, tiba-tiba pintu ruangannya digedor keras.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk aja!" seru Alina.
Pintu terbuka, muncul Siska dari staf marketing.
"Kenapa, Sis?" tanya Alina heran.
"Pak Direktur dateng! Dia minta rapat mendadak sekarang juga. Katanya penting banget!"
"Sekarang banget?"
"Iya! Buruan deh. Mukanya udah sepet banget kaya nahan marah. Gue takut kita semua kena semprot," ucap Siska panik.
Alina buru-buru berdiri dan mencantolkan ID card-nya. Di koridor, karyawan lain juga tampak lari-lari kecil menuju ruang rapat.
"Bisa jalan lebih cepet tidak!?" bentak Pak Erwin, direktur sekaligus pemilik PT Penerbit Jaya.
Alina refleks menunduk. Di dalam ruang rapat, atmosfernya terasa panas dan mencekam. Semua orang duduk tegang.
"Seminggu ini saya diem ya! Saya pantau kalian dari jauh!" suara Pak Erwin mulai meninggi. "Tapi makin ke sini, kerjaan kalian malah makin berantakan. Saya nggak bisa sabar lagi!"
Matanya menatap tajam satu per satu karyawannya.
"Kalau begini terus gaya kerjanya, jangan kaget kalau besok saya ganti kalian semua sama orang baru!"
"Laporan yang saya terima, banyak naskah yang nggak terbit-terbit. Penulis pada protes naskahnya cuma jadi pajangan di meja redaksi. Bahkan yang bukunya best seller pun komplain soal royalti. Mereka cuma terima seperempat, padahal penjualannya meledak! Kalian pikir saya buta sama masalah ini!?"
Pak Erwin membanting berkas ke meja hingga suaranya menggelegar. Tatapannya lalu tertuju pada Hari, kepala divisi keuangan.
"Kamu, Hari! Kamu korupsi uang perusahaan, kan!?" tuduh Pak Erwin telak.
"Nggak, Pak! Sumpah, saya nggak pernah ngelakuin itu!" bantah Hari dengan muka pucat pasi.
"Terus ke mana larinya duit itu kalau bukan ke kantong kamu!? Laporan masuk sama keluar jomplang banget! Banyak angka yang nggak masuk akal!"
Hari cuma bisa meremas tangannya sendiri, napasnya memburu dan tidak berani menatap balik.
Tidak berhenti di situ, Pak Erwin beralih ke yang lain.
"Kamu, Tanisa! Banyak pembeli yang protes soal desain cover buku kita. Katanya desain kamu hasil plagiat penerbit lain! Kamu nggak punya ide sendiri apa gimana?!"
Tanisa hanya bisa menunduk dalam-dalam, tidak sanggup menjawab apa-apa.
Ruang rapat mendadak sunyi senyap. Semua orang menahan napas, tidak ada yang berani bergerak.
"Kalau kalian tetep begini, perusahaan ini bakal bangkrut, dan kalian semua akan saya pecat!" ancam Pak Erwin tegas.
Alina menggigit bibir. Baru sebulan bekerja, dia sudah disuguhi drama seberat ini. Masalah uang memang selalu jadi hal paling sensitif.
"Bubar semua!" bentak Pak Erwin lagi.
Begitu ruangan kosong, Pak Erwin membanting kursinya dengan kasar. "Sial! Kerja tidak ada yang benar!" umpatnya frustrasi.
••••••
Di kantor lain...
Tok! Tok! Tok!
Revan yang lagi fokus memeriksa dokumen langsung menoleh ke arah pintu.
"Ini kopinya," ujar Devi, sambil menaruh cangkir di meja.
"Makasih," jawab Revan singkat.
"Hm... ada tamu yang mau ketemu."
"Siapa?"
"Pak Erwin."
Revan menaikkan sebelah alisnya. Sudah lama dia tidak dengar nama itu.
"Pasti mau minta tolong," gumam Revan.
"Suruh dia masuk."
"Baik," jawab Devi, lalu keluar.
Tidak lama, pria paruh baya masuk ke ruangan. Revan menghela napas, melepas kacamatanya, dan menyambut formal.
"Selamat datang, Pak Erwin. Silakan duduk, kita ngobrol di sofa aja," ajak Revan.
Revan duduk dengan santai sambil menyilangkan kaki, menatap tamunya.
"Jadi, ada perlu apa Anda ke sini? Langsung saja, saya nggak suka basa-basi," todong Revan tanpa aling-aling.
"Begini, Pak Revan..." Erwin tampak ragu sebelum lanjut, "...perusahaan saya lagi krisis keuangan. Banyak karyawan yang main belakang, dan... saya ke sini niatnya mau pinjam dana buat menyelamatkan perusahaan."
Revan menghela napas tipis. "Saya sudah denger soal kekacauan di kantor Anda. Tapi jujur, saya nggak tertarik buat kasih pinjaman. Risikonya besar buat saya."
"Pak, tolong bantu saya kali ini aja. Saya janji akan mengembalikan semuanya."
"Meminjam uang itu tidak gampang, apalagi jumlah yang Anda butuhkan pasti besar," kata Revan tenang.
"Terus saya harus bagimana? Saya tidak mau usaha yang saya bangun dari nol ini bangkrut," keluh Erwin stres. "Perusahaan Anda kan besar, uang segitu tidak akan membuat Anda rugi kalau hanya meminjamkan ke saya."
"Asal Anda tahu ya, Pak Erwin, Anda bukan orang pertama yang datang ke sini untuk meminjam dana. Dan jawaban saya selalu 'tidak'. Tapi..."
Revan berdiri, memasukkan tangan ke saku celana sambil jalan ke arah jendela, menatap pemandangan kota.
"...saya punya tawaran lain," lanjutnya.
Erwin langsung mendongak bingung.
"Saya mau suntik dana, bahkan menanam saham di tempat Anda. Tapi ada satu syarat mutlak..."
Revan berbalik, menatap Erwin tajam.
"...saya yang akan mengambil alih pimpinan. Saya yang jadi direkturnya, menggantikan Anda."
"Apa!?" Erwin kaget bukan main.
"Perusahaan Anda butuh uang banyak. Dan tidak akan ada investor waras yang mau mengambil risiko ini selain saya, kan?"
Revan melangkah pelan mendekati meja kerjanya.
"Jadi... kalau mau usaha Anda tetep berjalan, ini satu-satunya cara. Saya tidak maksa, tapi tawaran ini cuma berlaku sekarang. Detik ini juga."
Erwin terdiam seribu bahasa. Mukanya tegang, pikirannya berkecamuk. Akhirnya, dia menghela napas pasrah.
"...Oke. Saya setuju,"
Revan tersenyum tipis. "Bagus. Kita urus dokumennya sekarang."