NovelToon NovelToon
Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Kriminal dan Bidadari / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Playboy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ricca Rosmalinda26

Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.

Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.

Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Pagar Rumah Itu

Hari itu akhir pekan.

Tidak ada suara mobil keluar-masuk, tidak ada panggilan rapat, tidak ada bunyi ponsel berdering.

Rumah besar yang biasanya sepi itu terasa berbeda, lebih hidup, lebih hangat, meski hanya oleh langkah lembut seorang perempuan.

Arga duduk di balkon lantai dua, dengan cangkir kopi di tangan dan pandangan kosong ke halaman bawah.

Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia tidak berangkat ke kantor.

Entah mengapa, tubuhnya terasa lelah. Ia hanya ingin duduk diam, menikmati udara pagi… sampai matanya tanpa sengaja menangkap sosok Alya di halaman.

Perempuan itu mengenakan gamis sederhana berwarna lembut, dengan kerudung panjang yang menutupi sebagian punggungnya.

Gerakannya pelan tapi pasti, seperti seseorang yang terbiasa mengerjakan segala hal dengan penuh kesabaran.

Ia membawa selang kecil, menyirami pot-pot bunga yang berjajar di teras belakang.

Tangan halusnya menyentuh daun satu per satu, seolah tanaman-tanaman itu makhluk hidup yang harus diperlakukan dengan kasih.

Arga tidak tahu sejak kapan taman itu serindang sekarang.

Terakhir ia ingat, halaman rumahnya gersang, penuh debu dan daun kering. Tapi kini, ada warna hijau di mana-mana, bunga melati yang baru mekar, dan suara gemericik kecil dari kolam ikan di sudut halaman.

Dan di sanalah Alya berjongkok, menabur pakan ikan sambil tersenyum.

“Subhanallah, kalian lucu sekali…” gumam Alya lirih, menatap ikan-ikan kecil itu yang berebut makanan.

Suaranya lembut, seperti doa yang menenangkan.

Arga terdiam.

Itu kolam buatannya dulu, satu-satunya hal yang ia rawat sendiri sebelum semuanya berubah jadi kosong.

Dan sekarang, kolam itu hidup kembali karena tangan perempuan yang bahkan tidak pernah ia sentuh.

Dia tidak sadar bahwa dari balkon atas, ada sepasang mata yang memperhatikannya lama, mata seorang lelaki yang mulai kehilangan kata-kata.

---

Setelah selesai di halaman, Alya masuk ke dapur.

Wangi tumisan bawang menyebar ke seluruh rumah.

Arga bisa mencium aromanya sampai ke lantai dua.

Ada sesuatu yang ganjil di dadanya, bukan lapar, tapi hangat yang sulit dijelaskan.

Ia melihat jam di dinding: pukul tujuh . Biasanya pada jam segini, ia sudah di kantor, tenggelam dalam rapat dan emosi.

Tapi pagi ini, entah kenapa, ia justru duduk diam dan memperhatikan bagaimana seorang istri yang selama ini ia cueki, menghidupkan rumah yang dulu terasa mati.

Alya menyiapkan dua piring nasi goreng sederhana.

Ia menata meja makan rapi, lalu duduk di kursi sendiri sambil menunggu.

Namun Arga tidak turun.

Ia hanya memandangi punggung Alya dari lantai atas, melalui pembatas tangga.

---

Sekitar jam sembilan, suara lembut Alya terdengar dari ruang tamu.

Ia sedang menelepon seseorang.

Arga tanpa sadar berjalan mendekat ke arah tangga, berhenti di anak tangga terakhir, mengintip sedikit.

“Assalamu’alaikum, Ayah… Ibu…”

Nada suara Alya berubah hangat dan penuh rindu.

“Alhamdulillah, Ayah, Ibu… Alya sehat. Iya, pernikahan Alya juga baik-baik saja. Mas Arga orangnya sibuk, tapi InsyaAllah beliau sangat baik.”

Arga membeku di tempat.

Kalimat itu seperti tamparan.

Ia tahu persis, tidak ada satu pun dari ucapannya yang benar.

Ia bukan suami yang baik. Ia jarang pulang, kasar, bahkan tidak pernah bersikap lembut pada Alya.

Tapi perempuan itu… masih menyebutnya suami baik di hadapan orang tuanya.

“Iya, Bu… belum bisa pulang. Mas Arga banyak urusan pekerjaan. Mungkin nanti kalau waktunya longgar, kami sempatkan berkunjung ke rumah,” lanjut Alya, suaranya tenang, padahal matanya tampak berkaca-kaca.

Arga menatapnya dari jauh.

Ada sesuatu di dadanya yang mencengkeram kuat.

Antara rasa bersalah dan rasa tak percaya.

Mengapa perempuan itu masih bisa bicara sebaik itu tentang dirinya?

---

Setelah panggilan itu berakhir, Alya menutup ponselnya perlahan, lalu menghela napas.

Tatapannya kosong ke arah jendela, tapi senyumnya tetap terjaga.

Ia berbisik pelan,

“Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini karena telah berbohong. Aku hanya tak ingin Ayah dan Ibu sedih. Bimbinglah aku untuk tetap sabar, karena sesungguhnya Engkau bersama orang-orang yang sabar.”

Arga mendengar kalimat itu.

Hatinya seperti diremas.

Dia menelan ludah, lalu mundur beberapa langkah ke belakang.

Ia tak tahu harus merasa apa, marah, malu, atau kagum?

Yang jelas, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari perempuan itu.

---

Hari itu Arga tidak keluar rumah.

Dia hanya duduk di ruang kerjanya, mencoba membaca laporan-laporan, tapi pikirannya melayang ke arah dapur.

Ia mendengar langkah Alya yang bolak-balik, suara piring dan lainnya.

Arga sempat berdiri di depan pintu kamar Alya yang sedikit terbuka.

Dari celah kecil, ia melihat Alya sedang sujud.

Wajahnya teduh, gerakannya lembut, suaranya lirih ketika membaca doa.

Dan untuk alasan yang tidak ia pahami, Arga tidak bisa bergerak.

Ada sesuatu dari ketenangan itu yang menenangkan jiwanya yang rusuh.

---

Sore menjelang.

Alya duduk di teras, menulis sesuatu di buku kecilnya.

Arga yang baru keluar dari ruang kerja memperhatikannya diam-diam.

“Menulis apa?” suara Arga tiba-tiba terdengar, membuat Alya sedikit terkejut.

Ia menoleh, wajahnya lembut tapi kaget. “Oh... Mas sudah bangun. Ini cuma catatan kecil, Mas. Aku terbiasa menulis harian.”

Arga duduk di kursi seberang, menatapnya tanpa ekspresi. “Catatan tentang apa?”

Alya menutup bukunya, tersenyum kecil. “Tentang rasa syukur. Hari ini aku menulis bahwa Allah masih memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan itu sudah cukup membuat aku bahagia.”

Arga memalingkan wajah. “Lo nggak bosan bersyukur terus? Hidup lo kayaknya nggak... bahagia.”

Alya menggeleng pelan. “Bahagia itu bukan karena keadaan, Mas. Tapi karena hati yang ridha. Aku belajar itu di pesantren dulu. Kalau kita ikhlas, hidup jadi ringan. ‘Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.’ (QS. Ath-Thalaq: 2–3).”

Arga terdiam.

Dia tidak bisa membalas kalimat itu.

Sebuah ketenangan aneh mulai merayap di dadanya, sesuatu yang tidak ia dapatkan dari dunia luar, dari klub, atau dari alkohol.

---

Sementara setelah Arga pergi, suara ponsel Alya berdering lembut. Ia baru saja selesai menutup buku jurnalnya ketika nama Bu Norma muncul di layar, pengurus panti sosial tempat Alya dulu sering menjadi relawan sebelum menikah.

“Assalamu’alaikum, Bu Norma,” sapa Alya dengan suara lembut.

“Wa’alaikumussalam, Nak Alya. Bagaimana kabarmu, Sayang?”

“Alhamdulillah baik, Bu.”

“Syukurlah. Ibu dengar kamu sudah menikah, ya? Selamat, Nak. Semoga sakinah, mawaddah, warahmah.”

Alya tersenyum kecil. “Amin, terima kasih, Bu.”

Suara Bu Norma terdengar lembut di seberang, namun ada nada ragu.

“Begini, Nak Alya… Ibu sebenarnya ingin minta tolong. Dua relawan kita sedang cuti, dan anak-anak di panti sedang butuh bimbingan tambahan. Ibu langsung kepikiran kamu. Kamu masih mau bantu?”

Alya terdiam sejenak. Tangannya meremas ujung jilbabnya, matanya menatap meja yang kosong di depannya.

Dia ingin sekali mengiyakan, panti sosial itu sudah seperti rumah keduanya dulu. Tapi kini, hidupnya bukan lagi sepenuhnya miliknya.

“Insya Allah, Bu… Alya sangat ingin membantu,” katanya hati-hati. “Tapi Alya harus minta izin suami dulu.”

“Oh tentu, Nak. Ibu mengerti.”

“Iya, Bu. Nanti kalau sudah dapat izin, Alya kabari ya.”

Ada jeda singkat sebelum Bu Norma menjawab.

“Tidak apa-apa, Nak. Ibu justru senang kamu tetap menjaga adab seperti itu. Ingat, ridha Allah itu ada pada ridha suami.”

Alya tersenyum samar. “Iya, Bu. Alya selalu ingat itu.”

Setelah telepon ditutup, Alya masih duduk lama. Pikirannya penuh.

Ia tahu Arga bukan tipe yang mudah memberi izin. Ia tahu suaminya bahkan belum sepenuhnya menerimanya sebagai istri. Tapi ia juga tahu, menolak panggilan kebaikan bukan hal ringan.

1
Rosvita Sari Sari
alya mah ngomong ceramah ngomong ceramah, malah bikin emosi
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Ma Em
Dengan kesabaran Alya dan keteguhan hatinya akhirnya Arga sadar dgn segala tingkah perlakuannya yg selalu kasar pada Alya seorang istri yg sangat baik berhati malaikat
Ma Em
Semoga Alya bisa meluluhkan hati Arga yg keras menjadi lembut dan rumah tangganya sakinah mawadah warohmah serta dipenuhi dgn kebahagiaan 🤲🤲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!