NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:820
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Darah di bayar darah

Sore mulai turun, sinar matahari menembus jendela besar ruang kerja Fandi. Ia menutup laptop, menarik napas panjang lalu berdiri.

“Udah sore juga,” gumamnya pelan.

Kei menoleh dari kursi, menatap bosnya yang sudah melepas jas.

“Lo serius berhenti kerja jam segini? Tumben nggak nunggu lembur kayak biasanya?”

Fandi melirik singkat. “Aku kerja, bukan budak.”

Alfin yang duduk di sofa langsung terkekeh. “Wih, mulai capek juga nih anak ajaib.”

Fandi cuma mendengus kecil. “Capek bukan alasan buat berhenti, tapi tau kapan cukup itu penting.”

Mereka bertiga berjalan keluar ruangan. Karyawan yang masih sibuk langsung menunduk hormat, dan seperti biasa Fandi cuma balas dengan anggukan kecil.

Begitu sampai di parkiran basement, Kei langsung buka pintu belakang mobil hitam itu.

“Rumah?” tanya Kei sambil menatap dari kaca spion.

“Ya,” jawab Fandi pelan. “Ada yang perlu aku lihat.”

Perjalanan pulang sunyi. Hanya suara mesin dan gesekan ban di jalan basah.

Kei akhirnya angkat bicara, “Kau masih mikirin paman Hans, kan?”

Fandi menatap lurus ke depan. “Aku nggak mikir, Kei. Aku cuma ngerasa aneh aja.”

“Aneh gimana?” tanya Alfin pelan.

“Semua terasa terlalu rapi,” jawab Fandi dingin. “Kematian yang dikemas seperti kecelakaan. Kau tahu itu nggak mungkin kebetulan.”

Kei menatapnya lewat spion tengah. “Jadi lo yakin ini pembunuhan?”

Fandi cuma mengangguk. “Dan aku akan buktiin.”

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan gerbang besar kediaman Dirgantara. Dua barisan pasukan berseragam hitam langsung berdiri tegak memberi hormat. Fandi hanya melangkah masuk tanpa suara.

Begitu tiba di lantai dua, ia membuka pintu kamar yang terkunci dari luar. Di dalam, Epi masih terbaring diam. Napasnya pelan, wajahnya pucat tapi tampak tenang. Fandi hanya berdiri sebentar, menatapnya, lalu menutup pintu kembali.

Tak lama kemudian, ia turun dengan pakaian santai. Kei dan Alfin sudah duduk di ruang tamu, obrolan ringan langsung berhenti begitu Fandi duduk di kursi utama.

“Dia udah sadar?” tanya Kei.

“Belum sepenuhnya,” jawab Fandi singkat sambil menatap ponsel di tangannya — ponsel milik gadis itu. Ia mengusap layar, membaca nama di akun iCloud-nya. “Namanya Epi,” gumamnya pelan.

Alfin bersandar. “Gadis biasa, tapi nasibnya sial banget.”

“Bukan sial,” potong Fandi. “Mungkin dia satu-satunya saksi.”

Kei melipat tangan. “Lo yakin dia liat pelaku?”

“Belum tentu. Tapi instingku bilang dia tahu sesuatu.”

Ruangan mendadak hening. Hanya suara detik jam terdengar samar.

Fandi masih memutar ponsel itu di tangannya, menatap lurus ke depan.

“Kita harus cari tahu siapa yang bunuh Paman Hans.”

Kei menatapnya serius. “Maksud lo… mau turun tangan sendiri?”

“Tentu,” jawab Fandi datar. “Kalau cuma ngandelin polisi, pembunuhnya udah kabur sebelum mereka nyentuh berkas.”

Alfin mengangkat alis. “Lo emang nggak pernah berubah ya? Dingin, tapi gila.”

Fandi meliriknya sekilas. “Kalau aku berubah, mungkin aku udah mati duluan.”

Mendadak, suara ketukan cepat terdengar dari luar.

Tok… tok… tok…

Seorang ajudan masuk buru-buru. “Malam, Tuan. Ada Pak Hengki datang, ingin bertemu.”

Fandi menatapnya singkat. “Suruh masuk,” jawabnya pelan tapi tegas.

Kei langsung berdiri. “Bang Hengki dateng ke sini malam-malam, pasti ada hal penting.”

Fandi hanya berkata pendek, “Aku tahu. Dan mungkin bukan kabar baik.”

Beberapa menit kemudian, langkah sepatu terdengar dari lorong panjang. Seorang pria berjas cokelat masuk, wajahnya lelah tapi tetap berusaha tersenyum.

“Bang Hengki,” sapa Fandi, berdiri dan menjabat tangannya erat.

“Tumben banget datang ke rumah, biasanya cuma ketemu di acara keluarga atau kantor ayah,” tambahnya.

Hengki mengangguk pelan. “Iya, Fan. Aku baru pulang dari makam ayah… terus ngerasa harus kesini.”

Fandi menatap dalam, membaca gelagatnya. “Ada yang mau dibicarakan, kan?”

Hengki menarik napas berat, duduk di kursi seberang. “Soal ayahku.”

Kei langsung duduk tegak, Alfin menyandarkan punggung dengan pandangan tajam.

“Aku rasa… kematiannya bukan kecelakaan,” kata Hengki lirih tapi mantap.

Fandi tak kaget, hanya menggeser pandangan ke arah meja. “Aku sudah curiga,” katanya datar.

“Serius?” Hengki menatap cepat. “Jadi kau juga—”

Fandi memotong, “Ya. Terlalu banyak kejanggalan. Lokasi, waktu, dan saksi yang tiba-tiba hilang. Semuanya dibuat rapi, seperti diskenario.”

Hengki mengepalkan tangan. “Sialan… aku tahu ada yang aneh. Beberapa hari sebelum ayah meninggal, rumah kami diteror. Ada bangkai hewan dilempar ke halaman, masih berdarah. Aku pikir cuma ancaman kosong.”

Kei mendesis pelan, “Anjir, udah seberani itu.”

“Kenapa kau nggak lapor?” tanya Fandi, nadanya dingin tapi menekan.

“Ayah nggak mau. Katanya jangan libatkan kamu, kamu udah terlalu sibuk.” Hengki tertunduk. “Andai aku nekat ngabarin waktu itu…”

Fandi memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, tatapannya tajam. “Bang Hengki, aku butuh satu hal — nama siapa pun yang terakhir kali kontak sama Paman Hans sebelum kejadian.”

Hengki berpikir sebentar. “Seingatku, ada rapat tertutup sama beberapa orang pemerintah dan investor. Salah satunya Mahawira Holdings.”

Alfin langsung mendecak. “Mahawira lagi. Nama itu muncul terus.”

Fandi menatap ke arahnya. “Aku udah punya datanya. Cuma tinggal waktu buat buktiin.”

Hengki menatap Fandi serius. “Jadi kamu beneran nyelidikin ini?”

“Ya,” jawab Fandi tanpa ragu.

Hengki menarik napas lega tapi juga gugup. “Aku… tadinya mau minta bantuan kamu. Tapi ternyata kamu udah jalan duluan.”

“Polisi nggak akan bisa sentuh orang-orang kayak Mahawira,” ucap Fandi. “Mereka punya uang, punya kuasa. Kalau cuma dipenjara, mereka bisa beli kebebasan kapan aja.”

“Lalu kamu mau ngapain?” tanya Hengki hati-hati.

Fandi menatap lurus padanya. “Balas.”

Ruangan mendadak hening. Kei dan Alfin saling melirik, tahu arah pembicaraan ini mulai berbahaya.

“Balas dengan apa, Fan?” tanya Hengki pelan.

“Dengan caraku.”

Kei menyengir samar. “Itu artinya… darah dibayar darah.”

Fandi tidak menjawab, hanya menatap api kecil di tungku ruang tamu.

Hengki menelan ludah, tapi wajahnya berubah mantap. “Kalau begitu, aku ikut.”

“Yakin?” Alfin menyipitkan mata. “Lo tau resikonya, kan?”

“Aku udah nggak punya siapa-siapa selain istri dan anakku. Kalau aku diem, mereka bisa jadi korban berikutnya,” jawab Hengki lirih.

Fandi berdiri pelan, mendekat. “Oke. Tapi mulai malam ini, rumahmu dijaga dua puluh orang pasukan Dirgantara. Jangan keluar sendirian.”

“Apa nggak kebanyakan, Fan?”

“Kurang malah,” potong Fandi tegas. “Dua orang bisa habisin sepuluh musuh sekaligus. Tapi aku nggak mau ngambil risiko.”

Kei menimpali sambil bersandar, “Lo suruh istri dan anak lo juga jangan sok santai. Kalau keluar, minimal dua orang ikut. Sekalian biar mereka tahu rasanya dikawal elite.”

Hengki tersenyum kecil meski masih tegang. “Iya, aku tahu… pasukan Dirgantara itu legenda. Kabarnya kebal peluru, ya?”

Alfin nyengir. “Nggak kebal peluru, cuma lebih cepat dari yang nembak.”

Fandi mengulurkan tangan. “Mulai malam ini, kita nggak nunggu hukum jalan. Kita jalanin sendiri.”

Hengki berdiri, menatap mata Fandi yang tajam tapi tenang. “Aku percayakan semuanya padamu, Fan. Tapi janji satu hal—jangan biarkan aku cuma jadi penonton.”

Fandi mengangguk pelan. “Kau akan lihat sendiri bagaimana mereka dibayar lunas.”

Mereka berpelukan singkat, tanpa banyak kata.

Begitu Hengki pergi bersama pasukan pengawal, Fandi berdiri di depan pintu, menatap mobil yang menjauh. Tatapannya datar tapi dingin.

Kei mendekat. “Dia kelihatan kuat, tapi matanya nyimpan ketakutan.”

“Wajar,” jawab Fandi pelan. “Dia baru kehilangan segalanya.”

Alfin menimpali, “Lo yakin dia bisa dikontrol?”

Fandi menatap ke arah langit malam. “Kalau nggak bisa dikontrol… dia akan jadi umpan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!