NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Maya terpaku di depan pengumuman itu, napasnya tertahan. Tulisan "DICARI: PEMBANTU RUMAH TANGGA" seolah melompat keluar dari kertas, menari-nari di depan matanya. Dia tahu persis rumah mana yang dimaksud: rumah besar di Jl. Kenanga No. 12, rumah Arya. Sebuah getaran aneh menjalari tubuhnya, perpaduan antara kecemasan dan antisipasi yang membingungkan. Ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk mendapatkan uang, yang sangat dibutuhkan oleh Maya dan Tama. Tapi juga, sebuah kesempatan untuk... entahlah. Berada di dekat Arya, perhaps? Pikiran itu sendiri sudah terasa seperti pengkhianatan.

"Mbak Maya? Belanja, Mbak?" Suara Pak Jaja, pemilik warung, membuyarkan lamunannya.

Maya tersentak. "Eh, iya, Pak Jaja. Ini... mau beli rokok sama kopi titipan Mas Tama." Ia buru-buru menyingkir dari papan pengumuman.

Pak Jaja mengangguk, sibuk melayani pembeli lain.

Maya mencoba untuk tidak menatap lagi pengumuman itu, tapi pandangannya terus saja melirik ke arah kertas putih yang menempel di dinding. Gaji menarik, diutamakan yang jujur dan rajin. Sebuah tawaran yang sulit ditolak di tengah kesulitan finansial yang mencekik.

Setelah mendapatkan belanjaannya, Maya melangkah pulang, pikirannya kacau balau. Haruskah ia mencoba? Pekerjaan ini jelas akan membantu mereka. Tapi konsekuensinya? Bekerja di rumah seorang pria duda yang sudah ia rasakan daya pikatnya, bahkan hanya dari tatapan singkat. Apakah ia sanggup mengendalikan diri?

Setibanya di rumah, ia langsung menyusun rokok dan kopi di meja. Aroma tembakau dan kopi yang pekat menguar, mengisi ruang tengah yang terasa senyap. Maya duduk di sofa lusuh, menatap kosong ke arah dinding. Selama ini, hidupnya terasa seperti labirin tanpa ujung, dan pengumuman itu adalah sebuah peta yang tiba-tiba muncul. Peta menuju apa? Kebebasan finansial, atau jurang yang lebih dalam?

Pukul dua siang, saat ia mengantarkan makan siang ke bengkel Tama, ia melihat Pak Jaja sedang berbicara dengan Tama. Mereka berdua tertawa, dan Maya bisa menebak mereka sedang membicarakan tetangga baru itu. Tama memang suka bergaul dan mendengarkan cerita dari teman-temannya.

"Eh, Maya sudah datang!" seru Pak Jaja, tersenyum padanya. "Pas sekali, saya baru saja cerita tentang pengumuman di warung."

Jantung Maya berdegup. Pasti pengumuman yang sama. Ia melirik Tama. Suaminya menatapnya dengan raut penasaran.

"Pengumuman apa, Pak Jaja?" tanya Tama, mengambil rantang dari tangan Maya.

"Itu loh, Mas Tama, rumah sebelah yang baru itu. Rumah si Tuan Arya. Dia cari pembantu rumah tangga. Gajinya lumayan loh katanya," jelas Pak Jaja, suaranya sedikit merendah seolah berbagi rahasia besar. "Siapa tahu ada saudara atau kenalan yang butuh pekerjaan."

Tama mengangguk-angguk. "Oh, begitu." Ia melirik Maya. "Yank, kamu dengar?"

Maya mengangguk kaku. "Dengar, Mas."

"Lumayan itu, Mas, gajinya katanya di atas rata-rata," tambah Pak Jaja, bersemangat. "Buat nambah-nambah kan bisa. Apalagi Tuan Arya orangnya kayaknya baik dan tidak neko-neko."

Tama tidak berkomentar lebih lanjut. Ia fokus pada makanannya. Maya merasa sedikit lega karena Tama tidak langsung curiga atau menanyakan lebih jauh. Ini kesempatan baginya untuk mempertimbangkan dengan matang.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Maya terus berkecamuk. Pekerjaan. Kata itu terdengar begitu menggoda. Selama ini, ia hanya mengandalkan penghasilan Tama yang pas-pasan. Ia ingin membantu. Ia ingin punya penghasilan sendiri, bahkan jika hanya untuk membeli keperluan pribadinya tanpa harus meminta pada Tama. Bukankah itu adalah hal yang wajar? Seorang istri yang ingin meringankan beban suaminya.

Setibanya di rumah, Maya mulai merenung. Apa saja keuntungan yang ia dapatkan jika bekerja di sana?

Pertama, uang. Tentu saja uang. Uang itu bisa ia gunakan untuk kebutuhan rumah tangga, atau mungkin, untuk menabung demi pemeriksaan kesuburan yang lebih intensif di rumah sakit yang lebih besar. Itu adalah motivasi yang kuat.

Kedua, kesibukan. Selama ini, hidupnya hanya berputar di sekitar rumah kecil ini. Pekerjaan ini akan

memberinya rutinitas baru, interaksi dengan orang lain, dan mungkin, sedikit pelarian dari kehampaan yang ia rasakan.

Ketiga, Arya. Pikiran tentang Arya muncul lagi, tidak bisa ia abaikan. Mengapa ia begitu tertarik pada pria itu? Maya memarahi dirinya sendiri. Ini tidak benar. Ia sudah bersuami. Ia harus menjaga diri. Tapi ada sesuatu dalam pesona Arya yang begitu kuat, begitu mengundang, dan ia tak bisa menyangkalnya. Mungkinkah bekerja di sana akan meredakan rasa penasarannya, atau justru membakarnya lebih jauh?

Ia mengambil ponsel lamanya, yang hanya ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Tama dan sesekali melihat status WhatsApp tetangga. Nomor telepon yang tertera di pengumuman itu terlintas di benaknya. Ia bisa menelponnya. Hanya untuk bertanya-tanya, pikirnya. Belum tentu melamar.

Maya mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini murni demi keuangan keluarga. Demi Tama, dan demi impian mereka memiliki anak. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada motif lain yang lebih dalam, lebih gelap, dan jauh lebih berbahaya. Motif yang berhubungan dengan pria bermata tajam itu.

Sore harinya, saat Tama sudah pulang dan sedang mandi, Maya memberanikan diri. Ia meraih ponselnya, mencari kertas pengumuman yang ia lihat tadi pagi di warung Pak Jaja. Nomor itu sudah terukir jelas di ingatannya. Ia mengetikkan nomor itu perlahan, jarinya gemetar saat menekan tombol panggil.

Tuuut... tuuut...

Jantungnya berdebar kencang. Ia hampir membatalkan panggilan itu. Bagaimana jika Arya yang mengangkat? Apa yang harus ia katakan?

"Halo?" Suara seorang wanita paruh baya menjawab dari seberang. Bukan Arya. Maya menghela napas lega sekaligus sedikit kecewa.

"Halo... selamat sore. Maaf, ini dengan siapa ya?"

Maya bertanya, suaranya sedikit bergetar.

"Sore. Saya Bi Sumi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab suara itu.

Ah, Bi Sumi. Maya ingat Bi Sumi adalah pengurus rumah Arya. "Oh, Bi Sumi. Ini Maya, tetangga di sebelah. Saya... tadi lihat pengumuman di warung Pak Jaja, kalau Pak Arya mencari pembantu rumah tangga."

"Oh, iya, betul, Mbak Maya. Tuan Arya memang sedang mencari. Apakah Mbak Maya berminat?" tanya Bi Sumi dengan ramah.

Maya menarik napas dalam-dalam. "Saya... berminat, Bi. Tapi, saya mau tanya-tanya dulu. Seperti apa pekerjaannya, dan gajinya bagaimana?"

"Bisa, bisa, Mbak. Kalau Mbak Maya mau, besok pagi saja datang ke rumah. Kita bisa ngobrol-ngobrol langsung. Kebetulan Tuan Arya besok pagi ada di rumah," ajak Bi Sumi.

Jantung Maya kembali berdesir. Besok pagi. Dan Arya ada di rumah. Ini artinya, ia akan bertemu Arya lagi, secara langsung, untuk pertama kalinya sebagai calon karyawan.

"Baik, Bi. Saya datang besok pagi," jawab Maya,

berusaha agar suaranya terdengar tenang.

"Baik, Mbak Maya. Kami tunggu ya," kata Bi Sumi, lalu panggilan berakhir.

Maya menurunkan ponselnya. Tangannya masih sedikit gemetar. Ia baru saja mengambil langkah pertama. Langkah yang mungkin akan mengubah segalanya. Sebuah keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Tama. Rasa bersalah mulai menjalar, tapi di sisi lain, ada juga perasaan lega dan semangat yang membakar.

Ia melihat ke arah jam dinding. Sebentar lagi Tama selesai mandi. Ia harus memikirkan bagaimana caranya menjelaskan ini pada suaminya. Tama pasti akan terkejut. Ia selalu tahu Maya ingin membantu secara finansial, tapi pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumah tetangga lajang, seorang duda yang kaya raya, mungkin akan menimbulkan pertanyaan.

Malam itu, di meja makan, Maya mencoba mencari waktu yang tepat. Tama sedang makan dengan lahap, menceritakan tentang perbaikan mesin motor yang rumit di bengkelnya.

"Mas..." Maya memulai.

Tama mendongak. "Iya, Yank?"

"Aku... ada sesuatu yang mau aku bicarakan."

Tama meletakkan sendoknya. "Ada apa? Tumben serius begitu."

Maya menarik napas dalam-dalam. "Tadi siang, aku lihat pengumuman di warung Pak Jaja." Ia melihat raut wajah Tama berubah serius. "Rumah tetangga baru kita itu, Mas. Tuan Arya. Dia cari pembantu rumah tangga."

Tama mengerutkan kening. "Lalu?"

"Aku... aku sudah telepon. Tadi yang angkat Bi Sumi.

Dia bilang disuruh datang besok pagi untuk wawancara," kata Maya, suaranya mengecil di akhir kalimat.

Tama menatapnya lurus. Ada kerutan di dahi suaminya, dan rahangnya mengeras. "Kamu melamar?"

Maya mengangguk pelan. "Iya, Mas. Aku cuma mau bantu kita. Kan kamu juga tahu kita butuh uang tambahan. Kalau gaji di sana lumayan, kita bisa menabung, Mas. Siapa tahu bisa untuk berobat lagi, untuk anak..." Maya berusaha memainkan kartu sensitif, tahu betapa Tama menginginkan anak.

Wajah Tama masih terlihat berat. Ia mengambil napas dalam-dalam. "Tapi... pembantu rumah tangga, Yank? Di rumah pria lajang?"

Maya menunduk. "Mas, aku cuma mau bekerja. Aku yakin Tuan Arya itu orangnya baik. Bi Sumi juga ada di sana kok." Ia tidak tahu apakah Arya benar-benar baik, tapi ia harus meyakinkan Tama.

Tama diam. Keheningan itu terasa panjang, mencekik. Maya bisa merasakan hatinya berdegup lebih kencang lagi. Ia tahu Tama tidak suka ide ini. Ia tahu Tama mungkin merasa harga dirinya terluka karena istrinya harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, di rumah orang lain lagi.

"Lagipula, aku tidak akan sering bertemu Tuan Arya kok, Mas. Aku hanya fokus bekerja," tambah Maya, lagi-lagi berbohong pada dirinya sendiri.

Tama akhirnya menghela napas panjang. Ia menatap

Maya, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa, Yank."

"Mas, izinkan aku mencoba. Demi kita," bujuk Maya, menatap Tama dengan tatapan memohon. Ia sungguh membutuhkan pekerjaan ini, entah karena alasan finansial murni atau dorongan dari dalam dirinya yang ingin dekat dengan Arya.

Tama masih terlihat ragu. Konflik jelas terlihat di matanya. Antara kebutuhan, kepercayaan pada istrinya, dan kecemasan yang samar.

"Sudah malam, Mas. Masih banyak yang harus kita bicarakan," kata Maya. "Tapi, bisakah Mas mempertimbangkannya malam ini?"

Tama menghela napas lagi. "Baiklah. Aku akan memikirkannya."

Maya mengangguk. Ia tahu ini tidak akan mudah. Namun, setidaknya, ia sudah melangkah. Keputusan ada di tangan Tama. Dan esok pagi, ia akan mendapatkan jawaban. Jawaban yang akan menentukan apakah pintu menuju dunia Arya akan terbuka lebar, atau tertutup rapat.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!