Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 — Rahasia yang Hampir Terungkap
Tiga hari setelah konfrontasi yang menyakitkan di sumur, ketegangan di antara Rho Jian dan Mei Lan masih setebal kabut di Jalur Batu Ular. Jian mempertahankan jaraknya, dingin dan efisien, sementara Mei Lan menyalurkan rasa sakitnya ke dalam alat tenun, menghasilkan kain yang semakin sempurna dan semakin dingin.
Namun, ketegangan emosional mereka segera digantikan oleh ketakutan yang lebih mendesak dan fisik.
Sore itu, Mei Lan sedang menenun di gudang, ditemani oleh aroma tajam rempah-rempah dan bisikan pelan dari anggota Jaringan Bawah Tanah di lantai bawah. Tiba-tiba, keheningan yang aneh menyelimuti area pasar gelap. Suara tawa dan tawar-menawar yang biasanya riuh mendadak menghilang, digantikan oleh kehati-hatian yang mencurigakan.
Jian, yang sedang mengasah pisau berburunya di sudut, langsung membeku. Ia tidak bergerak, tetapi seluruh tubuhnya menjadi kaku, seperti busur yang ditarik maksimal.
Mei Lan mendongak, merasakan bahaya yang dingin. Ia melihat ke Jian, yang kini berjalan lambat ke jendela kecil berjeruji besi, matanya menyipit, mengamati gang di bawah.
“Ada apa?” bisik Mei Lan, suaranya tercekat.
“Tenang,” desis Jian, suaranya rendah dan serak, nadanya memberi peringatan yang absolut. “Jangan bergerak dari alat tenunmu. Jangan angkat kepalamu.”
Mei Lan memaksa dirinya untuk kembali menenun, tetapi matanya terus terarah pada Jian. Ia melihat Jian memegang pisau berburunya erat-erat, genggaman yang membuat buku-buku jarinya memutih.
Jian melihatnya.
Di bawah, berjalan di gang kecil yang biasanya dilewati oleh buruh dan pedagang gelap, ada seorang pria asing. Pria itu mengenakan jubah sutra abu-abu yang mahal, bersih dan terawat, kontras mencolok dengan debu dan kotoran Kota Bayangan. Wajahnya kurus, tajam, dan tidak menunjukkan emosi apa pun.
Pria itu bergerak lambat, tidak tergesa-gesa, tetapi matanya bergerak dengan kecepatan yang menakutkan, memindai setiap bayangan, setiap wajah yang bersembunyi. Pria itu tidak terlihat mencari; ia terlihat menemukan.
Jian segera mengenali pria itu, dan darahnya terasa dingin di dalam nadinya. Itu bukan sembarang pelacak Istana. Itu adalah Tuan Yu, seorang Bayangan Istana—mata-mata paling elit, pembunuh yang terlatih, dan yang paling penting, mantan kolega dan bawahan Jian di Pasukan Elit Kekaisaran.
Tuan Yu tahu persis bagaimana Jian berpikir, bagaimana Jian bergerak, dan di mana Jian akan bersembunyi. Kehadiran Tuan Yu di Kota Bayangan berarti Istana telah menaikkan taruhan; mereka tidak lagi mengirim pelacak bodoh atau tentara biasa, mereka mengirim profesional untuk menghabisi target.
Jian mundur dari jendela, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak lagi bisa menyembunyikan kecemasannya. Kecemasan itu kini terpancar dari setiap pori-porinya, sebuah aura bahaya yang menyebar di ruangan itu.
“Siapa dia?” tanya Mei Lan, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang bercampur ketakutan.
Jian tidak menjawab, melainkan berjalan cepat ke sudut ruangan, mengambil gulungan jubahnya yang sudah usang, dan dengan cepat menyembunyikannya di bawah lantai kayu yang longgar. Ia menyembunyikan semua pisau berburu dan peralatan navigasinya. Ia bahkan mengambil botol balsem herbalnya dan menuangkan isinya ke sisa perapian dingin.
“Dia adalah musuh,” jawab Jian, setelah selesai menyembunyikan semua jejak. “Dia adalah Tuan Yu. Dia tahu siapa aku. Dan dia tahu cara berburu lebih baik daripada serigala mana pun.”
“Apakah dia melihat kita?”
“Tidak,” kata Jian, menghela napas panjang. “Tapi dia tahu aku dekat. Dia sedang memasang perangkap. Dia sedang mencari reaksi.”
Jian lalu melakukan sesuatu yang membuat Mei Lan terkejut. Ia duduk di seberang Mei Lan, di kursi yang biasanya ia hindari. Ia meraih alat tenunnya, dan berpura-pura memeriksa benang-benang itu, seolah-olah dia hanyalah buruh kasar yang membantu istrinya bekerja.
“Jika dia bertanya, aku adalah buruh yang Kau sewa di desa,” bisik Jian, matanya tetap waspada. “Kau harus terlihat dingin, marah, dan terikat pada pekerjaanmu. Kau tidak boleh menunjukkan keterikatan denganku. Kita harus terlihat seperti kesepakatan bisnis yang pahit. Apakah Kau mengerti, Mei Lan?”
Mei Lan mengangguk, jantungnya berdebar. Ia menyadari betapa besar risiko yang dihadapi Jian. Tuan Yu tidak datang untuk menangkap; dia datang untuk membunuh atau menyiksa.
Ketegangan di Jaringan Bawah Tanah meningkat selama dua hari berikutnya. Tuan Yu tidak pergi. Ia menyewa kamar di penginapan termahal di pinggiran pasar, sebuah tempat yang seharusnya tidak terjangkau oleh mata-mata Istana. Kehadirannya yang mewah dan mematikan membuat seluruh jaringan ketakutan.
Jian tidak keluar dari ruangan itu. Ia bahkan tidak berani mengambil air. Ia menjadi bayangan di dalam bayangan.
Kecemasan Jian sangat menular. Ia makan sangat sedikit, dan ia tidak tidur. Setiap kali ada suara langkah kaki di tangga, ia melompat, pisau kecil yang ia sembunyikan di lengan baju langsung berada di genggamannya.
Mei Lan, yang mengamati setiap gerakan Jian, mulai menyatukan kepingan teka-teki. Luka di punggung, Tuan Yu si pembunuh elit, dan rasa takut Jian akan kegagalan. Ini bukan tentang aib desa, ini tentang pengkhianatan tingkat tinggi di Istana.
Suatu malam, ketika Jian sedang mengawasi jendela, punggungnya menghadap Mei Lan, Mei Lan memberanikan diri.
“Jian,” panggil Mei Lan.
Jian tidak berbalik. “Ya?”
“Tuan Yu… dia memanggilmu Jenderal. Kau mengatakan Kau hanya buronan, seorang prajurit yang gagal. Tapi Bayangan Istana tidak mengejar prajurit gagal. Mereka mengejar pengkhianat. Apa yang sebenarnya Kau lakukan, Jian?”
Jian terdiam. Keheningan itu begitu berat, begitu tebal, hingga hampir melumpuhkan. Ia tidak bisa berbohong pada Mei Lan.
“Aku tidak bisa memberitahumu,” jawab Jian, suaranya serak dan jauh. “Kau tidak bisa memikul beban itu, Mei Lan. Semakin sedikit Kau tahu, semakin baik.”
“Semakin sedikit saya tahu, semakin saya takut,” balas Mei Lan, berdiri dan berjalan perlahan ke arahnya. “Jika Kau adalah pengkhianat, maka bahaya ini jauh lebih besar dari yang saya duga. Jika Kau ingin saya selamat, Kau harus mempercayai saya. Ceritakan padaku, Jian. Apa rahasiamu yang paling gelap?”
Jian berbalik, wajahnya dipenuhi siksaan. Ia meraih bahu Mei Lan, genggamannya kuat. “Aku mencoba melindungimu, Gadis Manis! Aku mencoba menjauh darimu! Tapi Kau terus menarikku kembali, Kau terus menenun benangmu ke dalam hidupku!”
“Lalu biarkan saya menenunnya!” teriak Mei Lan, air mata menggenang di matanya. “Jika saya harus mati, biarkan saya mati karena pilihan saya, bukan karena kebodohan dan ketidakpercayaanmu!”
Jian memejamkan mata, kepalanya bersandar di kepala Mei Lan. Ia tidak memeluknya, tetapi membiarkan dahi mereka bersentuhan. Napas mereka saling beradu, panas dan cepat.
“Aku—aku mencuri sesuatu,” bisik Jian, suaranya kini putus asa. “Bukan emas, bukan uang. Aku mencuri rahasia militer yang Istana ingin lindungi dari Kekaisaran Utara. Informasi yang bisa mengubah arus perang. Aku di sini untuk mengantarkan rahasia itu, tetapi aku gagal. Dan sekarang, Istana tahu. Mereka berpikir aku akan menggunakanmu sebagai umpan.”
Mei Lan terkejut. Informasi yang bisa mengubah arus perang. Ini adalah beban yang jauh lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan. Jian bukan hanya buronan, ia adalah kunci strategis.
“Lalu kita harus pergi sekarang,” bisik Mei Lan.
“Tidak bisa,” balas Jian, menarik napas dalam-dalam. “Tuan Yu sedang menunggu. Dia tahu aku akan panik. Kita harus menunggu. Kau harus menyelesaikan kain itu. Itu satu-satunya jaminan kita di sini.”
Ia menarik diri dari Mei Lan. Kecemasan di matanya kini berubah menjadi resolusi yang dingin.
“Kau sudah tahu cukup. Sekarang kembali ke tenunanmu. Aku akan menjadi perisaimu, Mei Lan. Tapi jangan pernah lagi membuatku merusak pertahananku.”
Jian kembali ke sudut ruangan, sekali lagi menjadi bayangan yang dingin. Tapi Mei Lan tahu, rahasia itu telah dibagi. Hubungan mereka kini tidak hanya didasarkan pada cinta dan jarak, tetapi juga pada pengkhianatan dan informasi militer yang mematikan.
Mei Lan kembali ke alat tenunnya. Ia tidak lagi menenun hanya untuk membebaskan Jian; ia menenun untuk hidup mereka.