“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Maha Mabuk
Keana tertawa kecil sambil mengambil burger di hadapannya, "Inisi rezeki nomplok namanya, Maha. Lo ngga usah sensi terus sama suami lo. Udah, tinggal dinikmati aja makanan yang dia pesen buat kita."
Maha mengerucutkan bibirnya, "iyasi, tapi kesannya kayak sok baik, cari perhatian."
Keana mengunyah burger sambil menatap sahabatnya dengan gelengan kepala. "Lo tuh bininya, ya pastilah dia cari perhatian. Lagipula, mungkin aja nanti lo bakalan jatuh cinta sama dia, siapa yang tahu?"
Maha mendengus pelan, "Jatuh cinta sama si om-om pedo? Gak akan Kea, gak akan!"
Keana hanya tersenyum misterius, "Gak akan, ya? Yah, kita lihat aja nanti." Dia mengangkat alisnya dengan tatapan menggoda.
Maha mendesah, mengangkat bahu dengan sikap seolah tidak peduli, "gak pokoknya, marriage is scary Kea, gue gak mau nyia-nyiain umur gue yang masih muda ini buat ngelayani dia, patriarki banget!"
Keana tertawa kecil mendengar pernyataan Maha. "Iya, iya, gue paham. Tapi lo juga ngga bisa selamanya lari dari pernikahan cuma karena takut sama pemikiran 'patriarki.' Lo harus tau dulu dia kayak gimana sebagai suami. Gue yakin, ngga semuanya seburuk yang lo pikir. Dia itu cerdas, berpendidikan. Gak mungkin punya pemikiran patriarki Maharani."
Maha memutar matanya. "Gue bukannya takut, Kea. Gue cuma gak mau terjebak dalam hubungan yang bakal bikin gue merasa terkekang. Gue punya impian, gue masih pengen ngejar pendidikan gue, pengen hidup bebas tanpa harus mikirin buat jadi wanita yang harus patuh dan tunduk sama laki-laki, apalagi kita aja di jodohin. See, dari kata 'dijodohin' aja udah tau dong kehidupan apa yang bakal gue jalanin kalau gue menyerahkan hidup gue buat pernikahan yang bahkan ngga gue mau ini.
Keana menatapnya dengan lembut. "Iya gue paham, tapi siapa bilang menikah bakal bikin lo kehilangan semua itu? Gue rasa, kalau lo kasih kesempatan, lo bisa tetap jadi diri lo sendiri. Lo bisa punya karier dan kehidupan yang lo mau, sambil tetep ada di pernikahan. Mungkin, lo cuma perlu ngobrol sama Mas Sastra tentang batas-batas lo, tentang apa yang lo mau."
Maha akhirnya mengambil burger miliknya dan memakannya dengan lahap, seolah ingin mengalihkan pikiran dari percakapan yang terlalu serius. "Yaudah lo aja yang gantiin gue buat jadi istri dia, gue persilahkan banget."
Keana berdecak sebal, "gue sih mau banget, coba deh pikir, siapa si yang ngga mau sama putra tertua Hardjo, secara finansial udah mapan, stabil pula, orangnya juga keliatan lembut gitu. Duh...gue sih bakal bucin tiap hari."
Maha mendengus kecil sambil mengunyah, "ah terserah lo aja deh, mau lo ambil tuh si om-om pedo, gue gak jadi masalah."
Keana tertawa pelan, "gak deh makasih. Mas Sastra cocok buat lo, kalian berdua emang jodoh. Yang satu tantrum yang satu penyabar, gak klop gimana coba!"
Maha memutar matanya, merasa tak terpengaruh dengan candaan Keana. "Jodoh apaan? Itu cuma skenario yang dipaksain keluarga gue. Gue ngga pernah milih dia, dan dia juga gak pernah milih gue. Kita dijodohin Kea, tapi bodohnya dia malah terima, seharusnya dia bisa nolak dong?!"
Keana menggeleng sambil tersenyum simpul. "Kadang, jodoh ngga selalu harus dipilih, Maha. Kadang, yang terbaik justru datang tanpa lo duga. Dan lo gak pernah tau, mungkin Mas Sastra itu bener-bener orang yang tepat buat lo. Lo aja yang belum mau nerima."
Maha mendesah berat, menatap sisa burger di tangannya sebelum akhirnya membuka kembali suaranya, "misi gue baru mau dimulai Kea, pokoknya gue akan lakuin apa aja supaya Sastra ilfeel sama gue!"
Keana mengangkat bahu dengan ekspresi pasrah. "Iyadeh, terserah lo aja, Maha. Tapi gue yakin, makin lo usahain bikin dia ilfeel, makin dia penasaran sama lo. Lagian, cowok kayak Mas Sastra kayaknya gak gampang dibuat kaya gitu."
Maha menyipitkan matanya, seolah menantang. "Tunggu aja, Kea. Gue bakal bikin dia nyerah. Gue ngga akan berhenti sampai dia sendiri yang angkat tangan."
Keana tertawa kecil sambil menyeruput minumannya. "Gue sih cuma bisa nonton dari pinggir, liat gimana usaha lo. Tapi inget, jangan sampe lo yang malah kepincut duluan sama dia."
Maha mendengus, "Gue? Kepincut sama dia? Gak mungkin! Kita lihat siapa yang menang nanti."
•••
Keana menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. "Bukannya lo dijemput pukul sembilan? Jangan bilang lo sengaja gak mau pulang bareng suami lo?" tanyanya, menatap Maha penuh curiga.
Maha yang sudah selesai mengenakan hoodie hanya terkekeh kecil. "Ya, terus kenapa kalau gue gak mau? Gue tuh ada janji sama seseorang."
Keana menggeleng pelan sambil menatap sahabatnya dengan tatapan tidak percaya. "Maha, lo tuh kocak deh. Janji sama siapa lagi sekarang?"
Maha tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Engga, beneran ada janji kok. Pokoknya gue harus ketemu seseorang, nanti kalau Sastra dateng lo bilang aja gue lagi ada urusan mendadak."
Keana mendesah, matanya menatap Maha tajam. "Urusan mendadak apaan lagi, Maha? Lo serius mau minggat sekarang? Nanti kalau dia marah beneran, gimana?"
Maha hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Ya biar aja. Kalau dia marah, itu tandanya misi gue berhasil, kan?" dia menjawab dengan nada ringan seolah tidak peduli.
Keana menggeleng lagi, tidak habis pikir. "Sumpah, Maha, lo gak bakal bertahan lama dengan pola pikir kayak gini. Lo pikir bikin suami lo ilfeel itu jalan keluar?"
Maha hanya tertawa kecil sambil menyelesaikan persiapannya. "Ya kita lihat aja nanti, Kea. Jangan ngadu ya, please tolongin gue kali ini, gue sebenernya lagi gak mau ketemu Sastra, lo mungkin gak paham gimana perasaan gue sekarang tapi gue mohon. Lo tenang aja, gue cuma mau ketemu seseorang, mau bahas tentang pekerjaan, ada yang nawarin gue. Kalau Sastra tau yang ada gue gak di izinin."
Keana menatap Maha dengan ragu, matanya menyipit curiga. "Yaudah iya, gue ngga bakal bilang sama suami lo, tapi beneran tentang pekerjaan kan?"
Maha tersenyum tipis, menggangguk singkat. "Iya, beneran tentang pekerjaan. Lo tenang aja, gue gak bakal macem-macem. Cuma mau ketemu bentar doang kok."
Keana masih terlihat tidak yakin, tapi akhirnya menghela napas. "Oke, gue percaya sama lo. Tapi lo hati-hati ya, Maha. Jangan sampai bikin masalah lebih besar."
Maha mengangguk cepat. "Pasti. Makasih banget, Kea. Lo emang sahabat yang paling bisa diandalkan."
Keana menghela nafas pasrah, entah keedanan apa yang Maha rencanakan selanjutnya, namun dia cukup mengerti tentang perasaan wanita itu yang tengah kalut begini. Keana tidak berhak juga ikut mengatur hidup Maha karena jelas masalah wanita itu sangat besar sekali, mungkin jika Keana berada di posisinya, ia tidak bisa sekuat Maha.
"Lo jaga diri ya, Maha, langsung hubungi gue juga kalau udah sampai ketempat pertemuan lo itu," kata Keana akhirnya, menatap sahabatnya dengan penuh cemas.
"Iya Kea, yaudah gue pergi ya. Gue serahin Sastra sama Lo," jawab Maha sambil tersenyum kecil.
Keana hanya bisa menghela napas lagi, merasa sedikit cemas namun memilih untuk tidak berkata lebih. "Hati-hati ya, Maha. Semoga semua berjalan lancar."
Maha mengangguk dan segera melangkah keluar, menatap malam yang mulai dingin. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah menuju taksi online yang sudah menunggunya.
•••
"Gila lo Tara, yakali gue kerja begituan. Gue emang sekarang lagi butuh pekerjaan dan uang tapi ya gak jadi ani-ani juga! Lo jebak gue ya?!"
Asap rokok mengepul di udara, Tara hanya tersenyum tipis, matanya sedikit menyipit sambil menghembuskan asap dari bibirnya. "Santai aja, Maha. Gue cuma nyampein tawaran, lo yang bikin pilihan. Gue gak maksa. Lagipula Lo bener-bener lagi butuh duit kan?"
Maha menatapnya dengan tajam, perasaan marah dan jijik bercampur aduk di dadanya. "Lo pikir gue bakal nurunin harga diri gue cuma buat uang, Ta? Gue kira lo bener-bener bantuin gue, ternyata malah ngerendahin gue begini."
Tara mengangkat bahu acuh tak acuh. "Gue gak maksud ngerendahin lo, Maha. Gue cuma ngasih lo jalan cepat kalau lo bener-bener kepepet. Tapi kalau lo mau cari cara lain, ya terserah lo. Lo pikir dengan nol pengalaman dan belum lulus sekolah bisa dapetin pekerjaan dengan gaji fantasi yang gue tawarin? Jangan kebanyakan mengkhayal, yang punya pendidikan bagus juga masih banyak yang nganggur dan Lo sok-sokan minta pekerjaan dengan gaji lebih dari dua digit? Mimpi aja udah."
Maha mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras mendengar kata-kata Tara. "Gue tahu gue gak punya banyak pengalaman, dan gue tahu keadaan gue sekarang gak ideal. Tapi bukan berarti gue harus jatuh serendah itu buat dapetin uang, Ta. Gue masih punya harga diri, dan gue lebih baik berjuang dari bawah daripada nyerahin diri gue buat sesuatu yang gue benci."
Tara menggeleng pelan, tertawa kecil penuh sinisme. "Harga diri? Lo pikir harga diri bisa ngasih makan lo? Dunia ini gak seindah yang lo pikir, Maha. Orang-orang seperti kita harus realistis. Kalau lo terus-terusan nunggu kesempatan emas yang gak ada, lo bakal kelaparan di tengah jalan."
Maha menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Lebih baik gue kelaparan daripada hidup tanpa prinsip, Tara. Gue akan cari pekerjaan yang layak, meskipun harus mulai dari bawah. Gue gak butuh jalan pintas yang cuma akan bawa gue ke tempat yang lebih buruk."
Tara menatapnya dengan pandangan penuh ejekan. "Yaudah, selamat bermimpi, Maha. Tapi gue kasih tau satu hal, dunia ini gak nungguin orang yang sok idealis. Kapanpun lo sadar dan mau berubah pikiran, gue masih ada di sini."
Maha hanya menggeleng pelan, "gue tau, tapi ini mah namanya jalan buntu."
Tara terkekeh pelan kemudian memberikan pesanan segelas koktail untuk Maha, "gausah sensi begitu, ni lo minum aja, tenang kok ini gratis buat lo. Umur lo mau delapan belas kan? Udah legal tuh."
Maha menatap koktail di depannya dengan ragu, tapi tetap meraih gelas itu. "Legal umur doang, tapi apa yang gue lakuin masih jauh dari legalitas moral, Ta." Dia memutar gelas di tangannya, merenung sejenak sebelum meneguk sedikit isinya.
Tara tertawa pelan, menyesap minumannya sendiri. "Moral? Di dunia yang kita jalani sekarang, Maha, moral itu cuma ilusi buat ngebatasin lo dari ngedapetin apa yang lo butuh. Lo butuh duit, lo butuh pekerjaan, dan lo butuh cara cepet buat keluar dari hidup yang lo bilang buntu ini."
Maha menatap Tara dengan tatapan penuh pertanyaan. "Lo bener-bener gak ngerti ya, Ta? Gue butuh lebih dari sekadar uang. Gue butuh hidup yang gue bisa banggakan, meski cuma buat diri gue sendiri."
Tara menghela napas, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Lo bakal capek sendiri kalau terus-terusan berpikir kayak gitu, Maha. Tapi ya, kita lihat aja seberapa jauh lo bisa bertahan dengan idealisme lo."
Maha mengedikkan kedua pundaknya lalu meneguk minuman itu sampai tandas. "Gue mau lagi, ini minuman enak juga," katanya sambil menyodorkan gelas kosongnya pada seorang bartender. Bartender itu mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu mulai meracik minuman berikutnya.
Tara terkekeh pelan melihat tingkah Maha. "Pelan-pelan, Maha. Lo baru mulai minum, jangan sampe mabuk terus bikin masalah. Lo gak mau kan kalo tiba-tiba orang tua lo tau lo pergi keluyuran begini."
Maha menghela napas panjang. "Mereka gak bakal tau gue begini, juga si cowok rese itu, dasar om-om pedo stres!" Tara sudah yakin jika Maha sudah mulai mabuk, ucapannya jadi melantur seperti ini.
Tara menatap Maha dengan senyum simpul, mengamati teman sekolah menengah pertama nya ini yang mulai kehilangan kendali. "Gue bilang juga apa, Maha. Pelan-pelan aja minumnya. Lo udah mulai ngomong ngaco gini," katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Maha menggeleng-gelengkan kepala, tertawa kecil. "Gue nggak mabuk, Tara. Gue cuma jengah, sama si berengsek itu. Mau gimana pun gue bertingkah, dia selalu sabar. Gimana gue bisa bikin dia ilfil?"
Tara sendiri tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Maha ini, Tara pikir itu adalah pacar Maha. Mungkin mereka tengah bertengkar hingga membuat Maha frustasi seperti ini.
"Satu lagi dong!" Maha menyodorkan kembali gelas kosong pada bartender itu, namun Tara segera menahannya.
"Astaga lo ini udah mabuk parah, Lo gak bisa minum lagi Maha!"
Maha mengerutkan alisnya, menatap Tara dengan tatapan yang sedikit tidak fokus. "Gue gak mabuk, Tara! Gue cuma... butuh sesuatu buat nenangin diri. Ayolah, cuma satu lagi."
Tara menggeleng tegas, meletakkan gelas itu kembali di meja. "Nggak, Maha. Lo udah cukup minum."
Perhatian Tara kemudian beralih pada handphone Maha yang berdering, ada telepon masuk dari seseorang.
"Sastra si om-om pedo?" Gumam Tara membaca nomor kontak yang menghubungi Maha. Tara segera mengangkat panggilan telepon dari seorang laki-laki itu.
"Hallo," jawab Tara dengan nada ramah.
Sastra, yang tengah mengemudikan mobil, mendengar suara wanita asing yang mengangkat panggilan teleponnya, jelas itu bukan istrinya. "Ini siapa?"
"Gue temennya Maha, eh lo cowoknya ya? Ini pacar lo mabuk."
Mata Sastra melebar, rahangnya mengeras, ia tampak begitu khawatir. "Maha mabuk? Di mana dia sekarang?"
Tara menjawab sambil mengamati Maha yang terlihat semakin oleng. "Dia ada di bar X. Lo bisa datang aja ke sini, dia udah teler parah."
Sastra menghela napas panjang. "Oke, saya ke sana. Terima kasih."
Tara menutup telepon dan melemparkan pandangan penuh rasa iba pada Maha yang masih terlihat teler dan mulai bicara tidak jelas.
Tidak butuh waktu lama untuk Sastra sampai di bar yang disebutkan Tara. Begitu masuk, dia langsung bisa melihat Maha yang tampak lelah, sedikit terhuyung di kursinya, dengan Tara yang duduk di sebelahnya sambil memperhatikan.
Sastra berjalan cepat ke arah mereka, wajahnya terlihat tegang namun berusaha tetap tenang. "Maha," panggilnya pelan, tapi cukup tegas.
Maha, yang mendengar suaranya, menoleh dengan ekspresi bingung sebelum terkikik. "Wah, om pedo datang. Mau apa lagi? Mau nasehatin gue?" suaranya terdengar sumbang, tanda jelas bahwa dia sudah mabuk berat.
Sastra menghela napas dalam, menahan emosinya. "Kita pulang sekarang, Maha. Sudah cukup."
Tara, yang merasa suasana mulai tidak nyaman, berdiri dan menepuk pundak Maha dengan lembut. "Gue pamit dulu, ya," bisik nya ditelinga Maha. Tara tersenyum singkat pada Sastra sebelum pergi meninggalkan mereka.
Sastra meraih lengan Maha dengan lembut, membantu dia berdiri. "Ayo, kita pulang," katanya sekali lagi dengan nada yang lebih lembut.