Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Kondisi Rumi
“Pingsan! Kamu bilang Rumi Pingsan?” Julian mengulang kata-kata asistennya seakan-akan masih tidak percaya, karena saat wanita muda itu berpamitan pulang keadaannya masih baik-baik saja.
“Iya Tuan, Rumi pingsan di dalam mobil. Dan, Ferdy sempat mengirim video ini.” Derry menyodorkan ponselnya dan menunjukkan kejadian di dalam rumah, di mana Rumi didorong hingga terjatuh.
Kening Julian mengernyit saat melihat video tersebut.
“Sa-saya juga mau menyampaikan Tuan, bahwasanya Rumi adalah istri dari almarhum Bisma ... manajer marketing yang terkena kasus korupsi di perusahaan Tuan. Sebenarnya, tadi pagi saya ingin menyampaikannya. Tapi, harus memastikannya terlebih dahulu,” lapor Derry dengan suaranya yang begitu pelan.
Julian mengangkat wajahnya, suara desahannya terdengar sembari mengembalikan ponsel milik Derry. “Siapkan mobil, sebentar lagi kita berangkat ke rumah sakit,” ucapnya, terdengar semakin dingin.
“Baik, Tuan.”
Derry pikir tuannya akan ngamuk-ngamuk, tapi justru terlihat dingin seperti biasanya. “Perasaan waktu ketahuan ada karyawan yang korupsi, Tuan marah besar sama Bisma ... kalau dipikir-pikir seharusnya jika tahu kalau Rumi adalah istrinya Bisma ... harusnya marah-marah juga, kan?” pikir Derry dalam hati kecilnya.
Julian kembali masuk ke dalam kamar baby Kenzo. “Mah, kita siap-siap ke rumah sakit. Minta Nia siapkan kebutuhan Kenzo. 10 menit lagi kita berangkat.”
“Loh, kok, malah ke rumah sakit, Jul? Mama, kan, minta kamu hubungi Rumi?”
Pria itu mendesah pelan. “Mama ikut aja, nanti akan tahu. Aku akan bersiap-siap dulu ... sekalian mau jenguk Tisya,” jelasnya sambil lalu.
Mendengar Julian akan menjenguk Tisya, Aulia menyahut, “ Kak Julian, aku ikut juga ya, sekalian mau jenguk Kak Tisya!”
Namun sayangnya, tidak ada tanggapan dari Julian, karena pria itu sudah keluar.
***
Rumah Sakit Ibu dan Anak, Ruang IGD
Suara roda ranjang dorong berdecit di lantai keramik putih yang dingin. Lampu neon di langit-langit IGD memantulkan cahaya menyilaukan, menambah suasana mencekam. Rumi yang tak sadarkan diri dibawa oleh perawat dengan cekatan, sementara Ferdy berjalan di sisi ranjang, langkahnya mantap tapi matanya penuh kecemasan.
“Dok, pasien ini sempat pingsan di mobil. Dia juga mengeluh sakit di perutnya, bekas operasi caesarnya. Saya takut ada masalah dengan jahitannya,” ujar Ferdy cepat, suaranya berat menahan panik.
Salah satu dokter kandungan langsung mendekat, ditemani dua perawat. “Kita periksa dulu. Tuan, silakan tunggu di luar sebentar.”
Namun Ferdy tak bergeming. “Tolong … saya tetap di sini. Saya yang menemukannya, saya yang bawa dia. Mohon, Dok.”
Sang dokter sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi jangan mengganggu.” Ferdy berdiri di salah satu sudut, agar dokter leluasa memeriksa keadaan Rumi.
Rumi dibaringkan dengan hati-hati di atas ranjang pemeriksaan. Perawat membuka perban di area bekas operasi caesar, dan Ferdy menahan napas saat melihat noda darah merembes keluar, lalu memalingkan wajahnya, sebenarnya tidak pantas juga ia melihatnya. Namun, karena rasa tanggung jawabnya ia harus tahu.
“Untung saja tidak parah,” gumam dokter sambil menekan lembut sekitar jahitan. “Ada satu bagian yang sedikit terbuka, tapi tidak perlu dijahit ulang. Kita akan bersihkan dan perban kembali.”
Ferdy menghela napas lega, meski jantungnya masih berdebar. Namun pandangannya langsung berpindah ketika perawat yang lain berseru, “Dok, keningnya robek. Harus dijahit.”
Beberapa menit kemudian, setelah bius lokal diberikan, jarum jahit kecil bergerak di kulit kening Rumi. Ferdy menoleh ke arah lain, genggamannya mengepal. Bukan karena jijik, melainkan karena marah—membayangkan bagaimana Rumi diperlakukan oleh keluarganya sendiri.
Setelah prosedur selesai, tubuh Rumi ditutupi selimut tipis. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya tetap tertutup rapat. Ferdy yang hanya bisa berdiri di sudut, sesekali melirik jam tangan.
“Cepatlah datang, Tuan,” bisiknya lirih, hampir seperti doa.
***
Satu jam kemudian
Deru mobil mewah berhenti di depan lobi rumah sakit. Julian turun pertama, wajahnya tegang, diikuti oleh Mama Liora yang menggendong baby Kenzo yang rewel. Nia buru-buru membawa tas bayi, sementara Aulia berjalan di belakang dengan wajah masam.
“Pak Derry!” panggil Ferdy ketika melihat rombongan itu memasuki ruang tunggu IGD.
“Bagaimana keadaannya?” Suara Julian dingin, tapi terdengar terburu-buru.
“Syukurlah Tuan datang,” jawab Ferdy lega. Ia menoleh ke arah dokter yang baru keluar dari dalam ruangan. “Ini, Dokternya yang memeriksa Nona Rumi.”
Dokter melepas masker, lalu menjelaskan dengan tenang, “Pasien sempat pingsan karena kelelahan dan syok emosional. Ada sedikit masalah pada bekas jahitan operasi caesarnya, tapi tidak parah. Sudah kami tangani. Namun keningnya harus dijahit karena robek. Untuk sementara, sebaiknya pasien dirawat inap, agar bisa dipantau kondisinya.”
Julian mengangguk singkat, lalu berkata mantap, “Rawat saja.”
Mama Liora yang dari tadi kebingungan langsung menoleh. “Jul, sebenarnya siapa yang sakit? Mama kira kita ke sini buat Kenzo.”
Julian mengusap kepala putranya yang masih rewel di gendongan neneknya, lalu menatap ibunya. “Kenzo juga akan diperiksa, Mah. Tapi … Rumi ada di dalam. Dia pingsan.”
“Maksudmu … Rumi?” Mata Mama Liora membulat. “Oh Tuhan … kenapa bisa?”
Sebelum Julian menjawab, Ferdy sudah lebih dulu angkat suara. “Nyonya, maaf … saya yang tahu kejadiannya. Nona Rumi tadi diusir dari rumah sama mertuanya. Barang-barangnya dirampas. Perhiasan, uang, bahkan tasnya. Dia juga sempat didorong oleh seorang wanita yang menemani ibu mertuanya, hingga jatuh terhantam lantai. Karena itu keningnya robek dan jahitan operasinya berdarah.”
“Ya ampun … Astaghfirullah.” Mama Liora menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya bergetar menahan amarah. “Bagaimana bisa mereka memperlakukan menantu seperti itu? Rumi baru saja melahirkan, dia masih lemah!”
Julian hanya menghela napas dalam, wajahnya tetap datar tapi matanya dingin. “Karena itu dia harus dirawat di sini. Kita yang akan urus semuanya.”
“Tidak bisa begitu saja dibiarkan, Jul. Mereka keterlaluan!” desis Mama Liora.
“Aku tahu, Mah. Tapi untuk sekarang, kita pikirkan kondisi Rumi dulu,” jawab Julian tegas.
“Mama harus melihatnya dulu. Bolehkan Dok?” tanya Mama Liora pada dokter tersebut.
“Boleh, hanya satu orang saja. Sebelum proses pindah kamar.”
***
Di balik tirai ruang IGD, suara langkah kaki Mama Liora terdengar pelan ketika ia memasuki ruangan yang dibatasi tirai putih. Aroma antiseptik menusuk hidung. Di ranjang, Rumi sudah siuman, tapi matanya hanya menatap kosong ke arah langit-langit.
“Mbak Rumi ….” Suara lembut Mama Liora memecah keheningan.
Mata Rumi perlahan bergerak, menoleh pelan. Begitu melihat sosok wanita paruh baya itu, kedua bola matanya langsung berkaca-kaca. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh, mengalir di sisi wajah pucatnya.
Mama Liora mendekat, duduk di tepi ranjang, lalu meraih tubuh lemah itu ke dalam pelukannya. “Rumi … Ibu di sini. Jangan takut. Kamu tidak sendirian.”
Rumi terisak dalam diam, suaranya nyaris tak terdengar. “Mereka … mereka mengusir saya, Bu. Saya … dianggap istri pembawa sial.”
Bersambung ... 💔