Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - Ketika Raka Menyingkap yang Belum Terjawab
Yarun’ru menarik napas panjang. “Raka,” katanya pelan namun tegas, “kebenaran dan kesalahan tidak pernah lahir dari satu mulut saja.
Kita harus melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Jangan terlalu cepat percaya pada apa pun baik pada Akar Sajar maupun pada kata-kataku.”
Ia menatap batang-batang pohon yang patah di kejauhan.
“Apa yang kukatakan tadi adalah sejarah… peristiwa delapan puluh siklus lalu.
Itu masa ketika ayahku memerintahkan penebangan besar-besaran.
Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
Bisa saja Akar Sajar tidak salah… tapi juga belum tentu benar.”
Yarun’ru memandang Raka, seolah menantang sekaligus meminta keputusan.
“Pertanyaannya sekarang… apakah kita tetap ingin melanjutkan perjalanan ke Suku Yaka?”
Raka mengangguk tegas. “Baiklah, kita lanjutkan.
Aku bahkan belum tahu bagaimana mereka menebang pohon di siklus sekarang.”
Perjalanan dilanjutkan.
Semakin dekat dengan wilayah Suku Yaka, Raka melihat langit maruyung menggumpal pekat di barat seolah menahan cahaya sore.
Hembusan udara panas menerpa wajahnya, namun arah datangnya membuat Raka menahan langkah.
“Aneh… angin panas ini datang dari tenggara, bukan dari timur,” gumamnya.
Yarun’ru Beta menoleh, tampak seperti sudah menduga.
“Semakin ke timur, arah angin memang berubah.
Di beberapa tempat, angin bisa datang dari selatan.
Jika kita berada di Kerajaan Timangga, anginnya justru berbalik dari lautan selatan.”
Ia melanjutkan sambil menunjuk jauh ke horizon.
“Dahulu seorang kakek pernah bercerita kepadaku.
Katanya, jauh di selatan sana ada sebuah benua tak berujung di bagian utaranya lembab, penuh kabut rawa, sementara jika terus ke selatan, tanahnya berubah kering dan gersang, bahkan tidak berawan kanopi abadi.”
Raka terdiam, membayangkan benua asing itu tempat yang bahkan para penjelajah Lakantara hanya berani ceritakan dalam bisik.
Yarun’ru menatap pakaian Raka yang terbuat dari serat kayu yang digebuk, bentuknya sederhana, warnanya kusam seperti kulit pohon yang terpapar matahari.
“Raka, aku ingin bertanya…” ujar Yarun’ru sambil memutar tongkat api ke bara.
“Kenapa kau masih memakai pakaian serat tanaman yang digebuk begitu? Bukankah murid Rasi biasanya memakai pakaian serat tenun Ara? Lebih kuat, lebih ringan… dan tidak mudah robek.”
Raka melihat pakaiannya sendiri, lalu tersenyum kecil.
“Pakaian tenun itu tidak hilang, Yarun’ru. Aku punya… tapi kusimpan.”
Yarun’ru mengangkat alis, penasaran.
“Lalu kenapa tidak kau pakai?”
Raka menarik napas perlahan, menatap api yang menjilat ujung-ujung kayu kering.
“Aku sengaja menyamar,” katanya akhirnya.
“Pakaian serat sukun seperti ini… adalah model lama.
Tidak mencolok. Tidak mencurigakan.”
Yarun’ru menunduk sedikit, mendengarkan dengan serius.
“Meski sudah kuwarnai tanah dari getah pohilon, kakek Gajo tetap bisa mengenalinya hanya dengan sekali lihat.
Penyamaran terbongkar.”
Ia menelan ludah, suara menjadi lebih rendah.
"Aku tidak ingin kejadian enam belas siklus lalu terulang.
Saat para Rasi… dan murid-murid, mereka… diburu dan dibunuh oleh tentara Lakantara.”
Api unggun berdesis pelan seperti ikut mengingatkan sesuatu yang pahit di masa lampau.
Yarun’ru hanya mengangguk pelan, gumaman pendek lolos dari bibirnya.
“Begitu, ya…” katanya datar.
“Tapi sekarang pakaian serat tenun Ara tidak lagi hanya dipakai para Rasi sejati.
Banyak Rasi palsu yang memakainya juga… dan tentara Lakantara tidak mengejar mereka.”
Raka menatapnya, menunggu penjelasan.
Yarun’ru melanjutkan dengan nada jengkel yang ia sembunyikan buruk-buruk.
“Rasi palsu itu lihai bicara.
Mereka menipu umatnya dengan doktrin yang dibuat-buat… meminta orang-orang menyembah patung agar diberi keamanan, kemakmuran, dan berkah.
Umatnya percaya, padahal mereka hanya diperalat.”
Ia melemparkan ranting ke api, bara memercik.
“Yang paling menjengkelkan… mereka meminta umatnya mencium kaki agar dapat berkah.
Menganggap setiap kata mereka yang paling benar, meski jelas itu kebohongan.”
Yarun’ru menggeleng, seperti tidak habis pikir.
“Mereka mengaku Rasi sejati bisa menurunkan hujan, tahu datangnya kemarau, memberi kesuburan tanah. Padahal… itu hanya pengetahuan umum Lakantara.
Semua sudah hukum alam dalam perputaran enam musim hujan dan enam musim kemarau.”
Ia mendesah.
“Umatnya percaya.
Tapi mereka… bodoh.
Bukan karena otaknya lemah, tapi karena mereka lebih suka mendengar dongeng indah daripada kebenaran yang pahit.
Para Rasi palsu itu lebih pandai melontarkan retorika kosong daripada menyampaikan wahyu lisan yang sebenarnya.
Mereka pandai memutar kata, tapi tidak memahami inti ajaran.
Pernah aku menantang mereka dengan sebuah wahyu yang sudah diajarkan Ayahku dan Rasi P'rana.
'Tangan yang kuat, dibarengi lisan yang meyakinkan, akan mampu mengatasi segala masalah.'
Saat itu mereka terdiam.
Tak seorang pun dari para Rasi palsu mampu menjelaskan maknanya, apalagi menafsirkannya dengan benar.
Dengan gugup mereka berkata bahwa itu bukan wahyu.
Padahal maknanya sangat jelas:
Seorang pemimpin negeri harus teguh dalam perbuatan dan mantap dalam ucapan.
Keyakinan yang lurus seperti iman membuatnya tidak goyah oleh badai apa pun.
Bila tangan bekerja tanpa ragu dan lisan berbicara tanpa gentar, maka segala persoalan negeri dapat diselesaikan."
Raka terdiam cukup lama setelah mendengar penjelasan Yarun’ru tentang para Rasi palsu.
Api unggun mengeluarkan bunyi letupan halus, seolah ikut mendengar percakapan mereka.
Yarun’ru menundukkan kepala, suaranya berat.
“Raka… mereka sudah merusak umat kita.
Ajaran yang dulu menguatkan, sekarang dijadikan alat menekan. Kata-kata wahyu dijadikan senjata. Dan rakyat… percaya begitu saja.”
Raka mengangkat pandangan, sorot matanya berubah bukan marah, tapi seperti seseorang yang terkena hantaman kebenaran yang pahit.
“Bagaimana mungkin… sampai sejauh itu?” bisiknya.
Raka mengepalkan tangannya perlahan.
Ia tidak membantingnya, tidak berteriak justru sebaliknya, ia menunduk.
“Umat itu bukan bodoh…” katanya pelan.
“Mereka hanya tidak punya tempat lain untuk bertanya.
Kalau hanya mendengar satu suara dari pagi sampai malam, siapa pun bisa tersesat.”
Yarun’ru menatapnya, terkejut oleh kedewasaan Raka.
Raka melanjutkan, suaranya makin tegas.
“Wahyu bukan alat untuk menakut-nakuti.
Kalau memakai ajaran suci untuk menguasai… mereka bukan Rasi.
Mereka perampas.”
Api berkobar kecil, menerangi wajah Raka.
Raka menarik napas panjang, lalu menatap cakrawala malam.
“Aku tidak tahu apa tugasku nanti,” katanya lirih.
“Tapi jika ajaran warisan itu dipelintir… dan aku bisa meluruskan yang bengkok, aku tidak boleh tinggal diam.”
Kata-kata itu tidak diucapkan sombong, tidak juga bak pahlawan. Hanya sebuah tekad tenang dari seseorang yang tahu:
kebenaran yang dibiarkan rusak akan terus menyakiti banyak orang.
Raka menarik napas, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ada satu hal aneh yang pernah guruku katakan padaku,” ucapnya pelan.
“Rasi P’rana pernah memberi pesan untuk umat. ‘Jika suatu hari kau menemukan Ranu Lahu di mana pun dia, mintalah padanya wahyu terbaru.’”
Yarun’ru mengerutkan dahi.
“Permintaan untuk umat? Dari seorang Rasi P’rana, ada yang aneh?”
Raka mengangguk.
“Justru itu yang ganjil.
Biasanya, seorang Rasi harus belajar lima puluh sampai enam puluh siklus sebelum dianggap layak: menghafal wahyu, memahami maknanya, menafsirkan, menguji, dan menelitinya.
Semua generasi taat pada urutan itu.”
Ia menatap nyala api yang bergoyang.
“Rasi Laka adalah generasi ke lima belas.
Aku… generasi ke enam belas.
Tapi jika benar Ranu Lahu masih hidup di suatu tempat, umurnya bisa mencapai sembilan ratus siklus.”
Yarun’ru menegakkan badan, jelas terkejut.
Raka melanjutkan, suaranya rendah.
“Padahal manusia biasa hanya mampu bertahan tiga ratus siklus. Setelah itu tubuh tak sanggup lagi menopang beratnya sendiri.”
Ia menatap Yarun’ru.
“Jadi… bagaimana mungkin seseorang hidup tiga kali lipat dari batas umatnya?”
Sunyi mengental.
Kalimat itu mengantung di udara seperti rahasia yang terlalu besar untuk ditelan.
Yarun’ru terdiam cukup lama, seakan mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
“Ranu Lahu… sembilan ratus siklus?” gumamnya.
Tongkat api di tangannya berhenti berputar.
“Raka… itu bukan umur manusia. Itu umur legenda.”
Ia menatap Raka dengan sorot yang sulit ditebak antara takut, kagum, dan ragu.
“Kalau seseorang bisa hidup selama itu… berarti ada dua kemungkinan,” lanjutnya perlahan.
“Pertama, dia bukan lagi manusia biasa.”
Ia menelan ludah hal yang jarang sekali dilakukan oleh seorang laki-laki setegar Yarun’ru.
“Dan kedua…”
Ia menunduk sedikit, suaranya merendah.
“…ada orang atau sesuatu yang sengaja membuatnya tetap hidup. Entah untuk melindungi wahyu… atau untuk menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar.”
Raka tidak menyela, membiarkan Yarun’ru menuntaskan pikirannya.
“Tapi kalau benar Rasi P’rana memintanya mencari Ranu Lahu,” ujar Yarun’ru sambil menatap lurus, “itu berarti beliau tahu sesuatu yang tidak disampaikan pada generasi Rasi setelahnya.
Sesuatu yang… mungkin cukup berbahaya bila jatuh ke tangan yang salah.”
Yarun’ru menghela napas panjang, wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya.
“Dan ini yang paling membuatku takut, Raka jika Ranu Lahu benar-benar masih hidup, pasti ada alasan yang besar, maka semua yang kita ketahui tentang sejarah wahyu… mungkin ada yang belum di sampaikan.”
Keheningan kembali menyelimuti, tapi kali ini bukan keheningan biasa.
Ini adalah keheningan yang lahir dari ketakutan, penghormatan, dan pertanyaan besar yang mulai membuka pintu.
Yarun’ru menatap api, lalu menutup mata sejenak, seperti mencoba menegakkan keberaniannya sendiri.
“Raka… kau tahu apa yang paling membuatku takut?”
Raka menoleh.
“Jika Ranu Lahu benar-benar masih hidup,” kata Yarun’ru perlahan, “itu berarti ada alasan yang sangat besar kenapa ia belum menampakkan diri selama ratusan siklus.”
Ia membuka mata, sorotnya tajam namun diliputi ketidakpastian.
“Dan jika dia masih menyimpan wahyu yang belum disampaikan… maka artinya bukan sejarah kita yang salah.”
Ia menekankan setiap kata.
“Yang salah adalah kita karena selama ini mungkin hanya menerima bagian yang terpotong. Bagian yang belum lengkap.”
Yarun’ru menghela napas berat.
“Bukan wahyunya yang cacat… tetapi penyampaiannya yang terputus. Dan bila benar ada wahyu baru, atau wahyu yang belum pernah diberikan… maka seluruh Lakantara akan berubah.”
Ia memandang Raka seolah baru menyadari betapa berbahayanya perjalanan mereka.
“Kau mengerti maksudku, bukan?
Jika wahyu yang utuh muncul kembali…
mereka yang berkuasa sekarang akan kehilangan segalanya.”
Raka menarik napas pelan sebelum menjawab.
“Mungkin saja benar apa yang kau katakan… tapi aku sendiri tidak tahu,” ujarnya jujur.
“Aku memang hafal ratusan wahyu, tetapi rasanya semua itu sudah diteliti dan ditafsirkan oleh para Rasi sebelum kami lahir. Seolah setiap makna sudah ditemukan lebih dulu oleh mereka.”
Ia menatap jauh, seakan mencari sesuatu di balik ingatan.
“Dan ya… benar perkataanmu, Yarun’ru.
Ada seperti bagian yang hilang. Seakan ada sesuatu yang belum diungkapkan, belum siap diturunkan untuk manusia pada masa itu.”
Raka menurunkan suaranya sedikit, nyaris seperti rahasia.
“Tapi bila suatu hari aku bertemu Ranu Lahu… aku pasti akan meminta wahyu langsung darinya.
Guruku pernah berkata, Ranu Lahu sudah menunggu ratusan siklus, dan wahyu baru tak pernah turun.
Ia bahkan bilang ingin pergi ke suatu tempat entah ke mana dan akan kembali hanya jika wahyu berikutnya akhirnya diberikan.”