Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Orang-orang yang sedang duduk di motor masing-masing ikut terperanjat. Bahkan Galuh, yang duduk agak miring di jok motor, kehilangan keseimbangan. Tubuhnya miring, lalu jatuh terjerembab ke tanah dengan posisi tidak karuan.
“Aaaaaa!” teriak Galuh, rambutnya berantakan, kakinya membentur body motor. Untung motor tidak ikut jatuh, masih berdiri kokoh.
“Galuuuh!” Ryan dan Dewa bersamaan berteriak, refleks turun dari motor.
Wajah Galuh merah padam, bukan hanya karena sakit, tetapi juga karena malu. Bagja malah berdiri santai, menatapnya dengan senyum tipis penuh misteri.
"Eits, mau apa kalian?!" suara Bagja terdengar lantang ketika Ryan dan Dewa hendak membangunkan Galuh. Ia melangkah cepat, tangannya terulur menahan gerakan mereka. "Biar calon suaminya ini yang bantu."
Ucapan itu membuat tiga serangkai tersebut melongo tak percaya. Ryan sampai hampir menjatuhkan gelas plastik kopi yang masih ada di tangannya, sementara Dewa melongo seperti habis melihat hantu siang bolong.
Galuh? Jangan ditanya. Matanya mendelik, wajahnya merah padam antara malu, kesal, sekaligus bingung. Ucapan Bagja itu terasa seperti bukan berasal dari mulutnya sendiri. Selama ini pria itu dikenal dingin, kalem, tetapi paling rajin berdebat kalau bertemu Galuh.
Kebanyakan orang, kalau mau membantu yang jatuh, cukup mengulurkan tangan untuk menarik berdiri. Tapi Bagja tidak begitu. Dengan tenang, seolah dunia sedang ada dalam kendalinya, ia langsung membopong tubuh Galuh. Seperti adegan drama Korea yang sering ditonton ibu-ibu kompleks, lengkap dengan tatapan serius dan gerakan percaya diri.
"E, mau apa kamu?" pekik Galuh panik, tangannya mengepak seperti ayam hendak disembelih. "Lepaskan aku ...!"
Bagja menoleh sebentar, wajahnya menyeringai nakal. "Yakin ingin dilepaskan?" tanyanya dengan nada menggoda.
Galuh langsung berhenti meronta. Otaknya berputar cepat. Dia kenal betul kelakuan Bagja. Kalau dibilang "yakin", itu berarti pasti ada jebakan. Begitu pikirannya tersambung, gadis itu buru-buru mengalungkan kedua tangannya ke leher Bagja, lebih memilih posisi aman daripada beneran dijatuhkan.
Bagja terkejut sepersekian detik. Hatinya sempat bergetar melihat Galuh, yang biasanya jutek, kini mendekap lehernya erat-erat. Senyum pun perlahan merekah di wajahnya. Ada perasaan aneh yang sulit ia kendalikan,campuran antara bangga, deg-degan, sekaligus geli.
Sementara itu, para tukang ojek yang mangkal di gardu hanya bisa terbelalak. Beberapa bahkan sengaja menahan tawa, takut jadi korban amukan Galuh kalau ketahuan.
Ryan dan Dewa pun tak kalah terkejut. Mereka tahu betul bagaimana galaknya Galuh dan bagaimana sengitnya hubungan perseteruan dengan Bagja. Melihat keduanya dalam posisi begitu, bagaikan melihat Tom and Jerry yang tiba-tiba makan sepiring bersama. Mustahil, tetapi nyata.
Menyadari bahwa dirinya sedang dijahili, Galuh pun mulai menggeliat, berusaha melepaskan diri. Namun, Bagja malah mempererat gendongannya. Tangannya kokoh, tidak memberi celah sedikit pun.
"Diamlah! Kamu sedang terluka. Aku akan mengobatinya," ucap Bagja tegas, nada suaranya berubah serius.
Baru setelah itu Galuh menyadari tubuhnya memang terasa sakit. Siku kirinya perih, telapak tangannya panas berdenyut, sementara punggung dan pantatnya serasa habis dijatuhi batu bata. Rasa nyeri itu membuatnya terdiam. Apalagi ketika Bagja perlahan menurunkannya, lalu mendudukkannya di atas jok motor RX King milik Galuh sendiri.
"Mana kunci motornya?" tanya Bagja sambil mengulurkan tangan. "Aku ke sini enggak bawa vespaku."
Dengan masih setengah kesal, Galuh merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan kunci yang gantungannya berbentuk jenglot KW, lalu menyerahkannya dengan tatapan tajam.
"Pegangan yang kuat!" titah Bagja sambil menoleh ke belakang, nadanya seperti komandan perang.
"Enggak perlu pegangan juga enggak akan jatuh," sahut Galuh ketus.
Akan tetapi, omongannya tidak berlaku lama. Bagja menarik kedua tangannya, lalu menaruhnya di pinggangnya sendiri, memaksa Galuh memeluk dari belakang.
Detik itu juga Bagja membelalak. Wajahnya kaku, napasnya tercekat. Ada sesuatu yang empuk menekan punggungnya. Dadanya berdegup kencang, aliran darahnya seperti berdesir sampai ke telinga.
"Naon eta?" batin Bagja kalut. Jantungnya seperti genderang mau pecah.
"Rupanya dia juga punya gunung kembar," pikir pria itu lagi, wajahnya semakin panas. Untung kaca helm bisa menutupi sedikit rona merah di pipinya.
Galuh sendiri sebenarnya tidak sadar. Tubuhnya memang tinggi semampai dan karena malas pakai baju perempuan yang suka menggantung, dia lebih sering mengenakan kaos atau kemeja pria. Ukurannya yang kebesaran membuat lekuk tubuhnya tersamarkan. Namun, tetap saja kontak fisik barusan jelas terasa.
Alih-alih membawa Galuh ke puskesmas atau ke rumahnya, Bagja justru mengarahkan motornya ke rumahnya sendiri. Padahal, rumah mereka bersebelahan.
"Kenapa aku dibawa ke sini?" tanya Galuh curiga begitu motor berhenti.
"Di rumahku obat-obatan kumplit," jawab Bagja tenang, sambil turun dan mematikan mesin.
Ryan dan Dewa yang sejak tadi mengikuti dengan motor masing-masing, hanya bisa bertukar pandang. Ryan mengangkat bahu, Dewa menggelengkan kepala. Mereka berdua sepakat hari itu mereka baru saja menyaksikan sejarah baru. Bagja, si pria kalem yang biasanya ogah berurusan dengan Galuh, kini berani terang-terangan membawa gadis itu masuk ke rumahnya.
Galuh? Meski wajahnya merah padam karena malu dan gengsi, entah kenapa dia tidak benar-benar menolak.
Galuh didudukkan di kursi empuk ruang tamu yang cukup luas dengan barang bagus dan tertata rapi. Tak lama kemudian, Bagja datang dengan kotak obat di tangan. Wajahnya terlihat serius, seperti dokter yang baru keluar dari ruang operasi.
Tanpa banyak bicara, Bagja membuka kotak itu, mengeluarkan kapas dan cairan antiseptik. Dia membersihkan luka di tangan Galuh dengan hati-hati, gerakan tangannya pelan, seakan takut melukai lebih dalam.
Sesekali matanya melirik wajah calon istrinya itu. Jarak sedekat ini membuat Bagja bisa memperhatikan detail kecil yang biasanya tak pernah dia sadari. Dari bulu mata Galuh yang lentik alami, hingga jerawat batu kecil di ujung pipi dekat telinga yang justru membuatnya gemas.
"Kakinya," kata Bagja pelan, suaranya dalam dan mantap.
Galuh langsung menegang. Wajahnya memerah, tatapannya melotot. "Nanti aku obati sendiri di rumah. Aku enggak mau buka celana di hadapanmu."
Ucapan itu kontan membuat otak Bagja langsung traveling ke mana-mana. Bayangan liar melintas begitu saja tanpa bisa dicegah. Senyum nakal pun terbit di wajahnya.
Sementara Galuh, hanya bisa memalingkan muka, menatap dinding, berharap wajahnya yang kini semerah cabe rawit tidak terlihat jelas. Namun, justru sikap gugupnya itu membuat Bagja semakin geli.
Selain kakinya yang terluka, sebenarnya Galuh juga merasa punggungnya sakit, seolah ada memar di sana akibat jatuh tadi. Dia ingin mengeluh, tetapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengaku di depan Bagja.
"Nanti setelah kita menikah, kamu juga akan buka celana di depanku," ujar Bagja sambil menyeringai, nada suaranya dibuat sengaja menggoda.
"Bagja ...!" jerit Galuh refleks. Dia meraih bantal kursi dan menghantam kepala Bagja tanpa ampun. Bantal menampar kepalanya terdengar jelas, tetapi justru membuat Bagja tertawa pelan, bukannya kesakitan.
Galuh mendengus kesal, hatinya berdebar tak karuan. "Kenapa dia jadi seperti ini? Apakah karena efek mantra, ya? Dia biasanya tidak mengatakan sesuatu yang menjurus kepada hal yang kotor," batinnya penuh tanda tanya.
Wajah Galuh makin panas. Dia berusaha menenangkan diri, tetapi kata-kata Bagja terus terngiang-ngiang di telinganya. Semakin dia mencoba menepis, semakin jelas bayangan itu muncul di kepalanya.
"Kayaknya, kebanyakan pria kalau dekat wanita yang disukainya akan berpikir begitu, deh!" batin Galuh lagi, mencoba meyakinkan diri.
"Apa?!" teriak batinnya seketika, nyaris membuat dirinya sendiri pusing. Dia membayangkan malam pertama mereka nanti. Malam yang selama ini hanya ia dengar dari bisikan teman-temannya atau dari cerita sinetron larut malam. Sekarang, entah kenapa, wajah Bagja yang muncul di setiap bayangan itu.
Galuh menggigit bibirnya. "Astaga ... aku tidak menyangka Bagja pria seperti itu," desisnya dalam hati, separuh malu, separuh penasaran.
Sementara Bagja, meski berusaha terlihat tenang di luar, sebenarnya jantungnya berdentum sekeras bedug azan. Dia pura-pura fokus mengoleskan salep ke luka Galuh, padahal pikirannya juga berkelana, terseret ke arah yang sama sekali tidak bisa ia kendalikan.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....