Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Eh? Tunggu sebentar."
Bahkan sebelum Almaira sempat mengatakan sesuatu, mobil sudah berhenti di depan hotel. Seorang petugas valet segera mendekat dan membukakan pintu penumpang dengan gerakan cepat.
"Selamat datang."
Bersamaan dengan sapaan ramah itu, udara luar yang dingin menerpa wajahnya. Tadi dia pikir cuaca cukup hangat dengan hanya mengenakan kardigan tipis, tetapi udara di sini terasa lebih sejuk. Atau mungkin, kehangatan laki-laki di sampingnya selama perjalanan tadi telah berpindah ke tubuhnya tanpa dia sadari. Dia menoleh, menatap Yaga yang berjalan memutar menuju sisi penumpang. Sambil mengenakan kembali kancing jasnya satu per satu, laki-laki itu melangkah mendekat, kemudian sedikit membungkuk, memasukkan tubuhnya ke dalam mobil.
Mobil ini cukup besar, tetapi begitu laki-laki itu mendekat, ruang di dalamnya terasa sempit.
"Aira bisa…" Tangannya baru saja terulur ke arah sabuk pengamannya ketika jari-jari mereka bersentuhan.
Almaira refleks menarik napas pendek, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun sebelum dia sempat berkata apa-apa,
Yaga sudah melepaskan sabuk pengamannya untuknya. Saat laki-laki itu berbalik untuk keluar, mata mereka sempat bertemu sejenak.
Detik itu terasa lebih lama dari seharusnya. Ketegangan menyebar di tubuhnya, meninggalkan jejak panas di sepanjang tengkuknya. Dan kemudian, dia melihatnya. Tangan besar itu, terulur ke arahnya. Di dekat mereka, petugas valet masih menunggu dengan senyum ramah.
Dengan sedikit ragu, Almaira akhirnya menyambut uluran tangan itu. Begitu dia keluar dari mobil, Yaga menggenggam tangannya lebih erat, kemudian dengan lancar memandunya berjalan menuju pintu masuk hotel.
Langkah mereka seirama. Melewati lantai marmer yang mengilap, mereka melintasi lobi dengan tangan masih bertaut.
Almaira menyadari bagaimana dia menarik napas lebih dalam dari biasanya. Bukan karena ruangan yang mewah atau tatapan beberapa tamu yang lewat, tetapi karena dadanya rasanya penuh sesak. Setiap langkah rasanya terlalu nyata dan dia mendapati dirinya secara naluriah memperhatikan sekitar.
Namun yang lebih mengganggunya bukanlah orang-orang di sekitarnya, melainkan suara detak jantungnya sendiri yang semakin cepat dan bergemuruh di kepalanya.
Pikiran-pikiran yang tak perlu berputar dalam benaknya.
Skenario yang tak masuk akal. Makan malam bersama, tetapi di hotel? Atau ini hanya alasan sederhana untuk minta maaf karena suaminya pulang terlalu lama. Atau mungkin sekedar tidur bersama? Tidak, bukan itu maksudnya!
Gambaran yang seharusnya tidak dia pikirkan mengacaukan pikirannya. Sejak kapan dia menjadi seseorang yang membayangkan hal semacam ini? Lebih dari itu, bagaimana mungkin dia bisa begitu bodoh membiarkan dirinya mengikuti laki-laki ini sampai ke sini?
Tak peduli seberapa besar dia masih merindukannya. Tak peduli bahwa laki-laki ini bahkan tidak pernah berpikir bahwa dirinya benar-benar kesepian.
Ini hanya akan menambah kesalahpahaman yang sudah ada. Tanpa sadar, mereka telah melewati lift umum dan sekarang berdiri di depan lift VVIP yang terletak lebih dalam di area hotel. Hiruk-pikuk dari lobi utama kini terdengar jauh di belakang mereka. Di tempat ini, hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Almaira menegang, jemarinya menggenggam tangan Yaga lebih erat. Merasa genggaman itu, laki-laki itu menoleh.
"Hm? Ada apa?"
Saat Yaga menekan tombol lift, dia menoleh ke arah Almaira dan menatapnya dalam diam. Begitu pintu lift terbuka, tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara, dia langsung menariknya masuk.
Dengan langkah terburu, Almaira ikut masuk ke dalam lift, lalu memandangi Yaga dengan gelisah saat laki-laki itu menekan tombol lantai.
"Bukankah kamu ingin mengatakan sesuatu?"
Yaga menariknya lebih dekat, menundukkan kepala seakan memberinya kesempatan untuk berbicara. Tapi pada titik ini, apakah masih masuk akal untuk bertanya? Tanya apa? Setelah melewati hari lebih dari satu bulan, tidak ada kabar, tidak ada pesan tidak ada telepon. Apa benar hanya sebatas itu yang ingin di tanyakan? Apa alasannya?
Pada akhirnya, Almaira tidak bertanya apa-apa. Lift melaju dengan mulus, hingga berhenti di lantai 11. Ding! Begitu pintu terbuka, aroma makanan segera menyambutnya.
"Keluarlah"
Yaga tersenyum kecil, membuatnya menyadari situasi yang sebenarnya. Dengan wajah yang masih memerah, dia menatap logo restoran jepang yang terpampang di hadapannya.
Matanya bergetar, lalu tatapannya berubah menjadi kesal.
Jadi sejak awal, tujuannya memang hanya untuk makan malam?
Sementara itu, laki-laki itu tetap dengan ekspresi tenangnya, seolah menikmati bagaimana dia telah membuat Almaira terjebak dalam pemikiran sendiri.
"Kamu tidak suka tempat ini? Kita bisa ke tempat lain."
"Kak Yaga benar-benar ya…!"
Dia menepis tangan laki-laki itu dengan kasar. Dia tidak tahu harus merasa marah, kesal, atau sekadar tak habis pikir. Sementara itu, Yaga hanya menyandarkan punggungnya ke dinding lift dan tertawa keras.
Rasa tegang yang menumpuk dalam diri Almaira runtuh begitu saja, membuatnya frustrasi sendiri.
Dia berbalik, mengulurkan tangan untuk menekan tombol dan menutup kembali pintu lift.
Namun, sebelum sempat Almaira melakukannya, Yaga kembali menangkap pergelangan tangannya.
Seketika itu juga, dia ditarik dengan cepat, tubuhnya berputar tanpa bisa menghindar. Sebuah benturan lembut terasa di punggungnya.
Saat dia menyadari apa yang terjadi, dia sudah terpojok di salah satu sudut lift. Dengan sedikit melirik, dia bisa melihat pintu lift tertutup sepenuhnya.
"Minggir."
Tatapannya menajam. Dia berusaha mendorong laki-laki itu menjauh, tetapi sia-sia.
Di dalam lift yang kini hanya berisi mereka berdua, Yaga hanya berdiri diam, menatapnya tanpa berkedip.
Tatapan laki-laki itu serasa merayap diwajahnya, mengikuti garis rahangnya, menyusuri setiap detail ekspresinya.
Almaira mengepalkan tangannya dan sekali lagi mencoba mendorong dadanya. Namun, bukannya menjauh, Yaga malah menangkap tangannya dan melingkarkan nya di pinggangnya sendiri.
"Kalau ada orang yang masuk_"
"Tidak akan ada."
Suara pintu lift berbunyi pelan saat Yaga menekan tombol ke lantai tertinggi. Dengan suara rendah, dia tertawa kecil dan menunduk, mencium keningnya begitu saja.
"Apa yang Kak Yaga lakukan?"
"Seberapa jauh kamu berharap ini akan terjadi, hm?" Senyuman laki-laki itu masih sama. Tapi kali ini, tubuhnya semakin dekat. Tak ada lagi celah di antara mereka.
Almaira menundukkan dagunya, menghindari tatapan itu, tapi Yaga tidak membiarkannya. Tangan besarnya mengangkat wajahnya, membelai pipinya perlahan. Mata mereka bertemu lagi.
Gerakan laki-laki itu semakin lambat, seakan sengaja membiarkan Almaira menyadari setiap sentuhannya. Saat bibirnya menyentuh ujung hidungnya, dia bahkan tidak bisa menemukan kata-kata untuk menolak.
"Aku sudah sering melepas bajumu, kan?" Suaranya terdengar sangat pelan, tetapi jelas. Almaira menggigit bibir, menahan napas. Wajahnya mengerut sejenak, tetapi Yaga hanya tersenyum dan mengecup lembut bagian tengah dahinya.
"Melepas semua yang kamu gunakan, hingga tidak ada sehelai pun yang tersisa."
"....."
"Haruskah aku mengingatkanmu bagaimana aku menyentuhmu?"
Tatapannya meresapi wajahnya, seolah mengupas setiap pikirannya. Sebelum dia sempat bereaksi, lift berhenti di lantai tertinggi.
Pintu terbuka dengan lembut. Sejenak, hanya suara angin halus yang terdengar, menyusup masuk melalui celah pintu.
Cahaya redup dari koridor panjang di luar lift menciptakan bayangan samar di wajahnya. Kemudian, bibirnya menyentuh bibirnya, begitu ringan, begitu cepat.
Almaira terkejut, tetapi saat dia mencoba menarik lengannya, Yaga malah semakin mengeratkan genggamannya di pinggangnya.
Yaga membungkuk dan menggigit bibir Almaira, kecepatan sentuhannya tidak biasa, rasanya seperti permainan saat masih anak-anak, dan kemudian rasa sesak di lehernya saat dia merasakan hasrat yang menempel di hadapannya. Perut bagian bawahnya tergelitik dengan dorongan yang tidak asing lagi.
Dia menatap suami yang sedang berdiri di hadapannya.
"Ah, tunggu_"
Bibir Almaira tergigit saat dia menggunakan kekuatannya yang lemah untuk mendorong laki-laki itu menjauh. Nafas panas mengalir di bibir yang terbuka tanpa daya, dan ciuman yang dalam dan kasar itu mengeluarkan suara yang rakus. Seperti seorang laki-laki yang telah kelaparan dalam waktu yang sangat lama, Yaga menghisapnya dengan penuh rasa lapar.
Air mata Almaira mengalir saat dia merasakan kenikmatan ditelan bulat-bulat oleh suaminya.
Matanya memerah, dan dia mengeluarkan suara yang samar, mmhh, hmhh.., suara yang menyiksa. Kakinya lemas dan dia merasa seperti akan pingsan setiap saat, tetapi lengan yang kuat di pinggangnya menguatkannya lagi dan lagi.
Rasanya dia ingin menjerit saat laki-laki itu menghimpit tubuhnya. Itu hanya sebuah ciuman, namun rasanya semua jadi berantakan. Kemudian, dengan sedikit menggigit ujung bibirnya, dia menarik diri, merasakan sesuatu menetes di bibirnya yang baru saja terbuka.
Yaga menyeka bibirnya yang basah dengan tangan yang kasar dan tersenyum, matanya berbinar-binar. Dia pikir gadis ini terlihat menggemaskan saat dalam keadaan acak-acakan seperti ini.
"Kamu benar, sepertinya yang akan kita lakukan hari ini hanyalah tidur bersama."
"Apa?"
Yaga terkekeh melihat ekspresi Almaira yang terkejut. Dia tahu betul bahwa Almaira berpikir mereka akan langsung masuk ke kamar, lalu tidur bersama dan itu yang membuatnya sengaja menggodanya.
Kesal, Almaira mengepalkan tangannya dan memukul bahunya dengan cukup keras.
Yaga terkekeh lagi. Sambil memiringkan kepalanya, dia bicara dengan suara meledek.
"Apa untungnya membuatku kesal terus-terusan? Apa yang akan aku lakukan begitu kita sampai di atas dengan tingkah mu seperti ini, hm? Kamu pikir kamu bisa mengatasinya?" Hanya dengan beberapa patah kata, dia mengintimidasi
Gelombang kejengkelan Almaira terhadapnya membuncah dalam dirinya. Kekesalan yang begitu besar hingga rasanya seperti akan meledakkan di dadanya yang kecil, muncul seperti amukan kekanak-kanakan.
''Hati-hati mulai sekarang, Kak Yaga. Hati-hati dengan semua yang Kak Yaga katakan. Siapa tahu? Mungkin Aira benar-benar punya pikiran untuk berpisah selamanya dengan Kak Yaga." Retakan halus muncul sesaat di wajah Yaga yang tanpa ekspresi itu.
"Oh benarkah?"
Sebagai balasan, Yaga hanya tersenyum dan dengan santai mengecup pipinya, seolah tak terganggu sedikit pun. Lalu, dengan gerakan tenang, dia mengulurkan tangannya ke belakang untuk menekan tombol pintu lift.