Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Amira menangis sepanjang malam. Tangisnya bukan lagi sekadar isak yang sesekali pecah, melainkan aliran pilu yang tak kunjung berhenti. Bantal di bawah kepalanya basah oleh air mata, seperti menyerap segala perih yang ia sembunyikan selama ini.
Matanya memerah dan bengkak, namun ia tetap memeluk dirinya sendiri, seolah dengan cara itu ia bisa menahan hancurnya perasaan. Langit di luar jendela berganti dari senja menjadi hitam pekat, hingga perlahan memudar saat fajar menyingsing, tetapi Amira masih terpejam dengan wajah yang terbenam di lipatan selimut—terkurung dalam kesedihan yang tak mau pergi. Kesedihan ini lebih dari sekedar rasa sakit kehilangan Ibu dan Ayahnya. Lebih dari itu.
"Mas Satria," Gumamnya lirih, nyaris tak terdengar di sela isak yang belum juga reda. Suaranya pecah, bergetar seperti terseret bersama sesak di dadanya. Tangannya menggenggam erat kalung pemberian Satria.
"Permisi…," Seru seseorang dari luar, suaranya terdengar pelan namun cukup jelas menembus pintu kamar. Amira terperanjat sejenak. Isaknya mereda, berganti dengan helaan napas panjang yang tertahan di tenggorokannya. Ia buru-buru mengusap pipi yang masih basah, meski suara seraknya masih tak bisa disembunyikan.
Amira segera bangkit dari tepi ranjang, gerakannya gusar dan agak goyah karena semalaman menangis. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan debar yang tak juga reda, lalu melangkah menuju pintu. Jemarinya sempat berhenti di gagang pintu—hanya sedetik—seolah ia sedang mengumpulkan keberanian dan berharap di balik pintu itu ada sosok yang selama ini ia tunggu.
Dengan hati yang berdebar, ia memutar kenop dan membuka pintu perlahan. Namun harapan yang sempat terbit itu runtuh seketika. Bukan Satria yang berdiri di sana. Yang terlihat hanya seorang pria paruh baya—mengenakan pakaian formal di balik wajahnya yang teduh dan tenang. Kemeja putihnya rapi, terlipat sempurna di bawah jas abu-abu yang pas di bahu, memancarkan kesan berwibawa namun tidak mengintimidasi. Rambutnya tersisir rapi ke samping, menambah kesan dewasa dan bijaksana. Tatapan matanya lembut, seolah mampu meredakan kegelisahan siapa pun yang menatapnya.
“Maaf, Bapak siapa?” sapa Amira pelan, matanya menyiratkan heran sekaligus canggung.
Pria itu menatapnya sesaat, seolah memastikan sesuatu. “Amira?” tanyanya ragu, suaranya rendah namun terdengar hangat.
Amira terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Seketika, perubahan tampak jelas di wajah pria itu—senyum tipis yang semula hanya singgah berubah menjadi senyum lega, memancarkan kehangatan yang tak dipaksakan. Ada semacam rasa bahagia yang menyembul di balik rautnya yang tenang, seolah menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Sementara, Amira masih menatapnya, bingung dengan reaksi itu. Hatinya dipenuhi pertanyaan, namun bibirnya terlalu kaku untuk mengucap apa pun.
"Amira," Pria itu mengulurkan tangan ke arah Amira. "Saya Om Hendra. Sahabat lama Ayah kamu Nak."
Amira membisu semakin bingung.
"Boleh Om bicara?"
Amira menyeka kelopak matanya yang masih sembab, berusaha menata diri di hadapan pria itu. Detik berikutnya ia mengangguk kecil, lalu dengan sopan mempersilakannya duduk di kursi kayu yang terletak di beranda rumahnya. Terdengar bunyi berderit pelan, seolah kayunya menahan beban dengan pasrah. "Mau minum apa?"
"Tidak usah, Nak. Jadi begini ..." Hendra memposisikan duduknya lebih nyaman. "Om ini ..."
Hendra terdiam sesaat, jemarinya saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari kekuatan untuk merangkai kata. Pandangannya sempat jatuh ke lantai beranda yang mulai retak di beberapa sudut, kemudian kembali pada Amira dengan tatapan ragu. "Om adalah sahabat Ayahmu sejak kami duduk di bangku SMA. Ayahmu adalah orang yang sangat baik dan telah banyak membantu Om."
Amira menelan saliva. Terlintas sosok Ayah—bayangan yang tiba-tiba saja menyingkirkan wajah Satria dari pikirannya. Seketika, kenangan masa kecil menyeruak; tatapan lembut Ayah yang selalu menyambutnya pulang sekolah, tangan kokoh yang menuntunnya belajar naik sepeda, hingga senyum sabar yang tak pernah pudar meski rumah mereka nyaris runtuh oleh pertengkaran.
Ayah. Sosok itu jauh lebih tulus dari siapa pun yang pernah ia kenal. Kasih sayang yang diberikan Ayah selalu penuh, hangat, dan tak pernah tergantikan, berbeda dengan Ibu yang memilih pergi meninggalkan mereka dengan gugatan cerai yang bahkan tak diiringi ucapan maaf.
"Lalu kenapa dia pergi meninggalkan aku?" Gumam Amira, suaranya bergetar, nyaris pecah. Alih-alih berbicara pada dirinya sendiri, kalimat itu justru terdengar jelas oleh pria yang duduk di sampingnya.
"Amira, apa kamu tahu kalau Ayahmu punya sekali banyak hutang hingga seluruh aset berharga miliknya di sita, bahkan Ibumu menggugat cerai Ayahmu?" Tanya Hendra.
Amira menggeleng tanpa suara.
"Itu semua beliau lakukan demi menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang kami bangun bersama, yang saat ini Om tangani." Jelas Hendra pelan, nadanya berusaha tenang. "Juga demi menjaga keluarga dan kehidupan Om agar tidak hancur." Matanya berpaling, menerawang ke langit yang mulai disaput sorot mentari pagi. Seolah kata-katanya yang tak mampu ia ucapkan tersimpan di sana. "Amira,"
Binar mata Alia menghangat, menatap samar pria itu dari tampak samping.
"Ayahmu tidak jahat. Dia bukan tanpa alasan membiarkanmu tinggal di panti sendirian. Saat itu, dia pergi ke Kalimantan untuk menemui Om, dan terpaksa menitipkanmu di sana untuk sementara waktu.”
"A-Ayah..."
"Tapi dalam perjalanan ..." Hendra menutup wajah dengan sebelah jemarinya. Napasnya terhela panjang, menepis pilu yang mendadak menyergap. "Om sangat menyesal, Amira. Seharusnya Om tidak membiarkan Ayahmu pergi jauh hanya untuk menemui Om. Dan Om juga tidak seharusnya terlambat menyadari itu semua.”
Mata Amira yang sejak tadi menghangat akhirnya pecah, menumpahkan bulir-bulir yang ia coba bendung. Wajahnya kembali basah oleh air mata—bukan semata karena kesedihan tentang Satria atau kehilangan pekerjaannya, melainkan karena luka-luka lama yang kembali menganga.
Hendra kembali menatap Amira. "Nak, kamu tahu apa alasan Ayahmu pergi untuk menemui Om?"
Amira menyeka wajah dan menggeleng.
"Ayahmu bukan hanya meminta bantuan Om soal finansial untuk membantu melunasi hutang-hutangnya, tapi juga memohon agar Om menjaga kamu selama dia pergi.”
" Ayah, pergi ..." Lirih Amira semakin terisak. Kata pergi itu terasa seperti isyarat jelas bahwa sang Ayah telah pergi untuk selamanya. Padahal, yang dimaksud dengan pergi sesungguhnya adalah mungkin memperjuangkan keadilan demi kehidupan mereka bersama.
Amira menyesal. Selama ini ia menuduh Ayahnya jahat—menuduh pria itu tega membiarkannya hidup sendirian dan terjerat hutang. Padahal, semua itu dilakukan sang Ayah demi kebaikan dan masa depan mereka.
“Nak, selama ini Om sudah berusaha mencari kamu,” Lanjut Hendra lembut. “Om mencarimu ke mana-mana, demi memenuhi permintaan Ayahmu agar kamu bisa tinggal bersama keluarga Om.”
Amira terdiam, menunduk perlahan. Jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menahan getaran yang merambati tubuhnya.
“Om sudah menganggap kamu seperti anak sendiri yang selama ini hilang,” Hendra memandang Amira lembut. “Amira, maukah kamu tinggal bersama Om dan keluarga?”
Hening sesaat.
Hendra mengangguk pelan, lalu merogoh saku jasnya dengan gerakan hati-hati, seolah benda yang hendak ia keluarkan itu begitu berharga. Dari balik lapisan kain gelap itu, ia menarik secarik surat yang sudah tampak sedikit kusut di sudutnya.
Dengan napas yang terdengar berat, Hendra mengulurkan surat itu kepada Amira. "Om beri kamu kesempatan untuk mengambil keputusan setelah membaca isi surat ini. Ambilah, Amira."
Jemari Amira sempat ragu saat menyambutnya, menatap kertas berwarna kekuningan yang seakan menyimpan begitu banyak cerita. Kemudian Hendra beranjak pergi dan berpamitan pulang. Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir rapi di halaman rumah. Tak lama, suara mesin mobil terdengar pelan sebelum akhirnya kendaraan itu melaju perlahan, meninggalkan rumah Amira hingga menghilang dari pandangan.
Aku titipkan surat ini dengan penuh harap dan rasa percaya. Maafkan aku yang datang membawa beban dan menitipkan anakku kepadamu.
Amira mungkin tak pernah tahu seberapa berat langkahku meninggalkannya di panti. Itu bukan karena aku ingin menjauh darinya, tapi karena aku ingin ia memiliki masa depan yang lebih baik daripada yang bisa kuberikan saat ini.
Aku pergi ke Kalimantan untuk memperbaiki keadaan, demi membayar hutang perusahaan dan menyelamatkan hidup kami. Namun, aku tidak ingin Amira merasa benar-benar sendirian. Karena itu, aku memohon padamu, jagalah dia seperti putrimu sendiri.
Jika suatu hari aku tak kembali tepat waktu, jangan biarkan Amira merasa tak punya keluarga. Beritahu dia, Ayahnya tidak pernah berhenti mencintainya.
Terima kasih karena sudah bersedia menanggung beban ini untukku. Aku berutang budi yang tak akan sanggup terbalaskan.
Renaldi.
****