Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18-Malam yang Akhirnya Harus Terjadi
Malam itu, jam dinding di kamar Angkasa sudah menunjukkan hampir tengah malam. Namun matanya sama sekali tak bisa terpejam. Rasa gelisah terus menghantam dadanya. Ia berguling ke kiri, ke kanan, lalu kembali menatap langit-langit kamar dengan napas berat.
Sebagai seorang pria dewasa, ia tentu paham benar apa yang sedang dirasakannya. Ada hasrat yang bergejolak, ada kerinduan fisik yang sebenarnya bisa ia salurkan dengan mudah. Tania, istrinya yang sah secara hukum, pernah dengan jelas mengatakan bahwa Angkasa bebas memanggilnya kapan pun ia ingin. Tapi entah mengapa, bayangan Tania malam ini tidak hadir sedikit pun dalam pikirannya.
Justru wajah Aliya yang muncul—lembut, polos, namun akhir-akhir ini semakin berbeda. Cara berjalan, cara duduk, bahkan caranya tersenyum, semua seakan meninggalkan bekas di hati Angkasa. Hanya saja, ia tak mau mengakui perasaan itu begitu cepat.
“Kenapa aku malah memikirkan dia?” gumam Angkasa lirih, menutup wajah dengan kedua tangannya.
Rasa bersalah melanda, seolah dirinya sedang mengkhianati sesuatu. Tapi perasaan itu tak bisa ia tolak. Dan semakin ia mencoba melawan, semakin kuat keinginan itu datang. Akhirnya, dengan langkah berat ia memilih turun dari ranjang. Kamar yang terlalu sesak dengan pikirannya membuatnya sulit bernapas. Ia butuh udara.
Angkasa menuruni anak tangga rumah megah itu. Udara malam yang dingin menyambutnya ketika ia membuka pintu menuju halaman belakang. Namun langkahnya terhenti sejenak saat melihat sosok yang tidak asing sudah duduk di sofa halaman belakang, memegang secangkir cokelat hangat.
Aliya.
Gadis itu tampak memandangi bunga anggrek yang tergantung rapi. Di balik bunga itu, bulan bersinar terang, seakan menjadi latar belakang sempurna. Senyum tipis sempat terbit di wajah Aliya saat ia memandanginya, seolah lupa pada semua beban hidupnya.
“Kamu belum tidur?” suara Angkasa memecah keheningan.
Aliya menoleh, sekilas saja, lalu menghadiahkan senyum yang lebih tulus dari biasanya. “Aku tadi ingin tidur, Mas. Tapi begitu hendak menutup gorden, aku lihat bulan malam ini indah sekali. Dan ternyata duduk di sini lebih indah lagi karena bisa sambil lihat anggrek.”
Ada sesuatu pada caranya berbicara. Tenang, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Angkasa merasa dadanya sedikit bergetar, padahal seharusnya kalimat sederhana itu tak punya pengaruh apa pun padanya.
Ia pun ikut duduk, meski menjaga jarak di ujung sofa. “Mas mau aku buatkan kopi?” tanya Aliya sopan.
Angkasa menggeleng. “Tidak. Nanti aku malah semakin tidak bisa tidur.”
Sejenak mereka hanya diam. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan harum anggrek yang merebak.
Aliya memberanikan diri lebih dulu. “Mas…” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Kita sudah dua bulan menjalani pernikahan kontrak ini.” Suaranya ragu, namun matanya berusaha tetap menatap ke depan. “Tadi sore Nyonya Tania menghubungiku. Dia menanyakan apakah aku sudah hamil atau belum.”
Kata-kata itu membuat kepala Angkasa menoleh cepat. Tatapannya tajam, namun bukan marah—lebih pada terkejut bercampur resah.
“Kamu ingin aku segera menghamilimu?” tanyanya, nada suaranya lebih berat dari biasanya.
Aliya menunduk, menggenggam erat cangkir di tangannya. “Nyonya Tania terus menekanku. Katanya tugasku hanya satu: mengandung dan melahirkan anakmu. Setelah itu aku bebas, aku boleh pergi.”
Mata Angkasa membelalak. Kata-kata itu menusuk seperti pisau. “Lalu meninggalkan anak yang kamu lahirkan? Kamu bisa setega itu?”
Suara Angkasa meninggi tanpa ia sadari. Aliya tersentak, lalu menjawab lirih, “Aku tidak punya pilihan, Mas. Kontrak itu… Nyonya Tania bisa kapan saja menyeretku keluar, atau bahkan memasukkan aku ke penjara. Itu yang tertulis.”
“Persetan dengan kontrak itu,” potong Angkasa cepat, dengan nada penuh kemarahan. “Urusan Tania adalah urusanku.”
Aliya mengangkat wajahnya perlahan. Ada rasa tidak percaya di matanya, tapi juga ada secercah harapan.
“Kamu istriku, Aliya.” Suara Angkasa kini lebih lembut, tapi tetap tegas. “Meski awalnya dengan cara yang salah, tetap saja secara hukum kamu istriku. Tania sendiri yang memberi ijin dalam surat pernikahan kita. Dia tidak bisa menggugatmu. Jadi jangan pernah merasa dirimu hanya sekadar pengganti. Tugasmu hanya satu: turuti apa kataku.”
Aliya terdiam. Kata-kata Angkasa membuat dadanya bergetar. Ada kehangatan yang aneh, meski ucapannya terkesan keras.
Dengan perlahan, ia bangkit, berniat kembali ke kamar. “Kalau begitu, aku pamit tidur dulu, Mas.”
Angkasa menatap nanar kepergian Aliya, namun ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Dan saat selangkah lagi Aliya meraih handel pintu, suara Angkasa terdengar lagi. “Berani sekali kamu pergi saat aku belum selesai bicara.”
Tiba-tiba, tangan Angkasa menangkap lengannya. Tarikan itu membuat Aliya terpaksa bersandar pada daun pintu kamar. Jantungnya berdentum keras, sementara tatapan Angkasa menusuk dalam, membuatnya hampir kehilangan kata.
“Ma-maafkan aku, Mas…” lirih Aliya, suaranya bergetar.
Angkasa terdiam cukup lama, hanya menatap wajahnya. Matanya kemudian jatuh pada bibir Aliya—lembut, alami, dan entah mengapa terlihat begitu menggoda malam itu. Hasrat yang tadi ia tahan sejak di kamar kini semakin sulit dilawan.
Keduanya berdiri begitu dekat, hingga Aliya bisa merasakan hangat napas Angkasa.
“Apa benar itu yang Tania inginkan? Agar kamu segera hamil?” suara Angkasa rendah, hampir seperti bisikan.
Aliya menelan ludah. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tercekat. Yang keluar hanyalah tatapan gugup, bercampur ketakutan dan kebingungan.
Angkasa menghela napas panjang, lalu menutup matanya sejenak. Saat kembali membuka, ada pergulatan batin yang jelas terlihat. Ia menunduk sedikit, hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa senti.
Aliya memejamkan mata, setengah pasrah, setengah berharap.
Namun alih-alih melakukan hal yang ditakutinya, Angkasa menahan dirinya. Tangannya perlahan turun dari lengan Aliya, kemudian ia hanya meraih pundaknya, menepuk lembut.
“Tidurlah,” ucapnya akhirnya, meski suaranya terdengar berat menahan sesuatu. “Aku tidak akan melakukan apa pun yang kamu tidak inginkan.”
Aliya membuka mata perlahan, terkejut sekaligus lega. Bulir kecil air mata jatuh tanpa ia sadari. Ia menunduk cepat, takut Angkasa melihat kelemahannya.
Namun entah mengapa hasrat itu kebih menguasai Angkasa malam ini, membuat Angkasa tidak melepaskan sepenuhnya. Ia kembali mendekat, menahan daun pintu agar tidak tertutup. Tatapannya dalam, begitu dekat hingga Aliya tak mampu menghindar.
“Aliya…” suaranya berat, bergetar menahan sesuatu. “Kalau aku menahan diri terus… aku bisa gila.”
Aliya terdiam. Hanya suara detak jantungnya yang kencang, berpacu dengan tarikan napas Angkasa yang semakin tidak teratur.
Dan malam itu, di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, akhirnya tidak lagi menahan diri. Angkasa membawa Aliya ke kamar, menuju tempat tidur yang dua bulan ini di tiduri hanya oleh Aliya seorang, Angkasa menunduk, merengkuh Aliya ke dalam dekapannya. Kecupan pertamanya lembut, penuh keraguan, namun kemudian berubah menjadi dalam, menuntut, seakan menumpahkan semua perasaan yang ia simpan. Bahkan Angkasa bisa merasakan ini adalah ciuman yang pertama untuk Aliya.
Aliya sempat membeku, namun perlahan tubuhnya luluh. Ada ketakutan, ada keraguan, tapi juga ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar diperlakukan sebagai seorang istri, bukan sekadar alat dalam sebuah kontrak.
Angkasa menciumi bibir Aliya semakin dalam, turun ke bagian leher jenjangnya, dan dengan sigap membuka pakaian Aliya satu persatu, melemparnya ke arah asal. Mata Angkasa tak berkedip dan semakin berga-irah saat melihat tubuh Aliya yang masih kencang. Angkasa kembali mencum-bui dan memulai aksinya di saat merasa Aliya siap menerima sentu-hannya.
”Pelan, Mas.” Lirih Aliya menahan pinggul Angkasa.
Lagi dan lagi Angkasa yakin jika dirinya adalah pria pertama yang menyentuh Aliya. Angkasa yang tadinya dipenuhi oleh hawa naf-su, kini mulai melembut hingga merasa sesuatu terbenam sempurna, menandakan jika mereka telah menjadi satu.
Malam itu mereka akhirnya menyerah pada perasaan dan takdir. Tanpa kata-kata panjang, tanpa janji manis. Hanya tubuh, jiwa, dan hati yang saling mencari, saling menemukan.
Dan di bawah sinar bulan yang menembus jendela, Angkasa meniduri Aliya—bukan sekadar sebagai kewajiban kontrak, melainkan sebagai pengakuan bahwa ia mulai membutuhkan, bahkan mencintai wanita itu.
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣
makasih kk Thor 🙏💓
pasti keluarga angkasa yang menyembunyikan Aliya