Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Beberapa hari telah berlalu…
Di pulau itu, Anjani menanti dalam kecemasan.
Sejak kepergian Mawar, rumah kecil mereka yang dulu selalu dipenuhi keceriaan kini terasa begitu sunyi. Tak ada lagi tawa riang atau celoteh adiknya yang biasa menghangatkan hari-harinya. Hanya ada kesepian yang semakin dalam, merayapi setiap sudut rumah, menggerogoti perasaannya perlahan-lahan.
Untuk mengusir rasa sepi sekaligus menyambung hidup, Anjani kembali membenamkan dirinya dalam kesibukan. Seperti hari-hari sebelumnya, sebelum ibunya, Resti, meninggal, ia selalu mendagangkan kue-kue buatannya bersama Mawar, adiknya. Sejak kecil, mereka telah terbiasa menjalani rutinitas itu—kebersamaan yang membuatnya mampu bertahan bertahun-tahun di pulau ini, menghidupi Resti, sang ibu, yang kehilangan kewarasannya.
Kini, ia kembali mengulang rutinitas tersebut. Setiap pagi, tangannya lincah menguleni adonan kue, membentuknya dengan penuh ketelatenan, lalu memanggangnya dengan hati-hati. Kue-kue itu ia dagangkan berkeliling pulau—bukan hanya demi mencari nafkah, tetapi juga sebagai pelariannya dari kecemasan yang terus menghantuinya.
Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ada harapan yang menggelitik hatinya, membawa secercah semangat yang sudah lama tak ia rasakan.
Seusai berjualan, ia buru-buru pulang, meletakkan keranjang kosongnya begitu saja di atas bangku depan rumah, lalu segera melangkahkan kaki menuju rumah Pak RT. Langkahnya cepat, napasnya tak beraturan. Jika perjalanan kapal berjalan lancar, seharusnya pagi ini Mawar sudah tiba di Jakarta. Seharusnya, sudah ada kabar darinya.
Setibanya di rumah Pak RT, jantung Anjani berdebar kencang. Ia berharap akan mendapatkan jawaban yang telah lama ia nantikan—sebuah kabar yang mampu meredakan keresahan di hatinya.
Pak RT yang tengah duduk di beranda menatap Anjani dengan sorot mata penuh pengertian. Ia sudah menduga alasan kedatangan gadis itu hari ini. Sebelumnya, Anjani memang pernah datang menemuinya, berpesan agar segera memberitahunya jika ada telepon dari Jakarta—dari adiknya, Mawar.
Dengan suara gemetar, Anjani akhirnya bertanya, “Pak… maaf saya mengganggu lagi… tapi apa sudah ada kabar dari Mawar?”
Pak RT menghela napas pelan, menatap Anjani dengan lembut. “Belum ada, Anjani. Dari tadi pagi saya menunggu telepon, tapi Mawar belum juga menghubungi.”
Sejenak, dunia terasa berhenti bagi Anjani.
Ia tercekat, suaranya nyaris tak terdengar saat ia mengulang kata-kata Pak RT. “Belum… ada?”
Pak RT mengangguk perlahan, suaranya tetap tenang meski terlihat jelas ia turut merasakan kegelisahan Anjani. “Mungkin dia masih sibuk mencari tempat tinggal, atau mungkin belum sempat membeli handphone.”
Anjani berusaha menenangkan dirinya, tetapi suara di hatinya terus berbisik, memunculkan berbagai kemungkinan buruk.
“Tapi… kalau semuanya baik-baik saja, kenapa dia tidak menghubungi sama sekali? Bukankah dia tahu saya pasti menunggu kabarnya?”
Pak RT diam sejenak, membiarkan Anjani meluapkan kegelisahannya.
Kemudian, dengan suara yang lembut namun tegas, ia berkata, “Saya mengerti perasaanmu, Nak. Tapi jangan terlalu berpikiran buruk dulu. Jakarta itu besar, mungkin Mawar masih mencari tempat yang nyaman sebelum menghubungimu. Yang penting sekarang, kamu harus tetap sabar dan berdoa.”
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga di pipi Anjani. Ia ingin percaya bahwa Mawar baik-baik saja. Bahwa adiknya hanya belum sempat menghubunginya.
Namun, mengapa hatinya terus dipenuhi kegelisahan yang tak kunjung reda?
Dengan langkah berat, ia meninggalkan rumah Pak RT. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi kecemasan. Angin sore berembus lembut, membawa aroma laut yang biasanya menenangkan, tetapi kali ini justru terasa begitu dingin dan menyesakkan.
Setibanya di rumah, Anjani duduk di ambang pintu, memeluk lututnya erat-erat. Dadanya sesak, pikirannya berputar-putar, membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi pada Mawar di kota besar yang asing itu.
Ia menatap langit yang mulai meredup. Matahari tenggelam di ufuk barat, membawa serta harapan yang semakin menipis.
“Mawar… kamu di mana?”
Jika semuanya baik-baik saja, mengapa Mawar belum juga menghubunginya? Apakah kapal yang ditumpanginya benar-benar sudah berlayar dengan selamat? Apakah ia tersesat? Apakah adiknya baik-baik saja di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang asing dan tak bersahabat? Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk terjadi?
Semakin banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya, semakin sesak dadanya. Ia menengadahkan wajah ke langit, berbisik lirih dalam doa.
“Tolong, Tuhan… Lindungi Mawar… Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padanya….”
Hari itu, untuk kesekian kalinya, Anjani menanti dengan hati yang penuh kecemasan—menunggu sebuah kabar yang entah kapan akan datang.
***
Sementara, Mawar di perjalanan...
Di tengah lautan, di dalam kapal yang terus terombang-ambing ombak, Mawar menatap gelisah ke luar jendela.
Seharusnya, ia sudah tiba di Jakarta sejak tadi pagi, seperti apa perkiraan Anjani. Tapi perjalanan ini tak semulus yang ia bayangkan.
Saat kapal masih berada di tengah laut, tiba-tiba terdengar suara berderit keras diikuti dengan guncangan hebat. Lampu di beberapa bagian kapal berkedip-kedip sebelum akhirnya padam sebentar. Mawar memegang sandaran kursi dengan erat, matanya membesar.
"Ya Tuhan… Ada apa lagi ini?" gumamnya, hatinya mulai tidak tenang.
Tak lama kemudian, pengeras suara berbunyi. Suara salah satu kru kapal terdengar, berusaha menenangkan para penumpang.
"Mohon perhatian. Saat ini kapal mengalami sedikit kendala teknis pada sistem mesinnya. Kami akan segera melakukan perbaikan. Untuk sementara, kapal akan berhenti berlayar. Kami harap para penumpang tetap tenang dan tidak panik."
Namun, tentu saja, ketenangan adalah hal terakhir yang bisa dirasakan oleh sebagian besar penumpang. Beberapa orang mulai berbisik panik, ada yang memilih berdiri dan mencoba melihat apa yang terjadi di luar, sementara yang lain hanya bisa duduk dengan wajah tegang.
Mawar menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Namun pikirannya langsung melayang ke Pulau, ke Anjani yang pasti sedang menunggu kabar darinya.
"Kak Anjani pasti cemas… Aku harus segera sampai agar bisa menghubunginya."
Waktu berjalan lambat, setiap menit terasa seperti selamanya. Mawar hanya bisa duduk gelisah, menatap keluar jendela, berharap kapal bisa segera diperbaiki.
Setelah beberapa jam yang melelahkan, pengeras suara kembali berbunyi.
"Perhatian kepada seluruh penumpang, perbaikan telah selesai dilakukan. Kapal akan segera melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Kami mohon maaf atas keterlambatan ini. Terima kasih atas pengertiannya."
Mawar menghela napas panjang, meletakkan tangannya di dada.
"Syukurlah…" bisiknya, sebelum akhirnya kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata.
Perjalanan pun kembali berlanjut.
**
Saat fajar menyingsing, setelah berhari-hari diombang-ambing ombak dan mengalami keterlambatan yang membuatnya hampir putus asa, Mawar akhirnya menjejakkan kakinya di pelabuhan Jakarta.
Ada kelegaan yang menyelinap di hatinya—setidaknya, ia sudah sampai di tempat tujuan. Tapi bersama dengan itu, perasaan asing dan gamang perlahan menguasai dirinya.
Jakarta…
Kota yang seharusnya menjadi rumahnya sejak kecil, kini terasa begitu jauh, dingin, dan tak bersahabat.
Matanya menyapu pemandangan di sekelilingnya. Gedung-gedung beton menjulang tinggi, menutupi langit yang selama ini bebas ia nikmati di pulau. Jalanan penuh sesak oleh kendaraan yang merayap lambat, suara klakson bersahut-sahutan menciptakan kebisingan yang menusuk telinga. Udara terasa berat, panas, dan pengap—begitu berbeda dari hembusan angin laut yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.
Mawar berdiri di tengah lautan manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi justru merasa semakin sendirian.
Seharusnya, kota ini adalah miliknya. Seharusnya, di sinilah ia tumbuh besar, belajar, bermain, dan menjalani hidup layaknya anak-anak lain. Tapi kenyataan berkata lain. Semua yang seharusnya menjadi miliknya telah direnggut—oleh Lusi, oleh takdir yang begitu kejam.
Perasaan getir memenuhi dadanya.
Jika saja Ayah dan Ibu masih ada…
Jika saja hidup mereka masih bahagia seperti dulu…
Jika saja takdir tidak mempermainkannya seperti ini…