Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Tangan Terlepas
Kereta kuda berderak perlahan meninggalkan aula pesta. Suara derap kuda berpadu dengan gesekan roda di jalan berbatu, mengisi keheningan yang sempat jatuh di antara mereka. Lampu minyak di dalam kereta berayun lembut, menciptakan bayangan samar pada wajah Elena.
Ia menoleh ke arah Mervyn yang duduk tegak di seberangnya, wajahnya tenang seperti biasa, terlalu tenang. Bibir Elena melengkung pelan, matanya menyipit penuh selidik.
“Aku ingin bertanya…” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan yang hanya mereka berdua yang bisa dengar.
“Apakah… kau sengaja mencocokkan pakaianmu denganku malam ini?”
Mervyn sedikit terkejut. Kedua matanya bergeser, menatap Elena sejenak, lalu kembali lurus ke depan. “Apakah itu penting?” tanyanya datar, namun nada suaranya lebih rendah dari biasanya, hampir seperti menahan sesuatu.
Elena menahan tawa kecil. “Tentu saja penting. Semua orang membicarakannya, tahu?” Ia menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh ujung gaunnya. “Aku sendiri bahkan tidak sadar… tapi ketika kulihat, warnanya memang… cocok sekali.”
Keheningan sejenak.
“Aku tidak sengaja,” jawab Mervyn akhirnya. Namun begitu ia berkata demikian, ada jeda tipis, terlalu tipis, seolah ada sesuatu yang tidak ia ucapkan.
Elena menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu… biarkan aku percaya bahwa kau memang sengaja melakukannya.”
Ucapan itu sederhana, tapi atmosfir kereta seketika berubah. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang lembut dan manis, seperti alunan musik yang hanya mereka berdua yang bisa dengar.
Mervyn melirik sekilas, tatapannya beradu dengan Elena yang masih tersenyum. Untuk sesaat, wajahnya yang dingin itu melunak, meski hanya sepersekian detik sebelum kembali kaku.
“Aku tidak keberatan jika kau percaya begitu,” katanya pelan, nyaris tak terdengar.
Elena membuang pandang, bibirnya masih tersenyum samar. Kehangatan aneh menyelusup di dadanya, membuat wajahnya terasa sedikit panas. Ia membuka mulut seolah ingin melanjutkan percakapan, namun kelopak matanya sudah terlalu berat.
Ia bersandar pada dinding kereta, matanya berat. Gaun megahnya berkilau samar, kontras dengan wajah yang perlahan memucat karena lelah. Udara malam yang masuk lewat jendela kecil membawa kesejukan, membuat kelopaknya kian merapat. Tak lama kemudian, Elena terlelap, napasnya teratur, tenang.
Mervyn duduk di seberangnya, diam. Hanya suara derap kuda menemani. Matanya jatuh pada sosok Elena yang tertidur, kepalanya sedikit miring, beberapa helai rambut lepas menutupi wajahnya. Untuk sesaat, sorot mata Mervyn melembut, berbeda dari biasanya. Ia mencondongkan tubuh, jemarinya terangkat seakan ingin menyibak helaian rambut itu…
Namun gerakannya terhenti di udara. Tangannya mengepal kembali. Tatapannya berubah, kembali kaku, seakan mengunci kelembutan barusan di balik dinding baja. Ia menarik diri, duduk tegak, rahangnya mengeras.
Kereta terus melaju dalam keheningan, hanya sesekali terdengar suara ranting patah di bawah roda. Mervyn memalingkan wajah ke jendela, menatap keluar. Entah apa yang bergolak dalam benaknya.
Elena menggeliat kecil dalam tidurnya, dan tubuhnya sedikit condong ke samping, hampir menyandar pada udara kosong. Refleks, Mervyn bergerak cepat, menahan bahunya agar tidak terjatuh. Sesaat, ia mendapati Elena bersandar padanya, kepalanya kini bertumpu di bahunya.
Diam.
Mervyn menegang, jemarinya sempat ingin menahan posisi itu lebih lama. Namun kemudian, dengan satu helaan napas berat, ia menggeser perlahan tubuh Elena agar kembali bersandar ke dinding kereta. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan apa pun seolah momen barusan hanyalah sekadar refleks biasa.
Kereta akhirnya melambat. Suara kusir terdengar samar.
“Tuan, Nyonya… kita sudah hampir sampai di Mansion Carwyn.”
Mervyn melirik Elena. Wanita itu mulai bergerak pelan, matanya terpejam setengah, bangun dari tidurnya tepat sebelum roda berhenti di depan gerbang besar kediaman Carwyn.
Derit pelan roda kereta berhenti di depan gerbang Mansion Carwyn. Mervyn turun lebih dahulu, langkahnya mantap, lalu berhenti tepat di sisi pintu. Dengan tenang, ia mengulurkan tangan ke arah dalam.
Elena menatap uluran tangan itu sejenak, bibirnya melengkung tipis. Ia menerima bantuan Mervyn dengan anggun, jemarinya bertumpu ringan pada telapak tangan pria itu.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Elena langsung mendapati Myra sudah menunggu di sana. Sang pelayan membungkuk hormat, lalu dengan cekatan mengambil alih, menyodorkan lengannya untuk Elena.
Elena pun segera melepaskan genggaman pada tangan Mervyn. Gerakannya lembut, tapi cepat, seolah ingin memastikan jarak tetap terjaga. Myra mendampinginya dengan sigap, dan Elena menoleh sekilas ke arah Mervyn.
“Kalau begitu… saya pamit masuk terlebih dahulu,” ucapnya sopan, suaranya tenang namun dingin. Tanpa menunggu balasan, ia berbalik dan berjalan bersama Myra menuju pintu mansion.
Mervyn tetap berdiri di depan kereta, matanya tak beranjak dari punggung Elena yang semakin menjauh. Malam begitu tenang, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani.
Telapak tangannya masih terasa hangat, seolah jejak jemari Elena belum benar-benar hilang. Ia mengepalkan tangan lebih erat, rahangnya mengeras. Tatapannya yang dalam itu sulit ditebak.
“Elena…” gumamnya pelan, hampir seperti helaan napas.
Namun kata itu tertelan keheningan malam.
Elena yang berjalan di sisi Myra sama sekali tidak menoleh ke belakang. Bahunya tegak, langkahnya anggun, seolah tak menyadari tatapan pria yang ditinggalkannya.
Sesampainya di pintu besar mansion, Myra hendak membukakan pintu untuk sang nyonya. Namun tepat ketika pintu itu berderit terbuka, angin malam berembus lebih kencang, membawa perasaan yang tidak menyenangkan membuat Elena menoleh cepat ke sekitarnya.
Tidak ada siapa pun.
Hanya halaman luas yang diterangi cahaya lampu, dan bayangan pepohonan yang bergoyang diterpa angin.
Elena mengerutkan kening, rasa dingin merambat di tengkuknya. Ia melangkah masuk bersama Myra, namun perasaan aneh itu tidak juga hilang.
...
Berita tentang apa yang terjadi di keluarga Valens akhirnya menyebar luas, menggema dari satu pertemuan bangsawan ke pertemuan lainnya.
Nama Elena disebut-sebut di antara bisikan dan gelas anggur yang beradu. Satu per satu, para wanita bangsawan mulai menunjukkan ketidaksukaan mereka, dan perlahan sikap waspada pun tumbuh, seolah kehadiran Elena adalah sesuatu yang harus diperhitungkan… hanya saja, tak seorang pun benar-benar tahu apa yang sedang menanti mereka setelah ini.