Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13
Azhar menggandeng tangan Nisa masuk ke kamar resort yang mereka sewa. Senyumnya merekah sambil melirik istrinya.
“Kata orang tua, jangan menikah dengan wanita sekampung. Menikahlah cukup dengan seorang wanita saja.”
Nisa terkekeh, menggeleng pelan.
“Kalau sekampung, mana muat kalau rumahnya Mas cuma satu? Bisa-bisa penuh sesak.”
Azhar tertawa, lalu menatap Nisa dalam-dalam. “Aku tahu kita tak seumuran… tapi aku ingin seumur hidup denganmu.”
Ucapan itu begitu tulus, membuat mata Nisa langsung berkaca-kaca. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Azhar buru-buru menariknya ke dalam dekapan hangat.
“Jangan menangis, sayangku. Aku hanya ingin kamu tersenyum sepanjang waktu. Senyummu itu obat paling mujarab buat hatiku.”
Begitu masuk kamar, Nisa langsung berlari kecil menuju jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Ia membuka tirai, lalu menatap takjub pemandangan di luar sana.
“Ya Allah… Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Engkau berikan aku kesempatan ke tempat seindah ini.” Suaranya bergetar penuh syukur.
Azhar berdiri di belakangnya, memperhatikan raut kagum itu dengan tatapan bangga.
“Cantiknya pemandangan di luar kalah jauh sama kamu,” ucapnya pelan.
Nisa tersipu, lalu menoleh sekilas. “Mas Azhar pintar banget pilih tempat. Mas tahu aku suka banget sama pantai dan laut. Semoga setelah bulan madu ini, ada calon baby yang hadir di tengah kita.” Ia mengusap perutnya sambil tersenyum haru.
Azhar merangkul pinggangnya dari belakang, meletakkan dagunya di pundak istrinya.
“Apa kamu menyukai tempat ini?” tanyanya sambil menghirup aroma wangi rambut Nisa yang baru keramas.
Nisa mengangguk mantap. “Aku suka banget, Mas. Jujur, ini pertama kalinya aku ke sini. Di Takalar ada pantai, tapi nggak ada pasir putih secantik di Tanjung Bira, Bulukumba.”
“Alhamdulillah kalau kamu suka, sayangku. Dua hari kedepan aku akan pastikan kamu terus bahagia, terus takjub. Akan ada banyak kejutan untukmu,” bisiknya sambil mengeratkan pelukan.
Nisa menggenggam tangan suaminya, lalu menyandarkan kepalanya. “Mas, kadang aku merasa seperti bermimpi. Aku gadis desa biasa, tapi Allah memberiku suami sebaik dirimu. Aku takut kalau semua ini hanya sementara.”
Azhar segera membalik tubuh Nisa agar bisa menatap wajahnya. Ia menangkup pipi istrinya dengan kedua tangannya.
“Dengar, Nisa. Kamu itu bukan mimpi. Kamu nyata, kamu anugerahku. Aku nggak peduli kamu dari desa atau kota, bagiku kamu adalah rumahku. Kalau aku kehilanganmu, rasanya hidupku hampa.”
Nisa menahan isak, lalu memeluknya erat.
“Mas… jangan pernah tinggalkan aku. Aku ingin kita tua bersama, aku beruban, kulitku keriput, tapi Mas masih ada di sisiku.”
Azhar mengecup keningnya dengan lembut.
“Insya Allah, sayangku. Aku akan ada di sampingmu, sampai kapan pun. Bahkan kalau Allah panggil aku duluan, aku tetap akan mencintaimu dari alam sana. Kita akan ketemu lagi di surga, aku yakin.”
Air mata Nisa mengalir deras, tapi kali ini karena bahagia.
“Mas… aku mencintaimu karena Allah. Semoga cinta ini Allah ridhoi sampai akhirat nanti.”
Azhar tersenyum haru, matanya ikut basah.
“Aku pun begitu, Na. Aku mencintaimu karena Allah. Kamu adalah semangatku, pelengkapku, dan doaku setiap malam. Aku tidak pernah minta yang muluk-muluk, cukup Allah menjaga kita bersama.”
Azhar lalu menarik tangan istrinya, mengajaknya duduk di tepi ranjang.
“Sayang, sebentar lagi adzan maghrib. Bagaimana kalau kita shalat berjamaah dulu? Aku ingin jadi imam untukmu, bukan hanya dalam shalat, tapi juga dalam hidup.”
Nisa menatapnya penuh cinta, senyumnya merekah di sela air mata.
“Mas… kalimatmu itu yang paling romantis. Aku nggak butuh hadiah mahal, cukup Mas selalu jadi imamku dunia akhirat.”
Azhar mengusap rambutnya, lalu berdiri menyiapkan mukena untuk Nisa.
“Aku janji, Na. Selama Allah masih beri aku napas, aku akan selalu jaga kamu, bahagiakan kamu, dan tuntun kamu. Aku ingin kita berdua masuk surga bersama. Itu cita-cita terbesarku.”
Nisa mengangguk, hatinya luluh sepenuhnya. Ia mendekap Azhar sekali lagi sebelum bersiap menunaikan shalat berjamaah. Senja di luar semakin indah, tapi tak seindah rasa syukur yang mereka rasakan di dalam kamar itu.
Azhar merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan, lalu menatap lembut ke arah wajah Nisa.
“Nisa… kamu tahu nggak? Sejak Allah mempertemukan aku denganmu, rasanya hidupku benar-benar lengkap. Aku seperti menemukan rumah yang selama ini hilang. Rumah itu ada di dalam pelukanmu.”
Mata Nisa langsung berkaca-kaca mendengar kalimat itu. Ia menggenggam jemari suaminya erat-erat.
“Mas… jangan bilang begitu. Aku yang harusnya berterima kasih. Allah kasih aku kesempatan kedua, kasih aku suami yang begitu sabar dan penuh cinta. Aku dulu sering takut kalau aku nggak pantas untuk Mas. Tapi Mas selalu bikin aku merasa berharga.”
Azhar tersenyum, lalu mengusap pipi istrinya dengan ibu jarinya.
“Kamu itu hadiah terindah dari Allah buat aku, Na. Kamu bukan cuma pantas… kamu yang terbaik untuk aku. Aku nggak pernah ragu.”
Nisa menundukkan kepala, air matanya menetes pelan.
“Mas, aku cuma gadis desa yang nggak punya apa-apa. Tapi Mas selalu menatapku seakan-akan aku ini segalanya. Sungguh aku bersyukur semoga Allah selalu menjaga kamu untukku.”
Azhar mengangkat dagu Nisa agar kembali menatapnya.
“Dengar baik-baik ya, Nisa. Kamu itu bukan sekadar gadis desa. Kamu cahaya dalam hidupku. Kalau aku pulang kerja, yang aku cari itu bukan harta, bukan tahta tapi senyummu. Kamu tahu? Senyummu itu bisa menghapus semua lelahku.”
Nisa tersenyum di sela tangisnya. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke dada bidang suaminya, mendengar detak jantung yang terasa begitu menenangkan.
“Mas, jantungmu berdetak kencang… apa karena aku?” godanya sambil tersipu.
Azhar terkekeh pelan, memeluknya lebih erat.
“Tentu saja karena kamu. Setiap dekat kamu, jantungku selalu berdebar. Padahal kita sudah menikah setengah tahun. Tapi rasanya kayak baru kemarin aku melamarmu.”
Nisa menghela napas panjang, menatap ke arah jendela yang masih terbuka, melihat cahaya oranye senja yang mulai digantikan oleh temaram malam.
“Mas… aku ingin sekali, kelak kita bisa tua bersama. Rambutku memutih, keriput mulai menghiasi wajahku, tapi Mas tetap ada di sampingku. Jangan pernah tinggalkan aku ya, Mas.”
Azhar mengecup kening istrinya dengan penuh kelembutan.
“Aku janji, Nisa. Aku akan ada di sisimu, di setiap langkahmu. Bahkan kalau suatu hari aku nggak ada lagi di dunia ini, doaku akan selalu menyertaimu. Kamu nggak akan pernah sendirian.”
Tangis Nisa pecah. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan, sementara Azhar dengan sabar menarik tangannya lalu mengecup air mata yang jatuh di pipinya.
“Jangan menangis, sayangku. Air matamu terlalu berharga. Aku ingin melihatmu tersenyum, karena dengan senyummu… aku bisa kuat menghadapi apa pun.”
Nisa terisak dalam pelukan Azhar.
“Mas… aku takut kehilanganmu. Aku takut Allah mengambilmu dariku terlalu cepat.”
Azhar menenangkannya dengan usapan di punggungnya.
“Shhh… jangan takut, Na. Selama kita berpegang teguh pada Allah, kita nggak akan pernah benar-benar berpisah. Cinta yang dibangun karena Allah, akan abadi, bahkan sampai di surga nanti. Percayalah, kita akan bersama-sama di sana.”
Nisa mengangguk pelan, hatinya luluh penuh syukur. Ia kemudian berbisik dengan suara bergetar.
“Mas… aku mencintaimu karena Allah. Dan aku ingin cinta ini selalu diridhoi oleh-Nya.”
Azhar kembali menatap istrinya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku pun begitu, istriku. Aku mencintaimu karena Allah. Semoga doa kita sama-sama dikabulkan. Dan semoga doa kita malam ini juga mendatangkan rezeki berupa amanah kecil yang akan melengkapi cinta kita.”
Setelah shalat magrib berjamaah, Azhar masih duduk menunduk, memanjatkan doa dalam diam. Nisa menatapnya dengan tatapan penuh haru. Wajah suaminya tampak begitu teduh, seperti lelaki yang Allah titipkan hanya untuknya.
“Mas…” bisik Nisa lirih sambil mendekat.
Azhar menoleh, menatap lembut wajah istrinya. Senyum tipisnya membuat hati Nisa bergetar.
“Kenapa, sayangku?”
Nisa menunduk sebentar, lalu berkata pelan, “Aku nggak tahu bagaimana cara membalas semua kebaikanmu. Yang bisa aku lakukan hanya mencintaimu seutuhnya.”
Azhar terdiam, lalu menggenggam kedua tangan istrinya. Ia mendekatkannya ke bibirnya dan mengecupnya penuh kelembutan.
“Cukup itu saja, Na. Cintamu sudah lebih dari segalanya. Aku tidak butuh apapun, asal kamu tetap di sisiku.”
Nisa menatapnya, mata mereka saling terkunci. Ada getaran yang tak bisa dijelaskan. Perlahan, Azhar mendekatkan wajahnya. Bibir mereka bersentuhan untuk pertama kalinya malam itu, lembut, hati-hati, seolah waktu berhenti.
Nisa memejamkan mata, merasakan hangatnya kasih sayang yang meresap sampai ke relung hatinya. Azhar tidak terburu-buru, ia seakan ingin memastikan setiap hembusan napas mereka menjadi saksi cinta yang suci.
“Mas…” bisik Nisa di sela napasnya. “Aku bahagia sekali.”
Azhar mengusap pipinya, menatapnya dengan penuh cinta.
“Aku juga, Na. Ciuman ini bukan sekadar ciuman, tapi janji… bahwa aku akan selalu menjaga dan mencintaimu, dunia sampai akhirat.”
Nisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia balas mengecup bibir suaminya, kali ini lebih dalam, lebih hangat. Tidak ada kata-kata lagi, hanya keheningan malam dan suara deburan ombak yang menjadi latar.
Perlahan, Azhar membaringkan Nisa di ranjang, tetap menatap matanya. Bukan dengan nafsu, tapi dengan kelembutan yang membuat Nisa merasa begitu berharga. Mereka berdua larut dalam pelukan, dalam kecupan, dalam kebersamaan yang penuh makna.
Malam itu, cinta mereka bersatu. Bukan hanya tubuh, tapi jiwa. Dalam keheningan, mereka saling berjanji dalam hati: cinta ini tidak akan pernah pudar, karena tumbuh atas nama Allah.
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya ada suara deburan ombak dari pantai di luar sana yang menemani. Malam itu, di kamar resort yang menghadap laut, mereka saling berjanji dalam hati untuk terus menjaga cinta, iman, dan kebersamaan hingga akhir hayat.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor