“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.22
Setelah puas bermain air, Vio akhirnya terlelap usai dibersihkan Daisy dan menyusu. Kini, Damian dan Daisy duduk di meja makan bersama Niklas dan Jasmin. Sesekali Daisy melirik ke arah putrinya yang tertidur pulas di ruang sebelah. Rasa syukur memenuhi dadanya—tak pernah ia bayangkan bisa sampai di titik ini, dikelilingi cinta dan keluarga.
Di seberangnya, Jasmin makan lahap. Kehamilannya membuat nafsu makannya meningkat, membuat Daisy tersenyum kecil. Kalau saja aku tak mengulang waktu, batinnya, mungkin dia takkan melihat momen ini. Bahkan mungkin Jasmin ibunya tak punya kesempatan menimang anak lagi.
“Mom, adikku nanti laki-laki atau perempuan?” tanya Daisy, matanya berbinar.
“Belum tahu,” jawab Jasmin sambil tersenyum. “Bulan depan Mommy baru periksa jenis kelamin.”
“Apapun itu, Daddy akan selalu bersyukur,” sahut Niklas mantap.
Jawaban itu menghangatkan hati Daisy. Tatapannya beralih ke Damian, yang membalas dengan senyum lembut. Tiba-tiba sebuah ide melintas.
“Mom, Dad… aku titip Vio sebentar ya. Aku mau nge-date sama suamiku.”
“Engg…” Jasmin refleks hendak menolak, namun Niklas lebih cepat.
“Boleh. Asal tahu waktu,” katanya sambil terkekeh.
“Dad!” Jasmin memprotes.
“Sayang, biarkan anak dan menantu kita honeymoon sebentar. Kasihan, mereka belum sempat benar-benar menikmatinya.”
Daisy tertawa mendengar celetukan itu, sementara Damian menimpali sopan, “Kalau Mommy tidak izinkan, kami bisa bawa Vio.”
“Nggak, jangan. Kasihan Vio kena angin. Lebih baik kalian berdua saja.”
Daisy langsung mengacungkan jempol dengan mata berbinar bahagia.
“Oke!”
*****
Sore itu, setelah memastikan Vio nyaman bersama kakek dan neneknya, Daisy mengganti pakaian dengan gaun pastel sederhana. Rambutnya diikat setengah, wajahnya dipoles tipis. Damian yang menunggunya di ruang tamu sempat tertegun.
“Cantik sekali,” ujarnya tulus.
Daisy terkekeh, berusaha menutupi rasa malu. “Ah, kamu bisa aja. Aku cuma dandan biasa.”
“Kalau ini biasa, aku nggak sanggup bayangkan kamu kalau serius,” balas Damian sambil meraih tangannya. “Ayo, nanti keburu gelap.”
Tanpa berpamitan pada Vio—takut luluh jika sang bayi menangis—Daisy berjalan bersama Damian menuju pantai dekat hotel. Tangan mereka saling menggenggam erat.
Begitu tiba di tepi pantai, Daisy tertegun. Langit sore berwarna jingga keemasan, ombak berpadu angin laut menciptakan harmoni tenang.
“Indah sekali…” gumamnya kagum.
“Makin malam pasti makin ramai,” ucapnya lagi.
“Apa kita perlu sampai malam?” tanya Damian.
“Kasihan Vio kalau terlalu lama.”
“Ya sudah, sampai jam delapan saja.”
“Oke, setuju!” seru Daisy riang.
Mereka duduk di pasir. Daisy menatap langit, lalu berbisik, “Aku bahagia banget. Dulu aku nggak pernah membayangkan bisa duduk di sini, bersamamu, dengan status kita yang sah. Dan Vio… dia hadiah terindah.”
Damian merangkul bahunya. “Aku juga bahagia, Sayang. Semua terasa lengkap karena ada kamu.”
Ia menangkup wajah istrinya. “Kalau waktu bisa berhenti, aku ingin menghabiskannya dengan menatapmu.”
Daisy menertawakan gombalan itu, tapi pipinya memerah. Mereka pun larut dalam keheningan, menikmati deburan ombak.
****
Senja berganti malam. Damian mengajak Daisy makan malam di rumah makan pinggir pantai. Lampu bohlam kuning tergantung di atas meja kayu, aroma ikan bakar menyebar, suara laut menjadi musik pengiring alami.
“Ya ampun, ini kelihatan enak semua,” ujar Daisy sambil menatap lobster, ikan bakar, dan cumi yang tersaji. “Aku bisa habisin sendiri.”
Damian terkekeh. “Kamu habisin aja. Kalau nggak kuat, aku bantuin.”
Daisy menyuapkan lobster padanya. Damian menelan sambil tersenyum puas.
“Enak banget. Tapi yang bikin lebih manis itu bukan lobsternya, melainkan kamu yang nyuapin.”
“Dasar gombal,” Daisy tertawa kecil, hatinya hangat.
Mereka bergantian saling menyuapi, hingga Damian terpaksa menahan pedas sambal matah. Wajahnya memerah, membuat Daisy terpingkal.
“Kenapa sih kamu suka lihat aku menderita?” Damian pura-pura kesal.
“Soalnya kamu lucu kalau kepedasan,” Daisy menyodorkan es kelapa muda.
Malam makin larut, tapi suasana justru semakin intim. Di bawah langit bertabur bintang, mereka tidak hanya menikmati makanan laut, melainkan juga kebersamaan yang terasa sempurna.
Daisy bersandar di bahu suaminya. “Andai setiap hari bisa begini, pasti indah sekali.”
Damian mengecup pucuk rambutnya. “Kita akan ciptakan hari-hari indah sebanyak mungkin. Mulai dari sini, di Bali.”
Menjelang pukul delapan malam, mereka bangkit berdiri. Damian menggenggam tangan Daisy erat.
“Ayo pulang. Vio pasti sudah mencari Bunda dan Ayahnya.”
Daisy tersenyum bahagia. “Iya, mari pulang ke rumah kecil kita di hotel.”
Lampu-lampu jalanan Bali mulai menyala, menambah semarak malam. Tapi di hati Daisy, hanya ada ketenangan. Liburan ini bukan sekadar perjalanan—melainkan awal dari banyak kenangan indah yang akan mereka ciptakan bersama.
Bersambung ....