Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09 - Balas Dendam
Anya memandangi Aiden dengan mulut terbuka. Ia yakin ada yang salah dengan pendengarannya. Atau mungkin... ia sedang berhalusinasi? Sepertinya ia terlalu lelah hari ini sampai-sampai otaknya tak bisa bekerja dengan normal. Bagaimana mungkin Aiden melamarnya?
Ia menggaruk kepalanya meski tidak gatal. Rasanya bodoh sekali membayangkan bahwa pria tampan, super kaya, dan misterius itu baru saja melamarnya.
Aiden mengamati setiap gerak-gerik Anya, menanti reaksinya. Tapi sepertinya Anya tidak benar-benar mendengar ucapannya atau lebih tepatnya, tidak percaya. Maka Aiden memutuskan untuk memperjelas ucapannya sekali lagi.
"Menikahlah denganku, dan aku akan membantumu." ucap Aiden tegas untuk kedua kalinya.
Barulah saat itu Anya menyadari bahwa ia tidak salah dengar. Aiden benar-benar melamarnya!
"Tapi... tapi..." Anya tergagap. Ia tidak menyangka sama sekali akan mendengar kalimat seperti itu hari ini, sehingga ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mulutnya terbuka, menutup, lalu terbuka lagi. Namun, tak ada kata yang berhasil keluar.
Setelah yakin Anya memahami maksudnya, Aiden diam. Ia menunggu sampai Anya bisa mencerna semua ini. Ia tahu, lamaran yang datang tiba-tiba seperti ini jelas mengejutkan bagi Anya.
Sementara itu, Anya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia benar-benar kalut. Seolah Aiden baru saja menjatuhkan ombak besar yang menghancurkan isi kepalanya.
Ia mencoba menebak-nebak isi pikiran pria di depannya. Tapi tetap saja, ia tak bisa memahami apa alasan di balik lamaran ini. Ia memang datang untuk meminta bantuan, tapi ini bukan bantuan yang ia bayangkan. Apa sebenarnya maksud pria ini?
"Kenapa kamu melamarku?" tanyanya akhirnya.
Sebenarnya, Aiden sendiri tidak sepenuhnya tahu kenapa ia mengajukan lamaran seperti ini. Yang ia tahu, ia hanya ingin melindungi Anya. Ia tidak ingin ada orang lain yang menyakitinya. Ia ingin memastikan bahwa Anya aman dan satu-satunya tempat yang aman adalah bersamanya.
Tapi ia tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Apalagi Anya tidak ingat apa pun. Maka ia memilih menyimpan semuanya dalam hati. Ia satu-satunya yang tahu... dan merasakannya.
Karena Aiden tak kunjung menjawab, Anya kembali berkata,
"Tapi pernikahan itu sesuatu yang sakral. Bukan sesuatu yang bisa dijadikan permainan."
"Aku tidak sedang bermain," jawab Aiden datar.
"Aku ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi semalam," lanjutnya. Hanya kejadian malam itu yang bisa ia gunakan sebagai alasan.
Mengingat kejadian itu, wajah Anya langsung memerah. Padahal, semua itu kesalahannya. Dialah yang masuk ke kamar orang lain dan memohon bantuan di bawah pengaruh obat yang Natali berikan. Tapi Aiden... justru ingin bertanggung jawab atas semua yang terjadi.
"Itu bukan salahmu..." bisik Anya pelan, "Semua ini karena..."
Kalimat itu terputus. Anya menunduk. Ia tahu bahwa semua ini terjadi karena Natali, tunangan Aiden sendiri. Tapi bagaimana mungkin ia memberitahu Aiden bahwa orang yang menjebaknya adalah wanita yang akan ia nikahi?
Aiden melirik Anya yang tiba-tiba diam dan tak menyelesaikan kalimatnya. Ia tahu apa yang Anya pikirkan. Gadis itu terlalu baik, terlalu lembut. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun termasuk Aiden. Anya tak berani mengatakan kebenaran karena takut Aiden akan terluka.
"Aku yakin kamu tahu siapa yang melakukannya." kata Aiden.
Anya mendongak, menatap wajah Aiden yang tetap tenang. Ia langsung mengerti: Aiden tahu.
"Kamu tahu kenapa Natali melakukan ini? Dia tunanganmu. Kenapa dia menjebak tunangannya sendiri?" tanyanya lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu terus menghantuinya sejak awal, tapi tak pernah mendapat jawaban.
"Aku tahu." jawab Aiden singkat.
Mata Anya membelalak. Aiden tahu alasan Natali melakukan semua ini!
Ia menunggu lanjutan penjelasan dari Aiden, tapi pria itu tidak berniat menjelaskannya.
"Aku bisa bantu bayar seluruh biaya rumah sakit ibumu. Aku juga bisa bantu kamu... membalas orang yang melakukan ini padamu." ucap Aiden mantap.
Anya terdiam. Balas dendam…
Tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk membalas. Ia hanya datang ke rumah Natali untuk meminta penjelasan, bukan balasan. Ia menemui Aiden karena ingin minta tolong, bukan ingin menghancurkan orang lain.
Tapi bayangan perlakuan Natali muncul lagi. Bagaimana Mona memukulinya habis-habisan tanpa memberi kesempatan membela diri.
Bagaimana namanya dihancurkan di media. Dicap sebagai wanita murahan. Dituduh merebut tunangan orang.
Semua itu... tidak adil. Ia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.
Apakah ia ingin membalas dendam?
"Tapi aku..." Anya masih ragu. Pernikahan bukan perkara kecil. Itu bukan alat balas dendam. Itu adalah janji seumur hidup. Dan yang lebih buruk, ia bahkan tidak mencintai Aiden.
Apakah semua ini layak dibayar dengan kebebasannya?
Aiden bisa melihat jelas keraguan di wajah Anya. Ia tahu, Anya bimbang karena harus menikah dengan pria yang bahkan tidak ia kenal. Ia tahu Anya tidak mencintainya.
Namun justru itulah yang meyakinkan Aiden bahwa Anya tidak berpura-pura. Ia benar-benar tidak mengingat apa pun tentang dirinya.
Ia akan menyuruh Harris menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi hingga Anya bisa melupakan dirinya sepenuhnya.
"Pilihan ada di tanganmu," kata Aiden akhirnya.
Ia tidak memaksa Anya untuk langsung setuju. Ia tahu sikapnya yang mendominasi bisa membuat gadis itu takut. Ia tidak ingin membuat Anya lari darinya.
Namun tetap saja, ia tidak memberi pilihan lain. Aiden tahu Anya butuh bantuan, dan satu-satunya jalan keluar adalah melangkah ke dalam hidupnya.
Anya menatap mata Aiden, mencoba mencari tahu isi hati pria itu. Tapi tatapan Aiden begitu tenang, tak terbaca. Ia tak tahu apa maksud sebenarnya dari semua ini. Pria ini terlalu misterius.
Hening menyelimuti ruangan. Mereka saling diam, saling menatap, dan terjebak dalam pikiran masing-masing.
Anya tahu… ia tak punya pilihan lain. Hanya Aiden yang bisa membantunya membayar biaya rumah sakit ibunya.
Ia sangat membutuhkan bantuan ini.
Tapi… haruskah ia menikah dengan pria yang tidak ia cintai hanya demi uang?
“Apa aku harus menikahi pria ini?”
Pertemuan ini adalah kali kedua antara Anya dan Aiden. Mereka tidak saling mengenal, bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. Bisa dibilang, mereka masih orang asing satu sama lain.
Anya tidak tahu apa pun tentang Aiden. Ia tidak tahu latar belakangnya, keluarganya bahkan siapa dia sebenarnya. Ia tidak tahu seperti apa sifat asli Aiden. Bagaimana jika pria ini bukan orang baik?
“Tapi... kita bahkan tidak saling mengenal. Kenapa kamu ingin menikah denganku?” tanya Anya lirih, tak berani menatap langsung ke mata Aiden.
Aiden mencoba menahan rasa kesal di hatinya. Ia tidak suka ketika wanita di depannya itu tidak mengingatnya.
“Kamu butuh bantuanku, dan aku punya rencana sendiri. Itu cukup jadi alasan, kan?” jawab Aiden tenang.
Rencana? Rencana apa maksudnya?
“Rencana apa?” Anya bertanya balik, penasaran.
Aiden menatap lurus ke arahnya, tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mulutnya rapat, seolah menolak memberi tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan.
Mungkinkah... Aiden ingin balas dendam pada Natali? Karena tunangannya sendiri mengkhianatinya? Apakah pernikahan ini adalah bentuk perlawanan terhadap pengkhianatan itu?
Anya ragu. Ia sebenarnya enggan menikahi seseorang yang tidak ia cintai. Tapi... apakah ia punya pilihan lain? Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibunya.
Ia menunduk di bawah tatapan Aiden. Tangannya gelisah di pangkuan. Matanya tampak panik, wajahnya sedikit pucat. Ia benar-benar bingung.
“Baiklah... aku bersedia menikah denganmu.”
Akhirnya Anya memutuskan.
Ada sesuatu yang terasa menyesakkan di dadanya saat mengucapkan kata-kata itu. Ia tahu, ia baru saja menyerahkan kebebasannya pada pria asing. Tapi di saat yang sama, ia merasa sedikit lega. Beban berat yang selama ini menghimpit pundaknya terasa mulai terangkat. Setidaknya, sekarang biaya rumah sakit ibunya tidak perlu lagi ia pikirkan.