Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10. Perang Urat Syaraf
Bel berbunyi nyaring, tanda jam pelajaran pertama segera dimulai. Suasana kelas 12A masih riuh dengan obrolan, tapi langsung berubah hening ketika pintu diketuk.
Kepala sekolah masuk dengan wajah serius, diikuti guru wali kelas. Semua siswa refleks berdiri memberi salam.
Pak Kepala Sekolah menatap ke seisi kelas, lalu mengangguk singkat.
“Anak-anak, hari ini saya umumkan siapa yang akan mewakili sekolah kita dalam lomba pidato bahasa Inggris dan olimpiade matematika tingkat nasional,” ujarnya tenang, tapi suaranya cukup membuat jantung banyak siswa berdegup lebih cepat.
Suasana seketika menegang beberapa siswa langsung saling berbisik.
“Fix, pasti antara Naina atau Rubi lagi,” celetuk seorang cowok berkacamata.
“Ya iyalah, siapa lagi yang bisa saingan? Dua singa betina kelas ini,” timpal yang lain sambil menahan senyum.
Rubi duduk tegak, kedua tangannya terlipat di atas meja, senyum tipis tersungging di wajahnya.
Sorot matanya berkilat penuh percaya diri, seakan trofi sudah ada di tangannya.
Naina di sisi lain, bersandar sedikit ke kursi, matanya lurus menatap ke depan, bibirnya rapat tapi jemari tangannya mengetuk pelan meja tanda ia sedang menahan ketegangan.
Pak Kepala Sekolah membuka map biru di tangannya. “Untuk lomba pidato bahasa Inggris jatuh pada Rubi.”
Seisi kelas langsung riuh. Ada yang bersorak, ada yang hanya mengangguk sudah bisa menebak.
Rubi tersenyum lebih lebar, menoleh sebentar ke arah Naina, lalu kembali menatap ke depan seolah kemenangan itu sudah takdir.
Naina menahan napas. Dadanya terasa sesak, tapi wajahnya tetap datar. Salsabila melirik sahabatnya itu, berbisik pelan, “Sabar, Na.”
Pak Kepala Sekolah melanjutkan, “Sedangkan untuk olimpiade matematika akan diwakili oleh Naina.”
Kali ini giliran Naina yang menjadi pusat perhatian. Beberapa teman langsung bersiul kecil.
“Wih, imbang lagi. Satu pidato, satu matematika,” ucap seorang siswi di barisan belakang.
“Ini sih bakal makin panas persaingannya,” imbuh yang lain sambil menahan tawa.
Rubi melirik sekilas, senyumnya menghilang digantikan sorot dingin. Naina menegakkan tubuhnya, menatap balik dengan tatapan tajam. Sekilas saja, tapi cukup membuat suasana kelas kembali tegang.
Pak Kepala Sekolah menutup map. “Saya harap kalian berdua membawa nama baik sekolah dengan hasil terbaik. Persiapkan diri, waktu kita tidak banyak.”
Setelah beliau pergi, kelas kembali riuh dengan bisik-bisik, sebagian siswa malah terang-terangan menatap dua rival abadi itu.
Aura panas memenuhi ruangan, membuat semua orang yakin kalau persaingan ini bukan hanya soal lomba, tapi juga soal harga diri yang jauh lebih dalam.
Jam istirahat, kantin ramai oleh suara gelas beradu dan tawa siswa. Tapi di kelas 12 A justru sunyi.
Kursi-kursi kosong, hanya tersisa dua sosok yang duduk berseberangan antara Naina dan Rubi.
Rubi menutup bukunya dengan keras, lalu berdiri. Tatapannya menusuk, penuh api.
“Kamu boleh nikah sama papaku, tapi jangan harap aku kasih restu. Aku bakal bikin hidupmu sengsara kayak di neraka!” serunya, suaranya tajam membelah keheningan.
Naina menoleh perlahan. Ia tidak kaget, tidak goyah. Bibirnya melengkung tipis, senyum sinis tapi terkontrol.
“Rubi, aku nggak pernah minta restu kamu. Kalau kamu mau perang, silakan. Aku udah biasa hadapin orang yang lebih kejam dari kamu,” balasnya datar namun elegan.
Rubi mendengus, matanya membesar. “Kamu pikir aku main-main? Aku bakal pastiin tiap hari kamu nyesel udah jadi bagian keluarga ini,” imbuhnya penuh emosi.
Naina berdiri dari kursinya, langkahnya tenang mendekat. Matanya menatap lurus, suaranya rendah tapi jelas menusuk.
“Kalau hidupku sengsara karena pilihan sendiri, aku terima. Tapi kalau kamu pikir bisa jatuhin aku pakai kebencian, kamu salah besar. Aku nggak hidup buat cari pengakuan kamu, Rubi.”
Keduanya kini hanya berjarak satu meja. Aura panas di antara mereka makin terasa, meski suara mereka tak lagi lantang.
Naina menambahkan dengan senyum miring, “Kamu bisa anggap aku musuh, bisa anggap aku pengganggu. Tapi jangan lupa aku juga nggak pernah takut kalau harus berhadapan sama kamu. Bahkan kalau itu berarti setiap hari.”
Rubi terdiam sepersekian detik, wajahnya menegang, lalu berbalik dengan tatapan dingin yang jelas-jelas menyimpan dendam.
Keheningan kembali menyelimuti kelas. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seperti menghitung waktu menuju ledakan perang berikutnya.
Panasnya udara di kelas 12 A masih terasa. Naina dan Rubi berdiri berhadapan, tatapan mereka tajam seperti dua mata pisau yang siap menusuk. Namun tiba-tiba, suara langkah tergesa terdengar di luar.
Pintu kelas berderit, dan muncullah Salsabila dengan wajah cerah sambil membawa kotak jus.
“Eh kalian berdua ngapain diem-dieman di kelas? Kok suasananya tegang banget?” ujarnya, heran, matanya bergantian menatap Naina dan Rubi.
Sekilas, wajah Naina berubah tegang. Rubi pun kaget, hampir saja kata pernikahan meluncur dari mulutnya.
Namun dalam sepersekian detik, keduanya sama-sama pintar menutup rahasia.
Rubi menegakkan bahunya, lalu tersenyum miring. “Biasa, Salsa. Aku lagi nasehatin Naina biar jangan sok jago terus di kelas. Kan nggak enak kalau aku kalah ranking lagi,” imbuhnya dengan nada seolah bercanda, meski matanya masih menusuk.
Salsabila mengernyit, menatap Naina. “Serius cuma soal ranking? Kok auranya kayak kalian habis berantem besar.”
Naina menarik napas panjang, lalu melirik Rubi sekilas. Senyum tipis ia paksakan di wajahnya.
“Tenang, Salsa. Nggak ada yang aneh. Aku sama Rubi emang kayak Tom & Jerry, ribut-ribut kecil udah biasa,” ucapnya sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
Salsabila masih curiga, sorot matanya mencari celah. “Yaudah, kalau gitu jangan sampe kebawa serius. Aku nggak mau liat kalian musuhan sampe lulus,” katanya sambil duduk di kursinya.
Rubi langsung berbalik, pura-pura membuka buku pelajaran. Naina duduk kembali di samping Salsa, wajahnya datar tapi hatinya berdegup kencang. Hampir saja rahasia gila itu terbongkar.
Salsabila mengisap jusnya pelan, masih menatap aneh pada kedua sahabat-rival itu.
“Kalian aneh banget, sumpah. Kayak lagi nyimpen rahasia besar.”
Naina menahan napas, menunduk pura-pura sibuk membuka buku. Rubi menghela nafas panjang, lalu menutup wajahnya dengan rambut panjangnya.
Tak ada yang tahu, bahkan sahabat terdekat sekalipun, bahwa yang sebenarnya sedang dipertaruhkan jauh lebih dari sekadar ranking, tapi masa depan, keluarga, dan perang rahasia antara calon ibu dan anak sambung.
Kelas 12 A masih lengang, hanya tiga orang di dalam yaitu Rubi yang pura-pura sibuk menulis, Naina yang menekuni buku tanpa benar-benar membaca, dan Salsabila yang baru saja duduk sambil menyeruput jusnya.
Sunyi itu pecah ketika Salsabila menatap Naina penuh rasa ingin tahu.
“Tapi, aku dengar tadi ada yang nyebut soal nikah?” tanyanya polos, matanya bulat menyelidik.
Naina sontak terdiam. Tangannya berhenti membalik halaman, jantungnya berdetak lebih keras. Ia melirik sekilas ke arah Rubi yang langsung menutup buku dengan bunyi gedebuk, seolah ingin mengalihkan perhatian.
“Oh itu,” Rubi menyahut cepat, senyum miring terpasang. “Tadi aku cuma ngejek Naina. Soal dia jago debat, ngomongnya kayak orator mau akad nikah aja.” Ucapnya enteng, padahal nadanya sinis.
Salsabila menoleh cepat ke Naina, seakan minta klarifikasi. “Serius? Aku kira beneran. Tadi suaranya kedengeran kayak ada ancaman segala.”
Naina menegakkan badan, memaksakan tawa kecil. “Ya ampun, Salsa. Kamu gampang banget kepancing. Nggak ada yang nikah, lagian aku masih kelas 12, masa iya tiba-tiba ngomongin kawin? Gila kali,” imbuhnya sambil menepuk bahu sahabatnya itu.
Salsabila mengerucutkan bibir, masih setengah tak percaya. “Hm… yaudah deh. Tapi sumpah auranya kalian tadi beda. Serem banget, kayak bukan cuma soal ranking.”
Naina buru-buru menutup buku, meraih kotak jus dari meja Salsa, lalu meneguk sedikit.
“Udah ah, jangan drama. Fokus aja ke ulangan minggu depan. Kalau aku beneran mau nikah, kamu orang pertama yang aku kasih tahu, tenang aja.”
Salsabila terkekeh, meski wajahnya masih menyimpan rasa penasaran. Ia tidak tahu bahwa kalimat bercanda Naina barusan sebenarnya nyaris menjadi janji yang tak bisa ditepati.
Rubi menunduk, menahan senyum dingin dalam hatinya ia berpikir.
“Selamat, Na. Kali ini kamu lolos. Tapi aku janji, cepat atau lambat semua orang bakal tahu.” batinnya Rubi.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺