NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:358
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu, Aku tidak mengerti bagian ll

......................

Setelah itu, ayah pergi dengan cintanya dan aku hidup bersama istriku, di sebuah kota.

Kini aku diam di sebuah ruangan. Aroma minuman keras bergema menarikku untuk meminumnya lagi. Aku suka meminumnya. Aku merasa senang dan merasa menjadi manusia ketika melakukannya. Inilah alasanku sama halnya dengan ibu. Ibu, bukankah kamu juga memiliki alasan untuk bertahan sejauh itu? Hingga serpihan jiwa terakhirmu pun hilang?

Aku bersandar di dinding dingin yang terasa hangat. Meminum alkohol layaknya orang gagal. Aku bukan orang gagal dan menurut orang-orang memang seperti itu.

Dalam ruangan kecil ini, ada banyak hal yang bisa di pandang. Ada lukisan yang tidak pernah diperhatikan tapi sebagai pelengkap. Televisi kuno ada di meja. Vas bunga kecil berbunga merah ada di sudut ruangan yang di selimuti kain putih. Tidak ada sofa, tapi kami tidak butuh itu. Kemudian ada asbak.

Ini yang aku suka. Asbak itu selalu penuh ketika aku merasa sedang buruk. Aku senang melihat tumpukan abu rokok di dalamnya, apalagi saat menumpuk, seperti gunung.

Rara Santi tidak menyukainya dan aku tertawa melihat ekspresinya yang jengkel. Sebenarnya, dia tidak peduli dengan aku merokok atau tidak, tapi dia tidak suka debu rokok yang menumpuk hingga tumpah.

Dia memperingati beberapa kali. Aku menurut saja. Tidak ada yang bisa mengurusku dengan baik selain dia.

Aku tidak mencintainya, bahkan aku lebih suka ibu guru cantik Kirana yang aku temukan saat aku sekolah dulu. Jika aku menceritakannya akan memperlihatkanku sebagai pria buruk dan penuh kejahatan, sementara Lara santi seperti tokoh protagonis yang akan mendapatkan pria idaman yang baik dan menyayanginya. Namun ini bukan sinetron seperti itu, dan kami tetap bersama meski banyak hal yang terjadi.

Ada pohon bambu di luar yang menyanyi. Itu karena daun-daun bambu itu atau angin yang melewatinya? Jelas sekali itu karena keduanya. Nyanyian itu bersatu dan berpasangan, tidak akan terpisahkan meskipun yang satunya terlihat dan satunya lagi tidak. Kehidupan kami sama halnya dengan nyanyian bambu itu. Aku ingin menulis judul tulisan ini dengan nama itu. Nyanyian bambu di sore hari atau nyanyian bambu di bawah senja.

Aku mengambil minumanku dan mendekati jendela.

Ini rumah sederhana yang hening meskipun ada di kota. Ada rumpun bambu yang melepaskan daun-daunnya. Dia melambai kepadaku. Aku merasa tersinggung. Aku tidak mau. Kemudian aku melihat beberapa natang bunga Asoka kuning di dekat pagar. Akan jauh lebih indah saat aku memandangnya ketika hujan.

Aku pernah bertanya kepada santi, apa menyukai bunga itu saat kekeringan atau kehujanan.

“Aku suka keduanya,” jawabnya dengan mantap waktu itu.

Cahaya lembut pagi bersinar, membelai pipi kanannya dengan lembut, membuatnya yang ekspresi kekanak-kanakan itu tampak seperti kembang bunga. Aku tidak berbohong, dia benar-benar cantik, kalem dan kekanak-kanakan. Mungkin karena sikap itulah, dia bertahan bersamaku.

Namun dia juga sering marah ketika aku pulang larut malam; ketika aku mabuk-mabukkan. Dia pernah melempar selimut kepadaku saat aku tiba di rumah.

Dengan wajahnya yang terlihat seperti anak kecil menyemburku.

“Kau sepertinya sangat suka di luar, kenapa tidak sekalian saja tidur diluar!”

Dia pergi membanting pintu.

Saat itulah aku harus berubah untuk bisa selalu bersamanya. Jika aku bodoh, dan dia pergi, siapa yang akan mengurusku untuk hal yang lainnya?

Aku bertanya lagi kepadanya, dia lebih menyukai warna merah atau kuning yang ada di depan kami saat itu.

“Tentu saja keduanya juga.”

“Kau harus memilih.”

“Kau jahat sekali. Aku tidak mau. Aku lebih suka keduanya. Menurutmu, kamu akan memilih yang mana? Merah atau kuning?”

“Kuning.”

“Itu emas. Ya, aku tahu, kamu suka emas.”

“Kau tidak suka emas?”

“Aku lebih suka pada apa yang bisa dilakukannya.”

“Aku juga begitu.”

“Maksudku...”

Dia menahan dan tidak lanjut berbicara. Menghela nafas dan pergi untuk mengeluarkan barang-barang kami.

Dia mungkin punya pemikiran yang tidak mau di bicarakan.

Menurutku, bunga Asoka kuning itu seperti mahkota dan karena sering berbunga sepanjang tahun, aku memberinya nama kembang mahkota sepanjang tahun.

Kemudian ada kolam batu kecil di sebelahnya. Lalu pintu gerbang di buka, seorang wanita berusia tiga puluh tahun menenteng tas, tersenyum kepadaku dan mengangkatnya.

“Aku membeli makanan untuk makan malam kita.”

Aku tidak tersenyum tapi dia selalu tersenyum kepadaku. Ini bukan cinta bertepuk sebelah tangan, tapi seorang pelukis yang mencoba melukis dalam kanvas kusam yang sulit di lukis. Aku kanvas itu dan wanita itulah senimannya.

Cinta kami, seperti yang aku katakan sebelumnya— menurutku aneh.

Dia lalu masuk, pergi ke dapur dan mulai memasak.

Tidak sampai satu jam, dia berteriak, “Cahaya kecil, makanannya sudah selesai.”

“Ya!”

Aku benci di panggil seperti itu, dan tidak lama suara tawa cekikikan yang di tahanan terdengar. Sebenarnya aku tidak tersinggung, tapi itu membuatku teringat dengan mendiang ibuku. Dan ketika dia memanggilku seperti itu, aku seperti di ibaratkan anak kecil yang gemas dan sudah sepantasnya di jahili seperti itu.

Aku pergi ke dapur dan makanan sudah di sajikan. Soup tahu. Kami makan, lalu tidak lama suara telepon berbunyi.

“Biar aku angkat.”

Dia berdiri, membersihkan tangannya lalu mengangkat telepon di ruangan tamu. Lalu terdengar dia berkata, ‘Halo, iya, benarkah? Baik, terima kasih.”

Lalu kembali duduk. Wajahnya seperti ada yang menyedotnya saja. Aku tidak tahan dan bertanya kenapa.

“Itu..., Ibu Kirana meninggal.”

Seketika aku berhenti makan. Waktu jelas tidak berhenti. Jangan melebih-lebihkan. Aku hanya teringat dengan hubungan kami ketika muda. Hubungan jika Lara santi tahu, dia akan pergi dan aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi.

“Ada apa?” Lara bertanya.

“Ini kurang garam?”

“Eh, Benarkah? Kau tidak berbohong?”

Dengan segera ia mencicip soupnya dan berpikir sebentar lalu berkata, “Kau pembohong. Tunggu, mungkin adukkannya belum rata.”

Dia mengaduknya dan tidak curiga sama sekali.

Kemudian bambu-bambu di luar berhenti menari-nari, matahari berhenti melakukan tugasnya. Ada patung kuno di depan gerbang, bernaung di bawah pohon rindang kecil yang tidak terlihat. Besok bisa di bicarakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!