"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Bersamamu, Aku Tenang
Serena berdiri di depan gedung apartemen, mengenakan setelan formal berwarna putih. Matanya menatap kosong ke arah jalan yang mulai ramai oleh lalu lintas kendaraan. Di tangannya, ia menggenggam sebuah helm.
Hingga saat ini, perasaan Serena masih dipenuhi amarah. Sisa-sisa kekesalan terhadap Brian belum juga sirna dari benaknya. Ia terus memutar otak, mencari cara terbaik untuk memberi pria itu pelajaran. Sekadar pembalasan kecil sudah cukup memuaskan. Barulah setelah itu, beban di hatinya akan sedikit berkurang.
"Re, ayo naik," suara Brian memecah lamunannya.
Serena mendongak, mendapati Brian sudah berdiri di samping motor hitamnya, mengenakan helm dengan jaket kulit favorit yang membuatnya tampak lebih percaya diri dari biasanya.
Sinar matahari pagi menyapu wajah pria itu, menciptakan bayangan tegas di bawah rahang. Sialnya, Brian terlihat begitu menawan, dan itu hanya membuat Serena salah tingkah.
"Nanti telat kalo kelamaan mikir," sambungnya lagi sambil menepuk jok belakang motor. Tak lupa, ia juga melontarkan seulas senyum yang terkesan jail dan sedikit menggoda.
Serena mendengus kecil, mendekat tanpa berkata apa-apa. Sambil mengenakan helm, ia sempat melirik Brian dari ekor matanya. Brian yang menyadari itu, hanya tersenyum kecil. Terkadang, tingkah Serena yang seperti inilah yang menurutnya tampak menggemaskan.
Begitu Serena sudah duduk di jok belakang, Brian memutar setang motor perlahan, bersiap untuk melaju. Namun sebelum motornya mulai bergerak, ia menoleh sedikit ke belakang.
"Pegangan, Re," pintanya pendek, dengan tiba-tiba menarik tangan Serena dan melingkarkannya di pinggang.
"Eh, apa-apaan sih!" Serena langsung melepaskan pelukannya, sedikit terkejut dengan tindakan impulsif itu.
Brian menoleh dengan ekspresi bingung. "Kenapa?"
"Gak papa," sahut Serena ketus, lalu menyilangkan tangan di dada.
Brian menghela napas, lalu menggeleng kecil tanpa berkata apa-apa. Ia memutar gas, dan motor pun mulai melaju meninggalkan area apartemen.
Angin pagi menyapu wajah Serena dari celah helmnya. Udara segar seharusnya memberikan perasaan tenang pada gadis itu, tetapi ia justru disibukkan dengan lamunannya sendiri; dengan banyaknya skenario kecil untuk membalas dendam pada Brian. Setidaknya, membuat Brian jera untuk terus-terus membuat ulah.
Saking asiknya dengan pikiran sendiri, Serena bahkan sampai tidak menyadari, bahwa mereka berhenti di lampu merah.
"Kamu serius masih mau ngambek sama aku, Tuan Putri?" Brian tiba-tiba mengajak Serena berbincang. Membuat Serena akhirnya segera sadar dari lamunannya.
"Ngapain pake ditanya coba?"
"Aku nanya karena kayaknya kamu kesel banget, sampe gak mau meluk. Mau mampir beli es krim?"
"Gak usah, gak minat, gak lapar juga!"
Brian tertawa kecil. Tingkah Serena yang defensif selalu tampak lucu baginya, meski ia tahu lebih baik tidak memancing amarah gadis itu terlalu jauh. "Baiklah, nanti kita belinya pas udah pulang kerja aja."
"Kan aku bilang gak mau!"
"Ah, masa."
"Diem aja deh! Bikes banget jadi orang!"
Lampu berubah hijau, Brian harus kembali fokus mengendari motornya. Di sepanjang perjalanan, Serena tetap bungkam seribu bahasa. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada perasaan hangat menjalar.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, motor Brian berhenti di depan sebuah gedung kecil dengan papan bertuliskan "Bright Future Learning Center." Serena turun dari motor, kemudian melepas helmnya.
"Semangat kerja, Tuan Putri. Kabari aku nanti kalau udah pulang, ya," kata Brian, masih di atas motor.
Serena hanya mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke gedung. Rasa jengkel yang tadi memenuhi dadanya, kini harus disingkirkan dahulu. Bagaimanapun juga, dia harus bersikap profesional sebagai seorang guru, tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaannya.
***
Di dalam gedung, suasana sudah mulai sibuk. Anak-anak berlalu-lalang. Serena berusaha bersikap seramah mungkin, tersenyum dan menyapa kepala pada siapa saja yang ditemuinya.
Setibanya dii ruang guru, ia mendapati suasana yang masih sama seperti biasanya. Beberapa guru senior sedang berbincang di meja tengah, sementara Serena menuju mejanya yang berada di sudut ruangan. Ia menyalakan laptopnya, dan mempersiapkan materi untuk kelas pagi ini.
Serena dikenal sebagai guru yang pandai dan kreatif dalam mengajar. Tapi, tidak saat bersama dengan guru senior yang lain. Setiap kali mencoba berbaur dengan mereka, Serena selalu merasa terisolasi. Ada banyak batas dan kesopanan yang harus dia junjung tinggi. Itulah alasannya sehingga Serena menjadi lebih banyak diam, bahkan sulit masuk ke dalam percakapan dengan guru senior yang memiliki pengalaman dan usia yang jauh di atasnya.
Tidak mudah memang, namun Serena selalu berusaha melakukan semua yang terbaik, dan sesuai dengan kapasitan kemampuannya. Dia juga tidak menyerah untuk bisa menyesuaikan diri dengan guru lain. Tapi, semua perjuangannya seolah sia-sia ketika ada seorang guru yang tiba-tiba saja memberikan komentar padanya.
"Serena, kamu kok pendiam banget, sih? Jangan terlalu tertutup, lho. Biasanya orang yang terlalu pendiam itu hatinya busuk. Nanti malah jadi berbahaya."
Wanita bernama Della itu sengaja melontarkan komentar demikian dengan niat hanya untuk candaan semata. Tetapi, candaan harusnya bisa membuat dua pihak tertawa, bukan malah dirugikan seperti yang Serena rasakan saat ini.
Serena hanya diam. Dia tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hatinya saat ini dipenuhi dengan badai yang menggebu-gebu. Dia marah, sakit hati dan juga terluka.
Melihat respons dari Serena yang tidak menyenangkan, pun dengan para guru yang tiba-tiba menjadi canggung, Della segera membalikkan keadaan.
"Ah, saya cuma bercanda, kok. Jangan dimasukin hati, ya, Serena," ucapnya demikian.
Serena mengangkat wajahnya perlahan, memaksakan seulas senyum, meski rasanya begitu pahit.
"Iya, Bu. Saya ngerti," jawabnya pelan, lalu kembali menunduk, berusaha menahan diri agar tak meledak saat itu juga.
***
Waktu hari ini terasa jauh lebih lambat bagi Serena. Dia benar-benar dibuat tidak tenang selama seharian, karena terus terganggu oleh perkataan Della yang blak-blakan mengenai dirinya saat makan siang bersama dengan guru lain. Serena tidak tahan lagi, semakin lama dia berada di tempat ini, dadanya semakin terasa sesak. Bahkan ocehan yang dilontarkan oleh Della pagi tadi berhasil membuat harinya menjadi berantakan.
Serena ingin pulang. Pergi sejauh mungkin dari tempat dan orang-orang yang hanya tahu caranya menyakiti.
Ketika waktu kerjanya sudah selesai, Serena buru-buru keluar dari gedung sekolah itu. Begitu sampai di luar, dia menemukan Brian sudah menunggunya di depan.
Tanpa mengatakan apa pun, Serena langsung naik tanpa menggunakan helm terlebih dahulu. Padahal, Brian sudah mengulurkan helm untuk Serena kenakan.
Brian akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah. Serena sedang menahan air matanya.
"Kamu kenapa? Kenapa nangis? Apa kamu masih kesal sama aku?" tanya Brian merasa was-was, takut kalau dialah penyebab Serena hampir menangis seperti ini.
"Aku mau pergi dari sini. Bawa aku pergi dari sini." Pertahanan Serena akhirnya runtuh juga. Dia memohon pada Brian untuk segera pergi, meninggalkan tempat ini.
"Oke, oke. Pake helmnya dulu, ya," ucap Brian sambil membantu Serena memasang helmnya. Setelah helm terpasang dengan benar, Serena segera naik ke atas motor, dan Brian melajukan motornya, perlahan meninggalkan gedung sekolah.
Sesekali, Brian mengintip Serena dari balik kaca spion. Meskipun tak ada suara tangisan yang terdengar, namun Brian menyadari bahwa Serena sedang tidak baik-baik saja.
Melihat minimarket di depan, Brian memutuskan untuk menepi di sana.
"Kita berhenti dulu," kata Brian sambil melepas helm yang melindungi kepalanya. Tak lupa, dia juga membantu melepaskan helm yang Serena kenakan.
Serena mendongak, sedikit kebingungan, karena Brian tiba-tiba berhenti di depan minimarket.
"Ayo turun," titah pria itu sambil mengulas senyum di wajahnya.
Serena tak banyak bertanya. Dia hanya menurut, mengikuti langkah Brian yang sedang menggandeng tangannya.
Saat masuk ke dalam minimarket, Brian langsung menuju lemari pendingin dan mengambil dua botol minuman dingin, yang salah satunya adalah minuman favorit Serena. Ia memilih tempat duduk di depan minimarket, mengajak tunangannya itu untuk duduk di sana.
Begitu mereka sudah duduk di bangku yang tersedia, Brian menyodorkan salah satu botol minuman ke tangan Serena. "Nih, minum dulu. Biar perasaanmu jadi lebih baik."
Serena memegang botol itu, tetapi tidak langsung membukanya. Ia hanya menatapnya dengan pandangan campur aduk, tetapi lebih dominan pada perasaan sedih.
"Jadi," Brian mulai melakukan interogasi, matanya menatap Serena dengan lembut, "kamu masih kesel sama aku?"
Serena menggeleng pelan, meski pandangannya tetap tertuju ke lantai.
"Enggak." Jawaban Serena menyusul, dipenuhi dengan isakan.
Brian tersenyum tipis, merasa lega mendengar jawaban itu. Namun, rasa penasaran masih menggelayuti benaknya. "Kalau bukan karena aku, lalu apa yang membuat tunananganku jadi kayak gini?"
Serena menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. Namun, saat ia membuka mulut untuk berbicara, air matanya jatuh perlahan, mengalir tanpa bisa ia cegah.
"Apa jadi orang pendiam memang salah?" suaranya bergetar. "Aku pendiam bukan karena tidak peduli dengan sekitar atau dengan orang lain. Aku hanya tidak tahu harus berkata apa, aku nggak tahu harus melakukan apa . Aku takut salah bicara, takut terkesan tidak sopan, mereka lebih tua dariku. Tapi kenapa? Kenapa hanya karena aku diam, dia bilang hatiku akan menjadi busuk?"
Brian tetap diam, membiarkan Serena meluapkan seluruh perasaannya.
"Memangnya salah kalau aku pendiam?" lanjut Serena, suaranya semakin lirih, sementara air matanya mengalir semakin deras.
Akhirnya, Brian tahu titik permasalahannya. Alasan di balik air mata Serena hari ini.
Brian menggeser kursinya, menjadi lebih dekat dengan Serena. Kemudian, tangannya dengan lembut meraih jemari Serena.
"Re, dengerin aku," katanya dengan suara rendah dan penuh perhatian. "Kamu nggak salah. Orang ngomong kayak gitu bukan karena ada yang salah sama kamu. Tapi, emang dasar mereka aja, 'tong kosong nyaring bunyinya'. Jujur aja, nggak ada siapapun yang berhak buat nilai kamu kayak gitu. Kamu itu sempurna. Jadi, kamu nggak perlu dengerin gonggongan mereka yang bicara buruk soal kamu."
"Tapi kenapa, Bi? Apa memang benar, orang yang pendiam kayak aku, bakalan selalu dipandang jelek, cuma karena aku nggak seperti mereka?" tanya Serena lagi. Tatapannya terlihat begitu terpukul. Dia sangat mengharapkan, apa yang akan diucapkan oleh Brian nanti, dapat meringankan perasaannya saat ini.
"Siapa sih yang bilang kayak gitu?! Orang-orang cuma pintar nyari kesalahan aja itu. Kamu perlu tahu, ya. Kamu itu, selain cantik, juga pintar, dan apa pun yang kamu lakukan, kamu selalu membuatku makin suka sama kamu, Re. Kamu itu adalah satu-satunya wanita luar biasa yang aku kenal." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada bercanda, "Selain ibuku, sih."
Serena terdiam, menatap Brian dengan mata yang masih sedikit berkaca-kaca. Tapi pernyataan terakhir Brian membuat bibirnya tertarik ke atas, dan ia mendapati dirinya nyaris tertawa. Ada saja hal yang keluar dari mulut pria itu yang berhasil membuat hatinya terasa lebih ringan.
"Terima kasih," kata Serena akhirnya, senyum di bibirnya mengembang pelan. "Sekarang perasaanku sudah lebih baik."
Melihat senyum yang akhirnya mengembang di wajah Serena, Brian ikut tersenyum lega. Ia mengulurkan tangannya, mengacak rambut gadis itu dengan lembut.
"Sama-sama, Tuan Putri. Sekarang, habiskan minumanmu dulu. Nanti aku belikan es krim kalau kamu udah nggak nangis lagi."
Serena menggeleng kecil dengan ekspresi lembut yang masih bertahan di bibirnya. Ia menatap Brian sejenak, lalu membuka botol minumannya dan meneguknya perlahan. Saat ia meletakkan botol itu di meja, Brian menatapnya dengan puas.
"Nah, gitu dong. Kan, lebih enak lihat kamu senyum daripada cemberut terus."
"Tapi, kamu yang sering nyari perkara. Ngajakin ribut," protes Serena. Alisnya sampai berkerut karena pura-pura emosi.
Brian tertawa kecil melihat ekspresi Serena yang demikian. "Ya, itu tugas aku. Ayo, lanjut pulang, biar nggak keburu malam."
Setelah selesai menghabiskan minuman yang telah mereka beli, sepasang kekasih itu bangkit dari tempat duduk dan berjalan meninggalkan beranda minimarket. Brian berjalan lebih dulu ke arah motor, menyalakan mesin motor, dan menunggu Serena untuk naik ke jok belakang.
Singkat cerita, motor yang dikendarai Brian kembali melaju perlahan, membawa mereka meninggalkan minimarket dan menyusuri jalanan yang semakin lengang seiring senja merayap menuju malam.
Tak seperti saat berangkat kerja tadi pagi, kali ini Serena memeluk Brian lebih erat. Ada kehangatan yang merayap di dadanya, perlahan menggantikan semua beban dan kesedihan yang sempat memenuhi hatinya selama seharian ini.
Di sisi lain, Brian juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi ia tahu, pelukan erat Serena adalah caranya mengungkapkan terima kasih. Seringai kecil terbit di wajahnya saat ia sedikit mempercepat laju motor, membiarkan angin malam yang terasa menyegarkan menyelimuti mereka, membuat perjalanan ini terasa lebih menyenangkan.
Bagi Serena, momen saat ini begitu sempurna. Meskipun sering kali Brian menjadi sumber kekesalannya, ia juga adalah alasan kenapa Serena tetap bertahan dari kejamnya realitas di dunia ini. Selalu ada sesuatu dalam diri Brian--cara bicaranya, senyumnya yang jahil, atau sikapnya yang tak terduga--selalu mampu mencairkan segala beban di hatinya.
Bersambung
Sabtu, 23 Agustus 2025