Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09. Tata Krama
Pagi itu, gadis itu terbangun dengan napas memburu, mimpi buruk semalam masih membekas. Ia langsung terduduk dan mencengkeram lengan kanannya sendiri, keringat dingin mengalir di pelipis.
Butuh beberapa menit sampai akhirnya napasnya kembali normal. Tanpa alas kaki, ia melangkah pelan ke kamar mandi, menyalakan shower, membiarkan air hangat mengalir membasuh tubuhnya—meski ia tahu, rasa sesak yang mengendap di dada tak akan mudah hanyut begitu saja.
Setelah mandi, ia menarik salah satu gaun dari koper, yang sejak kemarin belum benar-benar ia rapikan. Tatapannya sekilas menuju jam di dinding, sudah hampir waktunya sarapan. Tanpa banyak pikir, ia membuka pintu dan melangkah turun ke ruang makan.
“Eh, Kak, udah bangun ya?” Elena melangkah mendekat, senyumnya tampak ramah, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang sulit dijelaskan.
“Kebetulan banget, sekarang waktunya makan. Kamu belum tahu ruang makannya di mana, kan? Kalau gitu, biar aku anter ke dapur.”
Tanpa menjawab, gadis itu hanya melirik singkat lalu langsung melangkah ke arah dapur. Ia duduk, menatap salah satu pelayan yang sedang berjaga.
“Lagi nunggu apa?” tanyanya dingin.
Pelayan itu tampak gugup. Ia melirik ke arah Elena, seolah menunggu isyarat. Dalam hatinya, ia tahu mereka seharusnya nggak makan di sini. Tapi suasana yang mendadak tegang membuatnya tak berani bergerak tanpa perintah.
Saat itu juga, langkah kaki terdengar dari tangga. Marvin dan Elmira muncul. Melihat mereka, para pelayan segera menyajikan semangkuk bubur, pangsit udang, dan sup pangsit ke atas meja.
"Kamu bangun pagi banget, sayang. Tidurnya nyenyak semalam?” tanya Elmira, senyum tipis terukir di wajahnya, cukup ramah untuk menyembunyikan niat yang sebenarnya.
“Ya,” jawabnya singkat
Seringai tipis muncul di wajah Elena. Ia memang sengaja mencari celah untuk mempermalukan gadis itu di depan ayahnya.
"Kak, apa kamu tidak bisa menunggu yang lainnya untuk sarapan bersama? Dan kau menyuruh para pelayan untuk melayani mu sendiri disini." Gerutu Elena.
"Elena." Ibunya menyelanya.
“Vilya dibesarkan di lingkungan yang berbeda, kamu nggak bisa langsung menyalahkan dia. Sebagai adik, kamu harusnya lebih pengertian. Kalau pun ada yang belum dia tahu, kamu cukup bimbing... bukan malah ngomel di depan semua orang.”
Elmira kemudian tersenyum ke arah gadis itu. “Maaf ya, adikmu emang suka ceplas-ceplos. Jangan diambil hati.”
Gadis itu hanya tersenyum dan berkata "Tata krama ku jelas tidak sebanding dengan Elena."
Mendengar ucapan itu, Elena langsung mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Rasa bangga jelas terpancar dari wajahnya—bagaimanapun juga, dia satu-satunya pewaris sah keluarga Elora, dan dia tahu itu.
"Aku tidak pernah di ajarkan etiket dan tata krama yang baik sejak kecil, ada satu hal yang tidak ku mengerti. Aku harap bibi bisa membantuku menjelaskan nya."
Ia menghentikan ucapannya sejenak dan berkata, “Pas Elena nyuruh aku sarapan di dapur, itu termasuk tata krama yang mana, ya?”
Begitu kalimat itu keluar, senyum di wajah Elena langsung lenyap. Sorot matanya berubah tegang, sementara raut Elmira ikut mengeras—seolah tamparan barusan nggak cuma kena ke putrinya.
Di rumah ini, aturan lama masih dijaga. Keluarga selalu makan di ruang makan utama, sementara pelayan punya tempat sendiri di dapur. Aturan itu jelas, dan selama ini nggak pernah ada yang berani melanggar.
Elena udah jelas ngelewatin batas. Di rumah ini, aturan seperti itu bukan hal sepele—apalagi buat generasi seperti Kakek Arlon. Hal kecil aja bisa dianggap pelanggaran besar kalau udah nyentuh harga diri keluarga.
Di kehidupan sebelumnya, Elena pernah memperdayai nya, membuatnya percaya bahwa tempatnya memang di dapur, bukan di meja keluarga. Berbulan-bulan ia menelan perlakuan itu dalam diam.
Saat itu, ia terlalu lemah untuk melawan. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam.
Tapi sekarang, semuanya berubah. Ia tak lagi diam. Luka yang dulu ditutup rapat, kini ia ungkap perlahan, tepat di depan mata mereka.
Ia hanya ingin melihat, apa ibu tirinya masih akan bersikap tenang seperti dulu. Diam, seolah semua ini bukan masalahnya.
Suasana di sana menjadi tegang dan canggung.
Marvin mengerutkan kening, mau gimana pun juga, Vilya adalah putrinya. Ia tidak menyangka Elena akan bersikap seperti itu.
Adiknya berani menyuruh sang kakak makan bersama pelayan. Untuk pertama kalinya, Marvin merasa ada yang salah dalam cara Elena memperlakukan saudarinya.
Elmira tersenyum tipis, berusaha meredakan suasana. “Mungkin adikmu hanya iseng,” ujarnya lembut. “Dari kecil dia memang suka bercanda, kau tahu itu, kan?”
“Benar, Kak. Aku cuma bercanda kok,” ujar Elena dengan senyum tipis. “Hal in nggak perlu dibesar-besarkan, kan?”
Ia menarik napas lega, karena tahu ibunya akan selalu ada di pihaknya.
“Elena, kalau kamu masih mengulang hal seperti ini, Ayah tak akan diam lagi. Hukum keluarga tetap berlaku, siapa pun orangnya.”
Suara Marvin tenang, tapi sorot matanya tak memberi ruang untuk dibantah.
Elena menggigit bibirnya. Ini kali pertama sang ayah menegurnya setegas itu. Biasanya, ia selalu jadi anak kesayangan yang bisa melakukan apa pun sesuka hati.
Setelah sarapan selesai, Marvin pamit dan berangkat ke kantor. Vilya pun kembali ke kamarnya tanpa banyak bicara.
Sementara itu, di lantai atas, Elena menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan kesal “Apa istimewanya dia? Hanya datang membawa nama, tapi semua orang langsung memihak padanya.”
Ibunya duduk tenang di sebelahnya. “Jangan terpancing, Sayang. Untung ayahmu tidak ada di rumah. Kamu tahu sendiri, suasana bisa berubah dalam sekejap.”
Elena menatap ibunya dengan penuh keluhan. "Kenapa sih mama membiarkan ayah membawanya kesini, bahkan ayah secara pribadi pergi menjemputnya sendiri. Memangnya dia siapa?" Ia sangat marah saat ini.
ibunya menghela napas perlahan, lalu menepuk lembut sisi sofa di sebelahnya. Saat putrinya mendekat, ia berkata pelan, “Itu semua karena permintaan kakekmu. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Selama Mama ada di sini, nggak akan ada yang bisa geser posisimu.”
Ibunya tersenyum dan kembali berkata, "Sepupumu sudah lama tidak datang kemari kan. Kenapa kamu tidak meneleponnya dan mengajak nya untuk bermain selama beberapa hari?"
Mata gadis itu tampak berbinar. Ia paham arah pembicaraan ibunya.