⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restoran Pilihan Anna
Pagi itu kantor Amstel Core Group kembali terasa sibuk, tapi berbeda bagi Anna. Kehadiran Jonathan di ruangannya lagi memberi nuansa yang sulit ia jelaskan. Ia mencoba bersikap seperti biasa, mengatur berkas, menyiapkan agenda rapat, dan menjawab telepon, tapi diam-diam ia menikmati ritme yang kembali seperti semula.
Jonathan tampak fokus di balik meja besar dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Sesekali, ia menyodorkan berkas pada Anna, memberi instruksi singkat. Tidak ada yang istimewa—setidaknya hingga pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan.
Seorang wanita melangkah masuk. Cantik, elegan, rambutnya terurai sempurna, sepatu hak tingginya berderap pelan di lantai marmer. Senyumnya lebar dan penuh percaya diri.
“Jonathan,” sapanya lembut namun akrab, seolah ruangan itu adalah tempatnya sendiri.
Jonathan menoleh, dan—untuk pertama kalinya pagi itu—wajahnya memunculkan senyum yang tidak formal. “Elise.” Nada suaranya hangat, berbeda dari nada yang biasa ia pakai saat berbicara di kantor.
Anna terdiam sejenak, mencoba memproses pemandangan itu. Ia menunduk kembali pada laptopnya, pura-pura sibuk, hingga Jonathan menoleh padanya.
“Anna, tolong kembali ke ruanganmu dulu. Aku butuh berbicara sebentar,” ucapnya singkat, nada tegas namun tidak keras.
“Baik, Mr. Jonathan.” Anna berdiri, merapikan beberapa berkas, lalu melangkah keluar. Meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan Jonathan memberikan jarak yang tipis—hanya dinding kaca transparan yang memisahkan pandangannya.
Dan dari balik kaca itu, Anna bisa melihat segalanya.
Elise duduk santai di kursi tamu, mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Jonathan—yang biasanya kaku—justru tampak rileks. Ia tertawa kecil, sesuatu yang jarang Anna lihat. Gerak tangan mereka sesekali bersentuhan saat Elise menunjuk sesuatu di ponselnya. Entah topik apa yang mereka bicarakan, tapi jelas itu bukan sekadar urusan kerja.
Anna mencoba fokus pada layar komputernya, tapi matanya berulang kali melirik ke arah ruangan itu. Rasanya seperti menonton adegan dari jarak yang terlalu dekat namun tidak bisa didengar.
Beberapa menit kemudian, Elise berdiri. Jonathan ikut bangkit. Mereka bertukar beberapa kata singkat—lalu, tanpa ragu, Elise mendekat dan mengecup kedua pipi Jonathan dengan mesra. Bukan ciuman formal seperti salam bisnis, tapi penuh keakraban yang sudah terbangun lama.
Jonathan tidak menepis. Bahkan ada sedikit senyum di bibirnya saat ia mengantarkan Elise ke pintu.
---
Pintu ruangannya kembali tertutup setelah tamu Jonathan pergi. Beberapa saat kemudian, Jonathan keluar sambil menggulung lengan kemejanya, langkahnya santai namun terarah menuju meja Anna.
“Kau masih di sini,” ujarnya ringan.
Anna menoleh sebentar. “Memang jam pulang belum tiba, Mr. Jonathan.”
Jonathan menyunggingkan senyum tipis. “Hm… nada suaramu terdengar… berbeda. Atau hanya perasaanku saja?”
Anna mengetik sesuatu tanpa melihatnya. “Saya hanya sedang menyelesaikan pekerjaan.”
Jonathan mencondongkan tubuh sedikit, kedua tangannya bersandar di tepi mejanya. “Jadi bukan karena… pembahasan kita tadi yang terpotong?” tanyanya, nada suaranya tidak memaksa, hanya seperti menebak sambil mengamati reaksinya.
Anna berhenti mengetik sepersekian detik lalu kembali fokus pada layar. “Saya mengerti, Anda ada urusan lain. Tidak masalah.”
Jonathan menatapnya beberapa saat, lalu bergeser berdiri tegak. “Kalau begitu… biar kuperbaiki suasananya. Bagaimana kalau kita makan malam?”
Anna langsung menggeleng. “Saya rasa… saya harus pulang cepat malam ini.”
“Kita tidak akan lama,” ucap Jonathan tenang.
Anna tersenyum tipis tanpa menoleh. “Tetap saja, saya—”
“Baik,” potong Jonathan pelan, “kau yang pilih tempatnya. Aku ikut...”
Anna mengangkat wajahnya, menatap Jonathan singkat. “Saya tidak mau Anda menyesal.”
“Tidak akan,” jawabnya mantap.
“Tempatnya mungkin… sederhana,” lanjut Anna, seakan memberi peringatan.
Jonathan mengangkat alis. “Sederhana tidak selalu buruk.”
Anna masih tampak ragu. “Anda terbiasa makan di restoran bintang lima Mr. Jonathan —”
Jonathan tersenyum samar, nada suaranya setengah menggoda. “Kalau aku mau makan di tempat mewah, aku bisa melakukannya kapan saja. Justru aku ingin tahu… apa yang membuatmu merekomendasikan suatu tempat.”
Hening sesaat. Anna menunduk, jemarinya mengetuk meja pelan. “Baiklah. Tapi Anda harus janji tidak mengeluh.”
“Tergantung” jawab Jonathan singkat.
"Baiklah jika begitu lupakan saja." Ucap Anna
"Ya janji." Jonathan kembali.
Sore itu, mereka berdua akhirnya tiba di sebuah restoran kecil di pinggir jalan. Lampu neon sederhana menggantung di depan, aroma masakan yang akrab menyambut dari dapur terbuka.
Jonathan berdiri di depan pintu, menatap papan menu yang catnya mulai pudar. “Menarik…” katanya singkat, tapi nada suaranya mengandung rasa penasaran sekaligus ragu.
“Percaya pada saya,” ucap Anna sambil melangkah masuk.
Mereka duduk di meja dekat jendela. Anna memesan tanpa banyak bertanya, menyebut beberapa menu favoritnya dengan lancar. Jonathan hanya memperhatikan, matanya menelusuri ruangan yang penuh obrolan ringan pelanggan lain.
Ketika makanan datang—nasi hangat, lauk sederhana, sambal pedas—Jonathan menatapnya lama sebelum akhirnya mengambil sendok. Ia mencicipi sedikit, wajahnya nyaris tak berubah… lalu mengambil suapan kedua.
“Bagaimana?” tanya Anna, menatapnya dengan alis terangkat.
Jonathan meletakkan sendoknya sebentar. “Aku masih mencoba membiasakan lidahku… tapi rasanya… menarik.” Ia mengambil suapan lagi, kali ini lebih banyak, lalu tertawa kecil. “Sepertinya aku mulai mengerti kenapa kau suka tempat ini.”
Anna tersenyum, dan entah kenapa, melihat Jonathan makan dengan lahap di tempat sederhana itu membuatnya merasa aneh—tapi menyenangkan.