Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dewi Andini
Alas angin dirapal lagi, tetapi tekanan hawa pembunuh tadi membuat reaksi Wira terlambat sepersekian detik. Pedang Mahendra mematahkan kayu ulin Wira. Dewi Andini hampir menarik pedangnya dan melompat, tetapi sebuah aura bertarung yang sangat kuat muncul tiba-tiba.
Satu tendangan membuat Mahendra terlempar jauh hingga membentur dinding pembatas area latih tanding. Sosok berusia 50 tahunan mendarat di depan Wira, menghentakkan tongkatnya ke lantai arena dan membuat belasan orang yang mengeroyok Wira terpental ke belakang. Beberapa di antaranya langsung tak sadarkan diri, salah satunya adalah Sularsa.
“Apa-apaan kalian!” bentak Ki Damar.
Kedatangan sosok Wakil Ketua Perguruan itu membuat Wira menghela lega. Namun, ia belum terlepas dari masalah. Bersama beberapa pendekar purwa yang tiba atas perintahnya, Ki Damar membuat semua yang terlibat dalam pertarungan itu berlutut menghadapnya. Mereka yang tak sadarkan diri, termasuk Mahendra dibaringkan di pinggir arena latih tanding.
“Aku tanya sekali lagi, siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini?”
Kecuali Wira yang tetap tenang menatap lantai arena latih tanding, murid-murid yang tengah berlutut saling menatap satu sama lain. Pada akhirnya, Barda angkat bicara.
“Murid mohon izin wakil ketua, Wira telah menjelek-jelekkan orang tua dan keluarga kami semua. Ka-kami pun marah dan ingin memberinya pelajaran.”
Wira terkejut mendengar kata-kata Barda yang jelas-jelas memfitnahnya, tetapi di antara mereka yang satu komplotan ini, Wira yakin walaupun ia mengatakan kebenarannya, semuanya hanya akan memberi kesaksian palsu yang justru semakin memberatkannya.
Di sisi lain, Ki Damar tak percaya dengan kata-kata Barda melihat bagaimana karakter murid tersebut dan teman-temannya. Belum lagi, Ratnasari sering menceritakan padanya bagaimana perlakuan Barda dan kawan-kawannya terhadap Wira.
“Wira, benarkah apa yang dikatakan Barda?” tanya Ki Damar.
Untuk beberapa saat, Wira hanya diam dan menundukkan kepalanya. Ketika ia akhirnya memutuskan untuk mengutarakan hal yang sebenarnya apa pun risikonya, sebuah suara terdengar dari sisi arena latih tanding.
“Senior, mohon tunggu sebentar!” Dewi Andini melangkah tenang menaiki arena, ia menghampiri Ki Damar dan memberi hormat kepada sosok wakil ketua perguruan itu.
Kemunculan Dewi saat itu tentu mengejutkan semua orang, termasuk juga Wira. Sesaat kemudian, ia tiba-tiba teringat suara siulan dan sebongkah kayu ulin yang sepertinya dengan sengaja diberikan kepadanya untuk digunakan sebagai senjata.
“Oh, Nona Dewi Andini, apakah ada yang Nona ketahui tentang masalah ini?”
*Mohon maaf sebelumnya, senior, bukannya saya hendak ikut campur. Beberapa saat sebelum kedatangan senior, saya telah lebih dulu tiba dan sempat mengamati pertarungan para murid ini. Tadinya saya mengira ini adalah latihan biasa, tetapi kemudian ada beberapa hal yang menurut saya tak wajar.”
“Maksud Nona?” Ki Damar bertanya sambil mengernyitkan dahinya.
Dewi Andini mulai menjelaskan, “Pertama, entah apa alasan mereka bertarung, tetapi kecuali murid ini,” ia menunjuk Wira, “yang lain menggunakan senjata sungguhan, bukan senjata kayu untuk latihan.”
Beberapa murid yang mengeroyok Wira terlihat beringsut ketakutan saat Ki Darma dan para pendekar di sekitar mereka mengamati lebih jauh dan menemukan pedang-pedang yang mereka gunakan.
“Kedua, menghina orang tua dan keluarga memang adalah perbuatan yang salah. Namun, jika sekadar ingin memberi pelajaran pada pelakunya, perlukah sampai main keroyok seperti ini? Bukankah melaporkannya kepada divisi penegak hukum dalam perguruan akan lebih baik untuk memastikan pelaku tersebut mendapat sanksi yang semestinya?”
Setiap orang yang hadir di tempat itu, termasuk Ki Damar, tampak menyetujui pendapat Dewi Andini. Akan tetapi, gadis cantik yang masih memakai pakaian tempurnya itu masih melanjutkan penjelasannya.
“Jika memang ingin menyelesaikan permasalahan dengan adu kekuatan, mengapa tidak bertanding secara adil dalam sesi latihan. Dengan seorang guru sebagai pengawas, apa pun aturan pertarungan dan kesepakatan setelahnya akan membuat semuanya bisa menerima. Di samping itu, cara terakhir ini sepertinya lebih sesuai dengan etika pendekar dalam dunia persilatan dan dapat membentuk karakter seorang pendekar sejati.”
“Terakhir,” sambung Dewi Andini, “saya yakin ketua pun sempat merasakan adanya hawa pembunuh yang terarah kepada murid ini.” ia melirik Wira, “Seharusnya hal itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang menaruh dendam padanya.” lanjutnya sambil melirik Mahendra yang tak sadarkan diri.
“Lalu, bagaimana Nona memandang masalah ini?” tanya Ki Damar kepada Dewi Andini sementara setiap orang yang ada di tempat itu hanya bisa terpana pada kejelian pengamatannya.
Dewi Andini mengangguk, “Senior, saya baru tiba di Perguruan Rantai Emas hari ini. Saya tak tahu apa-apa tentang konflik para murid di perguruan ini, tetapi sebagai pendekar, seandainya saya ingin mencari masalah, saya akan memastikan bahwa saya pun memiliki cukup kekuatan untuk membereskannya.”
Dewi berjalan mengelilingi barisan murid yang berlutut di hadapan Ki Damar dan berhenti di depan Wira, “Sekilas saat melihat pertarungan tadi, murid ini lebih banyak bertahan. Serangan-serangan baliknya pun hanya mengakibatkan luka yang relatif ringan.”
Dewi kemudian berjalan ke belakang Ki Damar dan memungut bongkahan kayu ulin yang telah patah, “Apa yang digunakan oleh murid tersebut sebagai senjata juga menunjukkan bahwa ia sama sekali tak siap untuk bertarung.” gadis itu menunjuk tongkat pel yang terbelah dua dan tergeletak di lantai.
“Menurut saya, jika memang murid ini telah menyinggung mereka semua dengan kemampuannya yang masih terbatas ini, akan lebih baik baginya untuk melarikan diri daripada harus mati-matian mempertahankan diri. Kecuali, tentu saja ia bodoh.”
Wira tersedak ludahnya sendiri, bahkan Ki Damar pun sampai mengangkat alisnya mendengar ungkapan terakhir dari Dewi Andini yang begitu lugas.
Saat Ki Damar mengamati kembali setiap murid yang berlutut di hadapannya, terutama si Barda, pandangan Wira bertemu dengan Dewi Andini, dan yang membuat Wira terkejut adalah gadis cantik itu mengedipkan sebelah mata kepadanya.
“Wakil Ketua!” dari luar arena latih tanding, sosok Alang Ganendra tampak berlari terburu-buru diikuti Nala, Ratnasari, dan seorang murid senior yang sepertinya mengabarkan kejadian tersebut kepada mereka.
Ketiganya sempat terkejut dengan kehadiran Dewi Andini, tetapi segera memberi salam kepadanya dan bergegas mendekati Ki Damar. Sejak melihat ketiga orang itu, raut wajah Barda memburuk dan murid-murid lain yang berkomplot dengannya pun menjadi semakin gelisah.
Alang kemudian menjelaskan sesuatu kepada Ki Damar tanpa terdengar oleh yang lainnya, sementara Nala dan Ratnasari membantu Wira berdiri. Melihat hal itu, Dewi Andini semakin tertarik terhadap sosok Wira, sedangkan Wira yang masih menatapnya hanya bisa tersenyum canggung sambil menundukkan kepala.
“Baiklah,” Ki Damar kembali berbicara, “Wira, kau pergi ke ruang pengobatan, setelah itu kembali ke kamarmu,” kemudian ia menatap para murid yang masih berlutut di tempat itu, “Kalian ikut aku, bawa mereka semua ke balai penegak hukum!” ia memberi instruksi kepada para pendekar yang ada di situ, “Alang dan kalian berdua ikut denganku.” ia memberi isyarat kepada Alang, Nala, dan Ratnasari.
“Nona Dewi Andini, saya mohon maaf atas nama perguruan karena Nona sampai harus menyaksikan kejadian memalukan seperti ini.” Ki Damar menunjukkan rasa penyesalannya kepada Dewi Andini.
“Senior tidak perlu sungkan,” Dewi Andini memberikan hormatnya.
Setelah Ki Damar pamit undur diri, Ratnasari bergegas mengikuti ayahnya sambil sesekali menatap Wira dengan ekspresi khawatir.
“Istirahatlah,” Alang menepuk punggung Wira, “besok kau masih harus berlatih,” kemudian bergegas mengikuti Ki Damar.
“Kukira mereka tak akan macam-macam lagi denganmu,” kata Nala tampak menyesalkan peristiwa itu sebelum menyusul yang lainnya.
Wira masih menatap orang-orang itu menjauh dari arena latih tanding, ketika Dewi Andini memanggil namanya.
“Jadi, namamu Wira?”
Wira sontak berbalik dan memberi hormat, “Maafkan ketidaksopanan saya, Nona,”
Dewi Andini tertawa pelan melihat sikap pemuda di hadapannya. Di sisi lain, Wira sungguh tak menduga bahwa sosok yang dikagumi banyak orang ini ternyata terlihat tak jauh berbeda usia dengannya.
Sesaat pandangan mereka kembali bertemu dan Wira merasa jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Menyadari apa yang dilakukannya mungkin kurang pantas, Wira kembali menunduk menunjukkan rasa hormatnya, “Terima kasih Nona, jika bukan karena pertolongan Anda …,”
Dewi Andini mengibaskan tangannya, “Sudah … tak usah dipikirkan, seperti yang kau dengar tadi, aku hanya …, kebetulan lewat saja. Eh, apa kau baru mempelajari ilmu pedang?”
Wira terkejut mendengar pertanyaan itu, “Ehm … saya baru akan mendalaminya, Nona.”
“Hm? Kau serius?” giliran Dewi Andini yang terkejut mendengar jawaban Wira.
“Saat menjadi murid junior, setiap murid wajib mempelajari teknik dasar dalam ilmu bela diri, termasuk penggunaan berbagai senjata. Selama ini … saya hanya mendalami teknik pertarungan tangan kosong.”
“Hmm … menarik.” gadis itu mengerutkan keningnya, seakan memikirkan sesuatu.
“Gerakan-gerakanmu tadi seharusnya bisa mengimbangi pendekar purwa bahkan pendekar madya. Apa kau yakin tak pernah berlatih ilmu pedang sebelumnya?” Dewi Andini menelengkan kepalanya hingga sangat dekat dengan wajah Wira.
“Sa-saya …,” Wira heran kenapa dirinya bisa terbata-bata dalam percakapan biasa ini, “kecuali teknik dasar, saya sama sekali belum pernah mempelajari yang lain, Nona.”
Dewi Andini tergelak melihat reaksi Wira. Sementara Wira sendiri hanya bisa menggaruk kepalanya dan tersenyum canggung.
Selama beberapa saat, Dewi Andini mondar-mandir di depan Wira sambil terlihat memikirkan sesuatu. Wira sendiri tak tahu harus bagaimana selain berdiri diam dan mengamati sekitarnya.
“Baiklah, sudah kuputuskan,” Dewi Andini tiba-tiba berdiri tepat dan sangat dekat di hadapan Wira yang seketika merasa detak jantungnya berhenti, “kalau ada kesempatan, aku mungkin bisa membantumu, tetapi hari ini kau sudah berutang satu hal kepadaku.”
“Ap –”
“Ssshh, dalam waktu dekat aku akan memintamu membayarnya dan aku tak suka alasan.” gadis itu berbalik dan mulai melangkah pergi, tetapi setelah beberapa langkah ia berhenti dan kembali menatap Wira, “Oh, kalau tak ada orang lain yang kita kenal, panggil saja aku Andini, selamat malam, Wira …,”
Seolah tersadar, Wira buru-buru menjawab, “Ba-baiklah, selamat malam, Non –”
“Andini! Di sini sudah tak ada orang lain kan?” Dewi Andini tertawa lagi sambil berjalan cepat meninggalkan Wira sendiri di atas arena latih tanding itu.
Sesaat, Wira tertegun. Ia tak bisa berkata-kata tentang gadis yang baru saja pergi meninggalkannya itu. Ia pun tak menyangka kalau yang menolongnya hari ini sebelum kedatangan Guru Alang dan teman-temannya adalah Dewi Andini.
Yang paling tak diduga oleh Wira adalah, di balik semua pembicaraan dan pujian terhadapnya, serta di balik keanggunannya dalam pakaian seorang prajurit dan wibawanya saat berhadapan dengan banyak orang, Dewi Andini adalah sosok yang periang dan cukup cerewet.
Wira menatap langit malam dan mendapati bulan yang telah tinggi. Ia menghela napas lalu mengamati arena latih tanding yang berantakan. Dirinya memang mendapat beberapa luka memar dan sayatan pedang, tetapi bahkan saat ini, luka-luka itu telah sembuh dengan sendirinya.
Sejak menggunakan metode pernapasan nirvana, hal yang Wira anggap sebagai keanehan pada tubuhnya, yaitu kemampuan tubuhnya untuk menyembuhkan luka sendiri, memang menjadi lebih cepat.
Oleh karena itu, tanpa bermaksud mengabaikan perintah Ki Damar, Wira merasa lebih penting baginya untuk segera membersihkan arena itu. Sambil bergegas memungut alat kebersihan yang berserakan, tanpa disadarinya sendiri, Wira tersenyum. Tanpa ia sadari, sebuah nama terucap dari bibirnya, “Andini …,”