NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 MENDADAK PINTAR

"Sekarang urus rekeningmu! Kalau hari ini tidak selesai, aku akan menghilangkan kamu dan keluarga kamu!" ucap Galih dengan nada kesal, ancaman itu meluncur dengan santai seperti tawaran diskon. Rasanya ia ingin melihat Kismin lenyap dari muka bumi, tapi tidak sebelum uangnya kembali.

Galih kemudian menyuruh tiga orang bodyguard berbadan tegap untuk mengawal Kismin, memastikan si korban bukan hanya tidak kabur, tapi juga tidak tiba-tiba meninggal di tempat sebelum transaksi selesai. Sebuah penjagaan ketat yang lebih cocok untuk seorang buronan kelas kakap daripada pria tua yang bahkan tidak tahu cara menggunakan m-banking.

Hari ini, Galih memutuskan untuk mendekam di rumah. Bukan, bukan karena ia mendadak suka liburan. Ada terlalu banyak orang yang siap menagih pembayaran, dan ia tak punya niat menghabiskan pagi dengan senyum palsu sambil berjanji akan membayar 'secepatnya'.

Sementara itu, Laras, Dimas, dan Vanaya masih sibuk dengan kebingungan mereka sendiri, seolah baru saja mendarat dari planet lain dan mencoba memahami drama bumi.

Reza sendiri beberapa kali muntah, terlihat sangat mengkhawatirkan. "Narti! Urus Reza dan panggilkan dokter untuk memeriksanya!" perintah Galih, nadanya santai seolah meminta secangkir kopi. Ia tak sadar sama sekali kalau perintah itu, yang baginya biasa, justru membuat Laras, Dimas, dan Vanaya mendelik tajam ke arahnya, mata mereka nyaris keluar dari rongga.

"Kenapa kalian melihatku, ha?!" Galih bertanya, heran dengan tatapan maut itu. "Saat aku ada masalah, kalian tidak memberiku solusi!" ucapnya kesal, seolah merekalah yang patut disalahkan atas kegagalan sistem keuangannya.

"Mas!" Laras bersuara, nadanya sudah seperti pisau yang diasah. "Jangan sampai kamu mengutamakan anak haram itu!"

"Kapan aku memberikan perhatian sama dia?!" Galih balas membentak, suaranya kini dingin seperti es batu. "Bahkan aku diam saja saat kalian menghina dia! Tapi akhir-akhir ini, tindakan kalian membahayakan hidupku dan keluarga ini!" Ia mengucapkan kalimat 'membahayakan hidupku' dengan penekanan, seolah ancaman finansial jauh lebih menakutkan daripada drama keluarga.

Laras ingin membantah, tapi Galih lebih cepat.

"CUKUP!" sergah Galih. "Aku tidak mau berdebat sebelum uang aku kembali." Baginya, semua drama rumah tangga bisa ditunda. Prioritas nomor satu tetaplah pundi-pundi rupiah yang hilang.

Dengan pikiran yang, entah bagaimana, sudah sedikit lebih tenang—mungkin karena aura uang yang akan kembali—Galih mulai bisa mengendalikan keadaan. Ia menelpon rekannya yang bekerja di bank, mungkin mengisyaratkan bahwa jika uangnya tidak segera kembali, akan ada penarikan besar-besaran dari rekening mereka secara paksa.

Berkat koneksi tingkat tinggi Galih, pengurusan ATM Kismin mendapat kemudahan yang tak terduga. Walaupun begitu, proses verifikasi wajah sempat gagal beberapa kali karena wajah Kismin sudah babak belur tak berbentuk, sulit dikenali bahkan oleh mesin. Butuh beberapa kali usaha dan mungkin sedikit paksaan pada sistem verifikasi wajah bank.

Hari itu juga, uang Galih kembali dengan selamat ke rekeningnya. Ia bisa bernapas lega, seolah baru saja lolos dari jurang kemiskinan dan kini siap melanjutkan hidupnya sebagai tiran berhati dingin.

Kismin, yang baru saja merasakan secuil harapan hidupnya akan membaik, kini kembali digiring ke rumah keluarga Baskara untuk diadili. Ia sudah pasrah, siap menghadapi takdirnya yang paling buruk. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak sudi hancur sendirian. Ia harus membawa Dimas dan Vanaya ke dalam masalah ini bersamanya. Kalau ia harus merasakan neraka, setidaknya ia punya teman seperjalanan

Matahari sudah meninggi, panasnya membakar bumi seolah ingin mengeringkan semua harapan yang tersisa. Kismin, yang baru saja menyelesaikan transaksinya—berhasil mengembalikan uang Galih tanpa tahu bagaimana caranya ia mencuri atau mengapa namanya yang tercantum—kini kembali dihadapkan pada keluarga Baskara. .

Riko, yang kebetulan baru datang dari dinas luar dan tampak segar bugar, ikut menyaksikan "prosesi hukuman" yang akan diberikan pada Kismin..

"Harusnya aku memukuli kamu sampai mati, kesalahan kamu sudah sangat fatal," ucap Galih dengan nada dingin yang menusuk.

Ia menatap wajah Kismin yang babak belur, ada sebersit rasa iba yang melintas—mungkin ia berpikir, 'Astaga, wajah ini bahkan tidak bisa lagi diverifikasi oleh bank manapun.'

"Tapi mengingat kamu sudah lama bekerja di rumah ini, maka aku hanya akan mengirim kamu ke penjara." Sebuah "belas kasihan" yang ironis, seolah hukuman penjara adalah opsi yang jauh lebih manusiawi daripada pukulan Galih

"Baik, Tuan," ucap Kismin, suaranya terdengar pasrah namun menyimpan siasat. "Tapi sebelum saya dikirim ke penjara, saya ingin menyampaikan hal ini pada Tuan." Ia menegaskannya seolah ini adalah pidato perpisahan paling penting dalam sejarah.

"Sampaikanlah," ucap Galih datar, alisnya sedikit terangkat, penasaran akan drama tambahan apa yang akan Kismin sajikan.

Kemudian Kismin merogoh celananya, tangannya bergetar sedikit saat mengambil ponsel bututnya. Dengan napas tertahan, dia memutar sebuah rekaman suara.

"Aku beri kamu satu juta lima ratus ribu, kamu taruh black car milik Ayah ini di kamar Reza," terdengar suara Dimas yang familiar.

"Kalau bayarannya segitu saya mau, Bos," sahut suara Kismin yang lebih muda, penuh semangat seolah baru saja memenangkan lotre—sebuah semangat yang kini terasa begitu ironis.

"Ingat, lakukan tugas kamu dengan baik," timpal suara Vanaya, terdengar seperti bos mafia yang memberi instruksi terakhir.

Rekaman suara itu berhenti. Keheningan tiba-tiba menggantung di ruang keluarga Baskara, seolah waktu ikut membeku

Mata Galih terbelalak, memandang tajam pada Dimas dan Vanaya seolah ia baru saja menemukan mereka menyelinap di bawah ranjangnya.

"Ayah, jangan percaya sama dia! Dia memfitnahku, Yah!" bela Vanaya, suaranya melengking tinggi seperti biola yang dipaksa main lagu heavy metal.

"Dasar bodoh!" Riko menyela dengan kesal, menatap Kismin. "Jangan pernah mengancam kami dengan hal seperti itu!"

"Saya tidak mengancam," ucap Kismin, nadanya datar seperti permukaan meja dapur. Ia sudah berada di antara hidup dan mati, dan di ambang keputusasaan, otaknya tiba-tiba menjadi brilian. Apapun keputusannya nanti, ia akan rugi. Jadi, ia tidak sudi hancur sendirian. Ia harus membawa Dimas dan Vanaya bersamanya—seperti paket tur ke neraka.

"Saya hanya memberi tahu Anda," lanjut Kismin, dengan nada putus asa yang anehnya terdengar sangat mengancam, "jika saya sampai dipenjara, maka saya akan memberikan rekaman ini ke polisi." Begitulah, orang yang dalam keadaan pasrah kadang jadi pintar mendadak, menemukan kartu truf di saat-saat terakhir. Kismin patut berterima kasih pada hobi anehnya menonton drama agen Korea. Beruntung kemarin ia sempat melihat adegan di mana mata-mata selalu merekam misi mereka. Jadi, ketika Dimas dan Vanaya memberinya 'misi' jebakan itu, Kismin secara naluriah menekan tombol rekam. Sebuah kebetulan yang, pada akhirnya, menyelamatkan lehernya—atau setidaknya, sisa-sisa lehernya.

Riko maju, menatap Kismin dengan pongah. "Kamu kira kami takut dengan ancaman kamu? Dengan mudah aku bisa menghancurkan rekaman itu," ucapnya, seolah ia punya tombol 'hapus-bukti-kriminal' universal.

"Saya tidak sedang menakuti, Tuan. Mana berani saya," balas Kismin, nadanya datar tapi dengan senyum tipis di bibir yang bengkak. "Anak saya kebetulan kerja di lembaga bantuan hukum. Rekaman itu sudah saya sampaikan ke dia." Kismin jeda, menikmati ekspresi di wajah-wajah Baskara yang mulai berubah. "Dia bilang kalau terjadi apa-apa sama aku, maka dia dan para aktivis HAM yang haus sensasi itu akan bergerak," tambah Kismin, menyebutkan kata "marjinal" dengan aksen yang dibuat-buat, persis seperti penjahat di film yang baru saja mengungkapkan kartu joker-nya.

Reza yang menyaksikan semua itu, tersentak kaget. "Astaga, ini tidak masuk ke skenario gila-ku!" pikir Reza. "Aku cuma mencuri ponsel Vanaya dan Dimas serta beberapa dompet ATM untuk menciptakan kekacauan kecil-kecilan. Tapi baguslah... semakin keluarga Baskara pusing, aku semakin senang." Sebuah pertunjukan gratis yang melampaui ekspektasinya.

1
Agus Rubianto
keren
Aryanti endah
Luar biasa
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!