Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Sesak
"Ya ampun, kalau gue jadi lo, gue bakal perjuangkan cinta gue. Hasilnya gimana itu masalah entar. Kalau misalnya setelah gue berjuang, dia suka sama gue juga, itu reward buat gue dan gue bakal bahagia sama kecengan gue itu. Tapi kalau pun enggak, senggaknya gue udah nyoba. Biasanya kalau kita udah tahu kalau kita ditolak, otomatis kita bakal move on dan gak akan stuck di situ aja," ujar Alleta panjang lebar memberikan pandangannya.
Aku sampai tertegun mendengarnya. Sebetulnya yang Alleta katakan ada benarnya. Namun seorang seperti aku yang pemalu, tak bernyali, tidak akan pernah mengambil langkah berani seperti itu. Bagiku berada di sisi gelap tanpa Gaga ketahui bahwa aku ini ada dan selalu memerhatikannya, sudah sebuah kebahagiaan bagiku. Aku tidak butuh untuk bisa memiliki Gaga. Aku tahu kapasitasku.
"Gue udah pernah ngomong kayak gitu sama Naira," ucap Rita sambil menggelengkan kepalanya dengan jengah. "Gue bahkan udah pernah jodohin dia sama beberapa cowok, tapi gak ada yang berjalan lancar."
Iya. Memang aku pernah berkenalan dan pendekatan dengan beberapa laki-laki yang Rita kenalkan padaku, namun pada akhirnya mereka semua mundur teratur.
"Mungkin karena guenya yang gak cantik dan gak pinter mengobrol, jadi mereka mundur satu per satu," ujarku dengan tawa kikuk.
"Yang bikin lo gak cantik adalah rasa minder lo," tegas Rita dengan gemas. "Lo cukup menarik, Ra. Lo cuma perlu lebih percaya diri lagi. Buka hati lo selebar-lebarnya biar cinta yang baru bisa masuk ke hati lo."
Terlalu sulit bagiku untuk menerima orang lain dan membuatnya merebut singgasana tertinggi di hatiku yang sudah ditempati Gaga sejak lama. Bahkan tekadku untuk melupakan Gaga dan mencari laki-laki lain saat masuk kuliah nyatanya gagal total. Meskipun aku tak bertemu dengannya, tak tahu kabarnya seperti apa, hatiku tetap tertaut pada Gaga. Hingga saat ini, di usiaku yang sudah cocok untuk menikah, aku masih tidak bisa menghentikan debar kencang jantungku yang Gaga sebabkan.
Aku tahu, aku telah membuang waktuku dengan sia-sia karena seakan rasaku terhadap Gaga sudah membelengguku, membuatku tak berkutik. Aku berjalan di tempat selama bertahun-tahun, tapi sungguh aku pun tak ingin seperti ini. Hanya saja aku sama sekali tak bisa mengatur pada siapa hatiku akan tertuju.
Jika saja bisa, aku pun ingin menyambut salah satu laki-laki yang Rita kenalkan padaku, tapi nyatanya hatiku menolak. Juga, para cowok itu pun menolakku setelah beberapa kali bertemu.
"U-udah ya, gak usah bahas aku," ujarku canggung, tak enak juga karena secara teknis aku baru saja mengenal Alleta, tapi hal sepribadi ini malah dibahas olehnya.
Aku pun tak ingin melepaskan kesempatan ini, rasa penasaranku membuncah sejak pertemuanku dengan Alleta bulan lalu. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya, "kalau lo sendiri, kenapa putus sama Sagara, Alleta?"
Akhirnya aku menanyakannya. Lega sekali rasanya.
"Iya, bener, gue juga kepo. Dulu lo bucin abis sama cowok lo itu. Sekarang lo malah mau nikah sama Om-om," ucap Rita tanpa difilter. Kadang mulut Rita memang agak sulit dikontrol. "Sorry, maksud gue calon suami lo itu lebih tua dari lo, 'kan?"
"Semua orang bilang gitu, kok, jadi nyantei aja. Gue gak kesinggung. Dia emang beda 30 tahun sama gue. Dia duda, punya anak yang umurnya gak beda jauh dari gue. Cuma yang bikin gue mau nikah sama dia, karena dia tajir melintir," ujar Alleta dengan nada bercanda di akhir ucapannya.
"Dasar lo ani-ani ya?" tebak Rita, lagi-lagi dengan frontal.
"Gila aja. Enggak dong, dia itu bos di perusahaan tempat gue kerja. Bercanda kali. Okay, gak sepenuhnya." Alleta berubah serius. "Realistis dong kalau kita cari cowok yang bisa menghidupi kita? Hidup gak akan kenyang cuma dengan cinta. Ya gak?"
"Bener sih," timpal Rita, aku pun mengangguk setuju.
"Tapi calon suami gue itu, karena dia jauh lebih tua mungkin ya, jadi dia dewasa, bener-bener perhatian, dia sayang banget sama gue. Dia bisa bikin gue nyaman, gak ngekang gue, dia percaya sama gue. Sebenernya sih, kalau ditanya gue cinta sama dia atau enggak, gue bisa bilang, cinta gue lebih gede buat Saga. Tapi gue nerima dia karena gue yakin gue bakal bahagia sama dia."
"Jadi, lo masih cinta sama Gaga, Ta?" tanpa sadar aku menanyakan itu. Aku menyebut 'Gaga' pula, bukan 'Sagara'. Karena jujur aku tak rela saja, Alleta sudah akan menikah dengan pria lain, tapi dia masih berkata bahwa ia lebih mencintai Gaga.
"Gak terlalu sih," jawab Alleta. "Mungkin karena gue pacaran sama dia hampir 6 tahun, jadi gue bisa ngomong kayak tadi. Yang pasti gue cape sama Saga. Selama pacaran, gue ngerasa sesak."
Aku tak pernah menyangka akan mendengar hal itu dari Alleta. Sesak? Mengapa Alleta merasa sesak selama berpacaran dengan Gaga?