Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
Flashback.
"Amira, ambil pesenan ibu di tempat biasa, sana. Buruan ya, jangan lama-lama." Pinta ibunya Ardi.
"Harus sekarang banget ya bu? Kan ini sudah sore."
"Iya, justru karena sudah sore makanya kamu harus cepat. Jangan sampai kemalaman di jalan. Hamil itu jangan dibawa bermalas-malasan, pamali!"
Amira hanya manut saja waktu itu, meskipun yang dituduhkan ibu mertua tentang bermalasan-malasan tidaklah benar. Amira yang mengerjakan pekerjaan rumah selama ini. Dalam hatinya, ia menganggap omongan ibu mertuanya itu bagian dari petuah orang tua, jadi lebih baik menurut.
Tadinya Amira berniat pinjam sepeda listrik tetangganya supaya lebih cepat, tapi ternyata sedang tidak bisa dipergunakan. Mau tidak mau, Amira memilih berjalan kaki.
Pesanan berhasil diambil, dan dalam perjalanan pulang, Amira melihat seorang wanita berdiri kebingungan di kebun yang bala dan seram. Wajahnya terlihat panik, seakan dia sedang tersesat. Amira menghampirinya.
Belum sempat Amira mendekat, semak-semak di dekat Gladys tiba-tiba bergetar. Dari dalamnya muncul seekor ular kobra yang langsung mengangkat kepala, dengan lehernya mengembang lebar membentuk tudung. Desisannya membuat Gladys membeku ketakutan.
Amira berteriak, "Awas!" dan tanpa pikir panjang, ia melempar buntelan pesenan yang dibawanya ke arah ular sambil berteriak khas perempuan jika sedang berhadapan dengan bahaya. Gerakannya membabi buta, refleks seorang manusia yang terdesak. Tapi ular itu tidak mundur. Kepala dan tubuhnya tetap berdiri sigap.
Tidak menyerah, Amira mengayunkan batang kayu ke arah ular seraya mengusirnya secara halus. Kali ini lebih tenang, "Pergi sana ya Lar. Jangan ganggu." Gumam Amira. Ajaibnya, ular itu seperti mengerti sehingga berbalik dan melata pergi tanpa perlawanan.
Amira bernafas lega. Peluh membasahi keningnya. Gladys terlihat pucat, namun selamat. Itulah pertemuan pertamanya dengan Gladys, pertemuan yang akan mengubah hidup Amira selamanya.
"Mbak, mau ke mana ya? Ini udah hampir Maghrib. Banyak sandekala lewat kalau begini," tanya Amira sambil menatap Gladys dengan cemas.
Gladys tampak bingung. "A-ku... aku mau ke rumah teman, iya. Rumah teman. Tapi ini desa apa namanya ya?" Bohongnya, karena dia pun bingung kenapa bisa ada di sini.
"Ini Rawa Kunyit, Mbak. Udah, hayuk. Kita pergi saja dari sini dulu."
Amira menggandeng Gladys menyusuri jalan kecil yang mulai gelap, hingga akhirnya mereka tiba di salah satu rumah warga. Rumah tetangga yang cukup dekat dengan keluarga Ardi. Lampunya sudah menyala temaram dari balik kaca nako.
"Assalamualaikum."
Tidak lama kemudian, seorang perempuan paruh baya membuka pintu, wajahnya terkejut melihat Amira berdiri di depan pintu dengan napas terengah.
"Wa'alaikumsalam. Lah, Mir, kamu dari mana hamil-hamil keluyuran begini?!" tegur Bu Iyem cemas, matanya langsung tertuju ke perut Amira. "Ini sudah hampir Maghrib, lho!"
Gladys yang mendengar teguran itu, langsung tertegun. Tatapannya jatuh ke perut Amira. Baru sekarang dia benar-benar menyadari, wanita yang barusan mempertaruhkan nyawa demi dirinya itu ternyata sedang mengandung.
...***...
Tadinya, Amira berniat mengajak Gladys singgah ke rumahnya selepas Maghrib. Namun rencana itu batal seketika ketika seseorang tiba-tiba menghampiri mereka. Ternyata itu sopir pribadi Gladys yang sempat kehilangan jejak sang Nyonya.
Dulu, Arga tidak seperti sekarang. Rumah bak istana, pekerja rumah di setiap pos, bodyguard dimana-mana, juga peraturan yang ketat. Meskipun kaya raya, ia hanya memiliki sopir dan beberapa pembantu saja, juga security. Rumah pun besar, tapi tidak se-istana sekarang.
Sang sopir tampak lega bisa menemukan majikannya. Ia segera menawarkan untuk membawa Gladys pulang. Tapi Gladys punya satu permintaan kecil. Ia ingin mampir ke rumah Amira, sebentar saja. Sopir itu sempat ragu, wajahnya tampak pias. Namun akhirnya ia mengangguk, "Jangan lama-lama, Nyonya."
Mereka pun berjalan bersama, sekalian mengantar Amira pulang.
Begitu sampai, Amira langsung disambut suara tinggi ibu mertuanya.
"Dari mana aja kamu?! Ngambil pesanan aja lama banget. Dasar keluyuran terus!"
Amira tertegun mendengar kata pesanan. Ia baru sadar, barang yang diminta ibu mertuanya hilang entah ke mana. Terakhir kali ia ingat, benda itu ia gunakan untuk mengusir ular. Sial. Sudah pasti akan dimarahi habis-habisan.
Tatapan sinis ibu mertuanya berpindah ke Gladys, lalu kembali ke Amira. "Sekarang malah bawa temen segala. Main aja kerjaannya! Masuk sana!"
Gladys tercekat melihat perlakuan itu. Bersamaan Amira ngeloyor masuk meninggalkan Gladys, dengan tenang, Gladys tersenyum dan berkata, "Maaf, Bu. Saya ini teman arisan Kak Amira. Saya kesini mau kasih uang arisan, karena Kak Amira yang keluar. Kami bahkan tidak datang bersama, dan baru bertemu tadi di depan. Begitu saya mau dipersilahkan masuk, sudah dihadang saja sama ibu."
Begitu mendengar duit, nada suara ibu mertua Amira berubah total. Lebih ramah, bahkan mengundang Gladys masuk.
"Oh begitu, bilang kek dari tadi hehe. Kalau mau kasih uang mah silakan. Ketemu aja dulu sama Amira," ujarnya, kini lebih manis. Amira mantu sialan, ternyata dia banyak juga dapat jatah dari Ardi sampai diam-diam bisa main arisan. Aku harus mengambilnya.
Dan daru situlah, ibunya Ardi kerap merampas jatah bulanan Amira karena dianggap terlalu besar.
Sedangkan di dalam kamar, Gladys dan Amira berbicara empat mata. Tanpa banyak basa-basi, Gladys mengeluarkan uang lima juta rupiah dan menyodorkannya ke Amira.
"Apa ini?"
"Buat kamu Kak. Kalau nanti ibu mertua kamu minta, kasih aja sedikit. Sisanya simpan."
Amira masih tidak percaya.
"Aku lupa mau minta nomor hp kamu, Kak. Bisa sebutkan?"
Amira menggeleng. "Aku nggak punya, Mbak. Gak dikasih pegang HP sama suamiku."
Gladys menatapnya tidak percaya. Masih ada, ya, orang yang gak punya HP?
Ia terdiam beberapa saat, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. "Ini diary. Anggap aja ini surat. Nanti kadang aku datang lagi, kadang hanya buku ini saja yang datang diantar sama Pak Sopir. Tulis aja apa yang kamu alami. Aku juga akan menulis disitu."
Tidak lama, Gladys pamitan pulang. Benar saja, ibunya Ardi langsung mendatangi Amira dengan penuh ambisi. Tangannya sigap meraih amplop berisi uang yang baru saja diberikan Gladys.
Awalnya Amira berniat menyerahkan sebagian, seperti saran Gladys tadi. Tapi belum sempat bicara, sang ibu mertua sudah lebih dulu menarik semuanya.
"Ibu saja yang simpan dan kelola uang ini. Kamu belum ngerti cara ngatur uang."
Amira hanya bisa terdiam. Dalam hatinya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa sikap ibu mertuanya adalah bentuk kepedulian seorang ibu yang ingin membimbing menantunya agar lebih bijak dalam mengelola uang di masa depan.
Sejak kecil, Amira tumbuh tanpa cukup kasih sayang dari orang tua, baik dari ibu maupun ayah. Karena itulah, ia kerap kesulitan membedakan mana perhatian yang tulus dan mana yang sebenarnya menyakitkan.
"Amira, pesenanku mana?" tanya Ibunya Ardi. Dan habislah Amira dimaki-maki.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus