NovelToon NovelToon
Cassanova - Dendam Gadis Buta

Cassanova - Dendam Gadis Buta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Dendam Kesumat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wida_Ast Jcy

Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.

"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.

Yuk...ikuti kisahnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9. DESAS-DESUS TETANGGA

Lagu itu bukan lagi sekadar tembang, melainkan seruan pilu dari jiwa yang hancur, berharap keajaiban turun dan menghapus semua luka yang telah terlanjur tercipta. Mata Casanova perlahan terpejam. Mungkin karena lelah. Mungkin karena rasa sakit itu terlalu dalam. Atau mungkin karena suara tembang ibu yang masih ia kenali meski dari dasar jurang kesedihan.

Bu Rahmi tidak tahu pasti apakah anaknya benar-benar tidur atau hanya menutup mata untuk sejenak melupakan dunia yang kini terlalu kejam. Tapi ia tetap duduk di sana, menatap wajah pucat itu dengan air mata yang tak pernah berhenti jatuh, berharap ada seberkas harapan yang bisa kembali tumbuh.

Ia tahu segalanya tak akan pernah sama. Keceriaan Casanova tak akan semudah itu kembali. Tapi sebagai ibu, ia tetap harus berharap karena harapan adalah satu-satunya yang tersisa saat segalanya telah direbut oleh kegelapan.

Perlahan, Bu Rahmi bangkit. Dengan hati-hati ia mengangkat baskom berisi air hangat yang tadi digunakan untuk membasuh tubuh Casanova. Airnya kini keruh, bercampur darah dan keringat, menyimpan luka-luka yang tak kasat mata.

Di tangannya yang lain, ia menggenggam pakaian anaknya yang telah sobek jejak kekejaman yang tak bisa dihapus. Ia memasukkan pakaian itu ke dalam kantong plastik hitam, menyegelnya rapat seolah ingin mengurung segala duka yang melekat di sana.

Lalu ia keluar dari kamar dengan langkah pelan, menahan isak yang terus mengendap di tenggorokan. Ketika ia memberikan kantong itu pada Kayano putranya yang menunggu di luar dengan wajah tegang, ia hanya berkata lirih.

“Buang ini… jauh jauh ya nak.” titahnya.

Dan malam pun kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang tenang. Sunyi yang menggantung di antara duka dan kemarahan… sunyi yang menunggu untuk membalas

Matanya kembali basah. Air mata yang sedari tadi mencoba ia tahan akhirnya jatuh dalam aliran tak tertahan, membasahi pipinya yang sudah berkerut dimakan waktu dan duka. Wajah tuanya tampak semakin renta, seolah dalam semalam puluhan tahun usianya bertambah karena beban yang tak tertanggungkan.

Kayano puteranya tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, menerima kantong kresek hitam berisi pakaian kakaknya yang telah tercabik. Tangannya mengepal erat saat menyentuh benda itu, seolah bisa merasakan sisa kehinaan dan penderitaan yang menempel padanya.

Dengan langkah berat dan rahang mengeras, ia berbalik melangkah ke dapur, lalu masuk ke kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun. Dari dalam kamar Bu Rahmi, terdengar suara tangis pecah, histeris namun tertahan.

Tangis yang digigit dan ditekan, seakan mencoba tidak membangunkan Casanova yang terbaring dalam diam. Suara itu teredam bantal, namun getarannya mengguncang dinding-dinding rumah. Bu Rahmi menangis seperti orang yang baru kehilangan seluruh hidupnya karena memang begitulah rasanya.

Ia menangis bukan hanya karena sedih. Tapi juga karena amarah. Karena penyesalan. Karena rasa bersalah yang menumpuk dan terus menghantui setiap tarikan napasnya. Ia menjerit tanpa suara, mengadu kepada Tuhan dalam sepi malam yang semakin mencekam.

Kayano mendengar semuanya. Ia mendengar tangis ibunya yang seperti suara pisau merobek hati. Dan di sanalah hatinya ikut koyak, hancur dalam diam. Ia masih duduk di bangku SMP, tubuhnya kecil dan belum cukup kuat untuk dunia yang kejam ini.

Tapi malam itu, sesuatu dalam dirinya berubah. Kedua tangannya mengepal kuat, matanya menatap lantai dengan tatapan tajam yang tak biasa. Amarah mulai tumbuh bukan amarah anak-anak biasa. Tapi dendam yang tumbuh perlahan, dingin, dan mematikan.

“Aku akan membalasnya,” gumam Kayano lirih namun tegas, matanya berkilat tajam.

“Aku akan mencari siapa pun yang melakukan ini pada Mbak Nova. Siapa pun dia... harus merasakan balasan yang setimpal. Aku bersumpah... tak akan membiarkan kebiadaban ini berlalu tanpa hukuman.” ucapnya dalam hati.

Pagi datang tanpa cahaya. Langit masih kelabu, menyisakan guratan awan gelap yang belum mau pergi. Hujan memang telah berhenti, tapi hawa dingin masih menggigit kulit seperti dendam malam yang belum tuntas.

Rumah itu tetap sunyi. Tak ada suara ayam, tak ada langkah, hanya desahan angin dan gemeretak daun yang gugur. Di kamar sempit itu, Casanova masih terbaring lemah. Tubuhnya tampak semakin panas demam yang tak hanya berasal dari luka luar, tapi juga dari dalam, dari trauma yang menggerogoti perlahan.

Wajahnya semakin pucat, keringat dingin mengalir dari pelipis, dan kelopak matanya tak pernah terbuka lebih dari sekadar celah. Bu Rahmi duduk di sisi ranjang, kembali mengompres kening putrinya yang terbakar.

Ia tak berkata apa-apa lagi. Doa-doanya kini tak diucap keras hanya bergema dalam hati yang patah. Sementara di sudut rumah yang lain, Kayano duduk membisu, menatap keluar jendela... menunggu hujan benar-benar reda agar ia bisa mengubur bukan hanya pakaian kakaknya, tapi juga amarahnya yang mulai menyala.

Casanova masih terbaring lemah. Napasnya kini tersengal pendek-pendek, seperti tubuhnya menolak bertahan lebih lama dalam penderitaan. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, dan kulitnya terasa panas membakar saat disentuh.

Bu Rahmi menatap putrinya dengan panik yang terbungkam, seolah waktu sedang menipiskan harapan. Dengan hati yang bergejolak, Bu Rahmi akhirnya membuat keputusan yang tidak mudah. Ia harus membawa Casanova ke puskesmas.

Meski seluruh kampung lebih percaya pada pengobatan dukun dan ramuan-ramuan tradisional, kali ini ia memilih menabrak kebiasaan. Nyawa anaknya lebih penting daripada adat yang sudah lama membelenggu.

Perlahan dan penuh kehati-hatian, ia membantu Casanova bangkit dari tempat tidur. Tubuh putrinya terasa ringan, tapi bukan karena sehat melainkan karena sudah terlalu lemah. Gadis buta itu hanya bersandar pasrah, tubuhnya lunglai dalam pelukan ibunya, seolah dunia ini telah menjadi tempat asing yang penuh luka.

Sementara itu, Kayano memaksa untuk ikut. Ia ingin berada di sisi kakaknya, ingin menjaga Casanova dan memastikan tak ada lagi orang yang menyakitinya.

Namun Bu Rahmi menolak dengan lembut. “Kamu harus sekolah, No,” katanya lirih.

“Kamu sebentar lagi ujian, kan. Jangan sampai masa depanmu ikut hancur karena kesedihan ini.” tambah Bu Rahmi.

Meski berat, Kayano akhirnya menurut. Tapi dalam hatinya, rasa khawatir itu tetap menjerat erat

Di sepanjang jalan menuju puskesmas, hujan sudah reda, namun udara masih dingin dan menusuk. Bu Rahmi memapah Casanova pelan-pelan di jalan kampung yang becek.

Namun dingin bukan satu-satunya yang membuat tubuhnya gemetar tatapan orang-orang kampung jauh lebih menusuk daripada udara pagi. Mereka menatapnya. Mata-mata itu seperti jarum tajam, menusuk, dan tak satu pun berpaling.

Bisik-bisik terdengar samar dari balik pintu rumah, dari sudut-sudut jalan yang biasa sepi. Mereka tidak berkata terang-terangan, tapi dari cara mereka memandang, Bu Rahmi tahu... sesuatu berita telah menyebar.

Apa mereka tahu? Tapi dari mana? Malam itu hujan deras, tidak ada yang melihat Casanova pulang. Bukankah jalanan sepi? Bukankah semua orang mengurung diri dalam rumah karena petir dan kilat yang membelah langit?

Atau... mungkinkah mereka hanya menebak-nebak, dan desas-desus itu telah berubah menjadi kabar burung yang menyebar cepat?

BERSAMBUNG...

1
Susi Santi
bgus
Wida_Ast Jcy: tq untuk 5star nya ya😘😘😘
total 1 replies
Susi Santi
up yg bnyak dong thor
Wida_Ast Jcy: ok... say. tq sudah mampir.
total 1 replies
Anyelir
hai kak aku mampir
mampir juga yuk kak ke karyaku
Wida_Ast Jcy: ok say. baiklah...tq ya sudah mampir dikaryaku. 🥰
total 1 replies
Susi Santi
plis lanjut thor
Wida_Ast Jcy: Hi... say. tq ya sudah mampir. Ok kita lanjuti ya harap sabar menunggu 🥰
total 1 replies
Wida_Ast Jcy
jangan lupa tinggal kan jejak nya yah cintaQ. TQ
Wida_Ast Jcy
Jangan lupa tinggal kan jejak nya disini ya cintaq. coment dan like
Wida_Ast Jcy: tq say.... atas komentar nya. yuk ikuti terus cerita nya. jgn lupa subscribe dan like yah. tq 😘
Nalira🌻: Aku suka gaya bahasanya... ❤
total 2 replies
Wida_Ast Jcy
Hi.... cintaQ mampir yuk dikarya terbaruku. Jangan lupa tinggal kan jejak kalian disini yah. tq
Wida_Ast Jcy
😘😘😘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!