Mikayla, wanita pekerja keras yang telah mengorbankan segalanya demi keluarga, justru terbaring sendiri di rumah sakit karena sakit lambung kronis akibat kelelahan bertahun-tahun. Di saat ia membutuhkan dukungan, keluarganya justru sibuk menghadiri pernikahan Elsa, anak angkat yang mereka adopsi lima tahun lalu. Ironisnya, Elsa menikah dengan Kevin, tunangan Mikayla sendiri.
Saat Elsa datang menjenguk, bukan empati yang ia bawa, melainkan cemooh dan tawa kemenangan. Ia dengan bangga mengklaim semua yang pernah Mikayla miliki—keluarga, cinta, bahkan pengakuan atas prestasi. Sakit hati dan tubuh yang tak lagi kuat membuat Mikayla muntah darah di hadapan Elsa, sementara gadis itu tertawa puas. Tapi akankah ini akhir cerita Mikayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Mikayla
Melihat Mikayla yang terjatuh, tak ada satupun yang peduli dan berusaha untuk menolongnya. Mereka bahkan menambahkan sakit nya Dnegan ucapan tuduhan mereka.
"Kalau bukan kamu yang usir, mana mungkin Elsa sampai lari dari rumah?" Nathan lanjut.
"Kakak... kalian percaya aku mengusir dia? Aku hanya diam di kamar... kenapa kalian semua menuduhku?"
Mama Vivi dan Papa Julio hanya menatapnya dingin, tak ada yang membantunya berdiri.
"Sudahlah! Jangan ribut, ini rumah sakit," potong Papa Julio saat sadar banyak mata memperhatikan.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan.
"Keluarga pasien atas nama Elsa?"
"Ya, kami!" seru Mama Vivi.
Mereka semua berjalan ke dokter, meninggalkan Mikayla yang masih terduduk di lantai.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Vivi cemas.
Dokter membuka catatannya. "Kondisinya stabil. Dia hanya kelelahan, kekurangan gizi, dan terkena flu ringan karena hujan. Kami beri infus dan penghangat. Tapi saya sarankan lebih banyak istirahat dan perhatian khusus."
"Terima kasih, Dokter," ucap Julio.
"Boleh saya melihatnya?" tanya Mama Vivi.
"Silakan, tapi jangan terlalu lama. Dia butuh istirahat."
Mereka semua masuk ke ruang perawatan.
Sementara itu, di luar, Mikayla yang masih duduk di lantai akhirnya mencoba berdiri. Tubuhnya limbung. Sekejap kemudian, ia jatuh ke samping dan pingsan.
Seorang pria paruh baya yang baru keluar dari ruang UGD terkejut.
"Dek! Dek! Kamu kenapa?!" serunya panik.
Ia segera memanggil perawat. "Dokter! Ada yang pingsan di lorong!"
Beberapa perawat berlari menghampiri. Mereka mengangkat Mikayla ke atas ranjang dorong dan membawanya ke ruang UGD.
Di ruang lain, keluarga Mikayla masih sibuk dengan Elsa.
Tak satu pun dari mereka menyadari kalau anak perempuan mereka yang satu lagi... sedang tak sadarkan diri.
“Elsa… anak baik.” gumam Mama Vivi pelan, jemarinya mengusap lembut kening anak angkatnya itu yang masih pucat dan terbaring lemas.
Nathan berdiri di sisi kanan tempat tidur, matanya sedikit mengerut tapi penuh rasa lega. “Untung nggak terlalu parah.”
Elsa perlahan membuka matanya. Suaranya lirih. “Ma… Pa… Kak… maaf ya, karena aku, semuanya jadi panik.”
Nathan langsung menggeleng. “Jangan begitu. Tapi kenapa kamu bisa jalan sendirian di tengah hujan seperti itu?”
Elsa menunduk, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku… aku cuma kangen Ayah dan Ibu kandungku. Aku pikir, mungkin kalau aku ke makam mereka, aku bisa tenang. Tapi aku lupa bawa dompet dan aku nggak tahu jalan pulang...”
“Oh, sayang…” ucap Mama Vivi pelan, langsung memeluk Elsa dari sisi ranjang. “Kalau kamu merasa sedih atau ingin ke mana pun, bilang ke Mama. Jangan pergi diam-diam begitu. Mama dan Papa khawatir sekali.”
Elsa terisak pelan. “Maaf,”
“Kamu nggak sendiri, Elsa. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini, jadi kalau ada apa-apa bisa bilang pada kita semua.” ucap Papa Julio, mencoba menenangkan.
“Terima kasih.” ucap Elsa lalu melihat seorang laki-laki lain yang tak ia kenal.
Ryan yang menyadari Elsa menatapnya langsung mengenalkan diri, “Hai dek, aku kakak tertua. Namaku Ryan, kalau ada apa-apa, katakan saja pada kakak ya!”
“Baik kak, terimakasih!”
“Em,” ucap Ryan sambil ikut mengelus rambut Elsa dengan sayang. Elsa tersenyum menatap ke arah Ryan.
Mama, Papa dan Nathan melihat itu ikut tersenyum, anak dan adik mereka yang baru ini sangat polos.
Tiba-tiba Elsa melihat di sekeliling dan tak melihat Mikayla. “Ma… Kak Mikayla mana?”
Ke empatnya saling berpandangan. Baru sadar.
“Iya ya... kemana Mikayla, kenapa ia tak ikut masuk ke sini?” Nathan memicingkan mata.
“Mungkin masih diluar!” ucap Ryan dengan datar.
Mama Vivi menenangkan Elsa. “Sudah, sayang. Nggak usah khawatir. Kak Mikayla pasti baik-baik saja. Sekarang kamu istirahat dulu, ya.”
Sementara itu, di ruang UGD...
Suara monitor jantung terdengar pelan, bersahutan dengan tetesan infus yang mengalir ke tangan Mikayla.
Dokter berdiri di sisi ranjang, melihat kondisi Mikayla yang kini terbaring lemah dengan wajah pucat dan tubuh menggigil meski sudah dibalut selimut tebal. Pakaian basahnya sudah diganti oleh perawat, rambutnya pun dikeringkan sekadarnya agar tidak memperparah kondisinya.
“Pasien ini demam tinggi. Sekitar 39 derajat. Parahnya, ini bukan demam biasa. Dia mengalami reaksi tubuh terhadap suhu dingin dan air hujan,” ucap dokter dengan nada khawatir.
Perawat yang berada di samping ranjang mengangguk. “Iya, Dok. Tadi ada yang bilang dia basah kuyup kehujanan. Bahkan sempat dipaksa turun dari mobil oleh seorang pria… katanya saudaranya sendiri.”
Dokter mendesah berat. “Saya tahu betul jenis tubuh seperti ini. Ada pasien dengan kondisi tertentu yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu ekstrem, terutama air hujan. Bisa berujung hipotermia ringan dan komplikasi.”
Dokter melirik ke sekitar. “Mana keluarganya?”
Perawat menggeleng pelan. “Tidak ada yang menemani, Dok. Menurut info dari pasien lain, tadi sempat terdengar mereka bertengkar di koridor. Sepertinya… anak ini sedang bermasalah dengan keluarganya. Dan salah satu keluarga nya juga sedang dirawat dikamar lain.”
“Luar biasa,” sindir dokter lirih. “Satu anak ditinggal sendirian di UGD seperti ini, sementara semua perhatian diberikan ke salah satu keluarga nya yang lain. Apa ini bukan anak kandung mereka?”
Ia menoleh ke perawat. “Tolong. Sampaikan ke pihak keluarga. Beri tahu mereka bahwa anak perempuan mereka yang satu ini juga dirawat. Segera.”
“Baik, Dokter.”
Dokter menuliskan sesuatu di catatan medisnya, sebelum melirik kembali pada Mikayla. “Anak ini harus istirahat total. Jangan sampai suhu tubuhnya turun lagi. Awasi ketat.”
“Siap, Dok.”
Dokter melangkah keluar, sementara perawat mengecek ulang infus dan selimut Mikayla. Di wajah perawat itu ada rasa iba. Ia bergumam pelan, seolah berbicara pada Mikayla yang tak sadarkan diri.
“Semoga keluargamu segera sadar, Nak… bahwa kamu juga layak di sayangi.”
Mikayla memejamkan mata, tubuhnya masih lemas. Namun dalam tidur tak sadarnya, ia sedang berada di dunia lain—dunia yang sangat jauh berbeda dari kenyataan yang kini dihadapinya.
Sebuah mimpi indah.
Di sana, ia melihat dirinya tersenyum bahagia.
Papa Julio menggandeng tangannya dengan penuh kasih, sementara Mama Vivi berjalan di sampingnya, merapikan rambutnya yang tertiup angin. Mikayla tertawa ceria, suaranya mengisi udara seperti nyanyian musim semi.
Nathan dan Ryan tampak saling berdebat kecil, berebut siapa yang akan membawanya naik wahana terlebih dulu.
“Udah, kamu aja deh, aku capek,” ujar Ryan setengah bercanda, lalu mengangkat Mikayla di punggungnya.
“Kakak Ryan kuat banget!” Mikayla tertawa lebar, dan Nathan ikut mengejar sambil menggoda.
Hari itu terasa sempurna. Seolah tak ada satu pun luka di dunia ini.
Kemudian hujan turun perlahan. Hujan pertama setelah musim panas panjang.
Ryan membuka jaketnya, mengangkatnya di atas kepala Mikayla sebagai pengganti payung. “Adikku gak boleh sakit,” katanya lembut, senyumnya tulus.
Mikayla menatapnya, hatinya hangat.
Namun…
Langit dalam mimpinya mendadak gelap.
Suasana berubah, perlahan orang-orang yang dicintainya menjauh darinya. Wajah mereka tak lagi hangat, hanya ada tatapan asing, dingin, dan penuh tuduhan.
Lalu datanglah sosok Elsa.
Elsa tersenyum lebar, mengambil tempat di antara mereka. Tangannya menggenggam erat tangan Mama dan Papa, wajahnya manis dan penuh kelembutan palsu.
Sedangkan Mikayla berdiri sendirian, di tengah hujan, tubuhnya menggigil tanpa pelindung. Jaket Ryan kini berada di bahu Elsa.
"Aku juga anak mereka sekarang," suara Elsa terdengar di telinga Mikayla, menyayat hati.
Ia berteriak memanggil papa, mama, kakaknya, tapi tak ada satu pun yang menoleh.
Dia terus berdiri di tengah hujan, tubuhnya semakin lemah.
Hingga akhirnya ia melihat dirinya sendiri, terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Mulutnya berdarah. Perutnya melilit kesakitan. Tak ada yang datang, tak ada yang menemani. Ia sendirian. Sakit. Terlupakan.
Dan di dunia nyata, dalam tidurnya, air mata menetes pelan dari sudut mata Mikayla.
Tertinggal di pipinya yang pucat, menjadi saksi diam dari luka masa lalu yang tak pernah sembuh.
buktikan bahwa kamu bisa bahagia dan menjadi orang besar tanpa harus memakai embel embel nama keluarga tocix itu
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
Mikayla semangat 💪
bakal nyesel nanti keluarganya.