NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENANTIAN CINTA HALAL

Malam mulai merayap, menyusup masuk lewat sela jendela. Lampu ruang tengah menyala temaram. Bayu duduk sendirian, bersandar di sofa panjang dengan mushaf terbuka di pangkuan.

Matanya menelusuri ayat-ayat tanpa benar-benar menyerap isinya. Fikirannya masih tersangkut di teras belakang ndalem, di wajah Aila yang tampak murung sore tadi.

Suara langkah pelan membuat Bayu menoleh. Azela muncul dari arah koridor, mengenakan gamis rumah dan jilbab tipis. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya berusaha hangat.

“Maaf ganggu, Mas…”

Bayu mengangguk kecil. Ia menutup mushaf, lalu menggeser duduknya sedikit ke samping, memberi ruang.

Azela tak duduk terlalu dekat. Ia memilih duduk di ujung sofa lain, menjaga jarak yang sudah sejak awal digariskan oleh Bayu.

Sesaat hening.

“Aku tahu, Mas,” ujar Azela tiba-tiba, suaranya pelan tapi tenang. “Kita berdua sama-sama tahu, kalau pernikahan ini… hanya sah di mata manusia. Bukan di hadapan Allah.”

Bayu menoleh pelan. Matanya teduh, tak memotong.

“Aku nggak akan menghalangi kalau Mas Bayu mau menikah lagi. Aku sadar diri. Mas sudah sangat baik, terlalu baik malah. Sudi meminjamkan nama, meminjamkan rumah, dan sabar menghadapi semua ini…”

Bayu menarik napas dalam. Tak ada respons, hanya suara detak jam dinding yang jadi saksi bisu.

“Yang kulakukan ini bukan bentuk kebaikan, Azela,” gumam Bayu akhirnya. “Ini bentuk tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Karena membiarkanmu sendiri saat itu… bisa jadi sama seperti membiarkanmu mati dalam keputusasaan.”

Azela menunduk. Matanya mulai berkaca.

“Mas…” seru Azela. Namun Bayu menyelanya.

“Azela, Jangan berharap lebih pada pernikahan ini. Aku menjaga batas karena aku takut pada Allah. Aku hanya bisa jadi pelindung selama anak itu belum lahir. Setelah itu… kita akan duduk lagi membicarakan semuanya.”

Kata-kata Bayu terdengar dingin, tapi tak ada satu pun yang terucap tanpa rasa tanggung jawab.

Seketika, Azela menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.

Namun rasa penasaran akhirnya mendesak.

“Boleh aku tanya sesuatu, Mas?”

Bayu menoleh, sekilas.

“Silakan.”

“Kalau Mas bilang nggak cinta aku… apa ada seseorang yang Mas cintai?”

Bayu terdiam. Lama. Sangat lama.

Azela sudah mengira tak akan dapat jawaban. Tapi suara berat itu akhirnya terdengar, pelan, nyaris seperti bisikan yang tak ingin didengar siapa pun.

“Ada.”

Azela menegakkan punggungnya.

“Seseorang yang setiap hari… diam-diam aku tunggu. Tapi aku tahu, dia tak pernah menungguku. Bahkan mencintaiku pun, mungkin tidak.”

“Kenapa masih menunggu?”

Bayu mengangkat wajahnya menatap langit-langit. Seolah mencari jawaban di antara kisi-kisi takdir yang rumit.

“Aku nggak pernah berharap dibalas. Bisa melihat wajahnya… mendengar dia bicara, itu cukup. Kadang cinta tidak harus dimiliki. Dan kadang… mencintai dari jauh justru lebih menjaga.”

Azela membisu. Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena cemburu. Tapi karena merasa begitu asing di sisi pria yang bahkan ia panggil suami.

Bayu menunduk kembali. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas, seperti menutup pembicaraan.

“Jadi sekali lagi, Azela. Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Karena tidak ada cinta di antara kita. Yang ada hanya tanggung jawab, dan upaya untuk tetap berada dalam jalan yang diridhai Allah.”

Azela menggigit ujung jarinya, menahan air mata yang hendak tumpah.

Bayu bangkit dari duduknya, mengatur letak mushaf di atas rak, lalu berjalan pelan menuju kamarnya tanpa menoleh lagi.

Langkahnya tenang.

Tapi suara pintu yang tertutup itu menyisakan hening panjang.

Dan di ruangan yang hanya diisi satu lampu temaram, Azela menggenggam perutnya yang masih datar, memeluk dirinya sendiri.

Bayu memang bukan laki-laki sembarangan. Tapi justru karena itu, hatinya terlalu kokoh untuk ditembus.

Azela meringkuk di pojok ruang tengah, setelah Bayu berlalu masuk ke kamar. Tangisnya pecah, pelan, tertahan, seperti hendak disembunyikan dari langit sekalipun.

Bukan karena Bayu keras, bukan karena dinginnya kata-kata. Tapi justru karena sikap Bayu yang begitu berwibawa, menjaga, tak menyentuh, tak menuntut apa-apa... membuatnya merasa makin kecil, makin hina.

"Maafkan aku, Mas..." bisik Azela, menggenggam perutnya yang belum terlalu terlihat. "Aku malu… terlalu malu…"

Tangisnya pecah di dalam diam. Satu-satunya saksi hanya dinding dan lantai dingin rumah itu. Tapi sesak di dadanya mengalir, menyatu dalam isakan yang tak berhenti hingga kelopak matanya lelah sendiri.

Pagi hari...

Matahari mulai menyelinap dari balik tirai. Wangi teh hangat dan roti panggang memenuhi ruang makan. Azela menata sarapan dengan wajah lelah namun lebih tenang.

Bayu baru saja selesai salat duha. Ia berjalan pelan menuju meja makan. Mengenakan kemeja bersih dan celana bahan, rambutnya sedikit basah, baru selesai mandi.

“Silakan sarapan, Mas,” ucap Azela lembut, tak berani menatap langsung.

Bayu mengangguk pelan. Ia duduk di seberangnya.

Mereka sarapan dalam keheningan. Hanya terdengar suara sendok menyentuh piring, dan sesekali deru napas.

Sampai akhirnya Azela memberanikan diri bersuara.

“Mas Bayu…”

Bayu menoleh pelan. Sorot matanya biasa saja, tapi cukup untuk membuat Azela gugup.

“Boleh aku minta sesuatu…?” Suaranya nyaris bergetar.

Bayu diam, seakan mengisyaratkan, 'lanjutkan'.

“Aku ingin Mas Bayu mengajariku ilmu agama…”

Kening Bayu sedikit mengernyit. Tangannya yang tadi hendak menyendok nasi, terhenti di udara.

“Ilmu agama?” tanyanya datar, tapi terdengar bingung.

Azela mengangguk pelan. Pandangannya jatuh pada cangkir teh.

“Aku ingin… jadi ibu yang baik untuk anakku kelak. Aku nggak mau anak ini tumbuh dalam kebodohan yang sama kayak aku, Mas…”

Bayu masih diam. Sorot matanya tak bisa ditebak.

“Aku tahu. Aku ini banyak dosa. Tapi aku masih ingin belajar. Kalau Mas berkenan… tuntun aku pelan-pelan.”

Bayu menyandarkan punggungnya ke kursi. Nafasnya berat.

“Kamu yakin?” Suaranya tenang, tapi tajam. “Ilmu agama bukan untuk dipelajari sekadar agar terlihat baik. Tapi untuk diamalkan, dijaga, dan diperjuangkan, siap diingatkan saat kamu salah, dan siap sabar meski tidak dipuji.”

Azela mengangguk lagi, perlahan. Kali ini dengan tatapan sungguh-sungguh.

“Aku siap, Mas… asal Mas mau bimbing aku.”

Bayu kembali menatapnya dalam. Hening sejenak. Lalu pria itu menarik napas panjang.

“Kalau begitu, nanti malam, kita mulai dari yang paling dasar. Tauhid.”

Azela mengangguk. Matanya berkaca. Bukan karena sedih, tapi karena merasa... masih diberi kesempatan.

Bayu bangkit dari kursinya. Ia menaruh gelas teh yang sudah kosong ke meja cuci, lalu beranjak menuju pintu.

Tapi sebelum keluar, pria itu menoleh sebentar.

“Bersihkan hatimu dulu, Ze. Ilmu nggak akan masuk kalau niatnya masih kabur.”

Setelah itu, ia pergi.

Sementara Azela berdiri diam di depan meja makan, menggenggam cangkirnya erat. Ada embun kecil yang menggenang di kelopak matanya.

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!