Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pagi itu di Istana Langit Jing, suasana mendung telah berubah menjadi terang. Bukan karena cuaca, tapi karena Ibu Suri akhirnya makan—dan itu semua berkat satu mangkuk bubur putih buatan Selir Mei Lin.
Dan seperti biasa… berita baik di istana selalu datang dengan dua buntut panjang: kekaguman dan kecemburuan.
“Selir Mei Lin dipanggil ke Paviliun Mawar Emas.”
Para pelayan di paviliun Mei Lin berlarian membantu memakaikan jubah terbaiknya. Rambutnya disanggul rapi, tapi wajah Mei Lin tetap santai seperti biasa. Sambil menggigit kue kering, ia bertanya ke Qin Mo:
“Aku dipanggil karena buburku? Jangan-jangan beliau minta lagi semangkuk?”
Qin Mo menjawab, “Kalau begitu, bawakan termos sekalian.”
Setiba di Paviliun Mawar Emas, Ibu Suri sudah menunggu. Tak seperti biasanya, senyumnya kini tampak hangat dan ringan.
“Mei Lin,” ucapnya. “Duduklah di dekatku.”
Para pelayan menatap dengan mata membelalak. Tak ada satupun selir yang pernah dipersilakan duduk di sebelah Ibu Suri seperti ini.
Dengan penuh hormat, Mei Lin duduk di atas bantal kecil, tetap menunduk sopan.
Ibu Suri menyentuh tangannya. “Kau bukan hanya memberiku makanan. Tapi juga rasa tenang yang telah lama hilang. Di usia tua, bukan kemewahan yang membuat hati damai. Tapi perhatian kecil yang tulus. Dan buburmu… sungguh seperti pelukan seorang ibu.”
Mei Lin tercekat sejenak. “Saya… tidak bisa berkata-kata, Yang Mulia.”
“Tapi aku bisa,” balas Ibu Suri sambil tertawa pelan. “Sebagai balasannya, aku ingin kau menemaniku sarapan setiap pagi.”
“Eh?” Mei Lin spontan menoleh. “Maksud saya… saya merasa terhormat, Yang Mulia.”
Dan sejak saat itu, kursi kecil di sebelah Ibu Suri setiap pagi telah memiliki pemilik tetap: Mei Lin.
Hari berikutnya, tepat saat mentari mencapai puncak, Mei Lin baru kembali ke paviliunnya dari sarapan bersama Ibu Suri. Ia baru saja duduk ketika pelayan datang dengan wajah tegang:
“Yang Mulia Kaisar akan datang ke Paviliun Anggrek Putih … sekarang!” ujar Lian memberi tau dengan tergesa-gesa
“APA?” seru Mei Lin sambil menyemburkan teh.
Qin Mo sampai menyodorkan serbet. “Baru juga duduk.”
Tak lama kemudian, Kaisar muncul. Langkahnya tenang, jubah emasnya berkibar lembut, wajahnya tetap dingin seperti biasa… namun matanya tampak hangat saat memandang Mei Lin.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih,” ucapnya singkat.
“Eh, paduka, hamba hanya membuat bubur—”
Kaisar mengangkat tangan. “Dan itu bubur paling bernilai yang pernah ada.”
Ia memberi isyarat, lalu seorang pelayan membawa masuk sebuah kotak kayu ukiran phoenix.
“Ini hadiahku,” kata Kaisar. “Khusus untukmu.”
Saat dibuka, semua mata membelalak.
Di dalamnya ada buku-buku langka tentang pengobatan dan resep herbal, lembaran yang hanya boleh diakses oleh istana dalam, serta sebuah kain bordir langka dari Negeri Utara, hanya dimiliki kalangan kerajaan.
Mei Lin melongo. “Ini… untuk saya?”
“Untukmu. Karena tak semua orang bisa menyelamatkan ibuku dan membuatnya tersenyum dalam waktu bersamaan.”
Dan seperti yang bisa diduga…
Kabar kedekatan Mei Lin dengan Ibu Suri dan hadiah langsung dari Kaisar, meledak di antara para selir.
Selir Lan melempar kendi teh ke lantai.
“Apa istana ini kekurangan rempah sampai seorang selir membawa bubur bisa jadi kesayangan semua orang?!”
Selir Ying meringis saat mendengar para pelayannya membicarakan “Mei Lin yang duduk di sebelah Ibu Suri”. Ia langsung memerintahkan semua koki pribadinya untuk belajar membuat bubur. “Satu sendok pun harus lembut seperti awan!”
Selir Hua—yang paling gila hormat—langsung memesan permadani baru dan menyewa penyair istana untuk membuat puisi pujian tentangnya, berharap bisa menyaingi ketenaran bubur.
Namun yang terjadi malah lucu.
Kaisar melewati taman tempat para selir duduk sore itu, lalu tiba-tiba melirik ke arah bunga krisan dan bergumam:
“Entah kenapa aku jadi suka bunga ini… karena baunya mirip bubur…”
Lalu pergi.
Selir Hua memekik pelan.
“Krisan? Bukankah itu yang dikirim ke Paviliun Mei Lin?”
Selir Ying mendesis, “Bunga pun kini kalah pamor dengan bubur…”
Mei Lin: Tetap Santai, Tetap Tak Berniat Cari Muka
Sementara itu, Mei Lin kembali duduk di depan meja kecilnya, membuka satu buku herbal hadiah Kaisar, lalu tersenyum ke arah Qin Mo.
“Bubur ternyata bisa menyelamatkan hidup ya.”
Qin Mo mengangguk sambil berjaga di depan pintu yang terbuka “Tapi mungkin… buburnya bukan dari beras. Tapi dari niat.”
Mei Lin mengangguk bijak.
Lalu mengunyah kue.
“Biar begitu, tetap saja. Lain kali, aku mau buatkan teh telur. Siapa tahu bisa dapat kuda.”
Qin Mo tertawa sampai tersedak.
Beberapa hari setelah bubur legendaris itu, Ibu Suri mulai menunjukkan tanda-tanda semangat hidupnya kembali. Ia tampak lebih segar, bahkan meminta dibacakan kitab-kitab lama oleh pelayan kesayangannya. Namun, ada satu hal yang masih mengganggunya.
“Aku ingin pergi ke Kuil Gunung Qilin. Sudah bertahun-tahun aku tak ke sana. Hanya di sanalah aku bisa benar-benar merasa damai.”
Para dayang tentu saja kaget. Seorang Ibu Suri tidak bisa sembarangan keluar istana, apalagi mendaki gunung.
Namun Ibu Suri hanya tersenyum tipis.
“Tenang saja. Kita akan menyamar. Dan aku ingin ditemani Mei Lin.”
Mei Lin nyaris tersedak saat mendengar ajakan itu.
“Hamba?! Menemani Yang Mulia Ibu Suri mendaki gunung… dalam penyamaran…? Tidak bisakah kita sekadar main catur saja di taman?”
Tapi Ibu Suri menatapnya dalam-dalam. “Kalau kau bisa membuatku makan, kau pasti bisa membuatku tertawa di jalan.”
Dan begitulah, di pagi yang cerah namun penuh rahasia, rombongan kecil menyelinap keluar istana.
Ibu Suri menyamar sebagai nyonya tua kaya dari selatan. Mei Lin menjadi pelayan pribadi yang "bawel tapi setia". Dua pengawal ikut mendampingi mereka… satu di antaranya berperawakan tegap dan berbicara sangat hemat.
Mei Lin menatap pengawal yang satu ini dengan curiga.
“Kenapa dia jalannya sangat… familiar?” bisiknya pada Qin Mo, yang juga ikut dalam penyamaran sebagai pembantu bawa barang.
Qin Mo melirik. “Entahlah. Tapi tadi pagi dia membawa botol parfum Kaisar. Katanya ‘kebiasaan dari rumah’.”
Mei Lin langsung mencurigai.
Tiba di Kuil dan Insiden Kacau Tapi Suci
Kuil Gunung Qilin adalah tempat damai di puncak bukit dengan udara segar, wewangian dupa, dan pemandangan indah. Ibu Suri tampak bahagia bisa berjalan pelan dan berbincang santai.
Namun tentu saja… tidak lengkap kalau Mei Lin tak membuat sesuatu jadi konyol.
Saat hendak menyalakan dupa persembahan, ia bersin.
Bukan satu kali.
Tapi empat kali berturut-turut—dan setiap kali, apinya padam kembali.
Biksu kepala menatapnya dengan heran. “Adakah dewa yang tidak berkenan…?”
Mei Lin tertawa gugup. “Mungkin dewa sedang tertawa juga.”
bersambung
semoga sampe tamat ya Thor 🥰🥰
semangat nulisnya...
sehat selalu ya 🥰🥰