Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemunculan Pria Masa Lalu
‘Ceklek’
Pintu apartemen terbuka pelan.
Aluna masuk lebih dulu, langkahnya berat. Ia menunduk dan melepaskan sepatunya satu per satu dengan kaki, bukan tangan. Tumit tingginya jatuh dengan bunyi ringan di lantai marmer.
Dengan pundak sedikit turun, Aluna menyusuri koridor sempit menuju dapur. Tanpa menyapa, tanpa ekspresi.
Lampu dapur menyala otomatis saat ia masuk. Ia menarik kulkas, mengambil sebotol infused water yang sempat ia siapkan pagi tadi—jeruk nipis dan mentimun.
Tutup botol diputar cepat. Ia meneguknya langsung dari botol, tanpa gelas.
Tak lama kemudian, Alaric masuk. Langkahnya tenang, tapi nadanya tidak.
Ia melepas jasnya, menggantungnya sembarangan di kursi dekat meja bar dapur. Lalu melonggarkan dasi perlahan, tanpa menatap langsung ke arah Aluna.
“Aku lihat berita baru barusan. Judulnya... ‘Pertemuan Manis Artis Top dengan CEO Agensi Pertama. Aluna Peluk Pria Misterius dengan Riang.’”
Aluna menurunkan botol perlahan. Ia menarik napas dan menoleh, satu tangan masih memegang leher botol.
“Dan? Kamu gak senang lihat aku bahagia?”
Alaric mengangkat bahu pelan.
“Aku cuma heran. Kamu bisa peluk pria lain di depan kantor suamimu sendiri. Di depan media. Di depan sponsor. Di depan semua orang.”
Aluna mendengus. Ia menaruh botol ke meja agak keras. “Oh, jadi kamu peduli sekarang? Kamu yang bilang sendiri semua ini cuma pencitraan.”
“Pencitraan atau bukan, kita masih jadi bahan berita. Kamu terlalu blak-blakan,” ucap Alaric datar, tapi dalam. “Terlalu nyaman menunjukkan sisi yang seharusnya tidak diumbar—apalagi dengan pria yang bukan aku.”
Aluna melipat tangan di dada. “Aku cuma peluk sahabat lama. Bang Kenzie itu keluarga di awal karir aku. Gak semua pria yang dekat sama aku harus kamu curigai.”
“Dan gak semua sentuhan harus direkam kamera,” ucap Alaric menyeringai sinis. “Tapi kamu, Al, selalu lupa mana panggung... mana kenyataan.”
Diam.
Mata mereka bertemu. Tertantang. Tajam. Tapi di balik itu ada ketidakpastian, dan sesuatu yang makin lama makin rumit untuk diabaikan.
Setelah adu tatap dan saling sindir yang membakar udara dapur, Aluna memalingkan wajah. “Aku malas ribut sama kamu.”
Ia mengambil botol airnya, lalu berjalan pelan ke arah kamar utama. Langkahnya sedikit gontai, seperti beban emosi tadi masih menempel di pundaknya.
Alaric tak menahannya. Ia hanya berdiri di dapur, melepas dasinya satu tangan, lalu menarik ujung kemeja keluar dari celana. Napasnya berat. Antara kesal, bingung, dan… mungkin, sedikit menyesal.
Dari kejauhan, terdengar suara shower menyala. Gemuruh air mengguyur keramik kamar mandi. Konstan. Ritmis. Tapi ada yang aneh… Alaric berhenti.
Telinganya menangkap suara… lain. Pelan. Terputus-putus. Tertelan derasnya air tapi tetap terdengar.
Isakan.
Bukan suara akting. Bukan suara sinetron.
“Al…?”
Alaric memanggil dari luar pintu. Tidak ada jawaban. Ia menyentuh knop pintu. Pelan. Tak dikunci.
Perlahan ia mendorong pintu terbuka. Uap hangat langsung menyergap wajahnya. Cermin penuh embun. Lantai basah sebagian.
Dan di sudut, tepat di bawah shower yang sudah di matikan setengah, Aluna duduk di lantai. Bersandar ke dinding. Tubuhnya hanya dibalut pakaian dalam, rambut basah menjuntai, mata tertutup, air mata bercampur sisa air shower.
Bahu gadis itu naik turun pelan. Tangannya menggenggam lutut sendiri. Terlihat begitu kecil, begitu tidak berdaya.
Alaric terpaku.
Ini… bukan Aluna yang tersenyum ke ribuan kamera. Bukan Aluna yang sarkastik atau keras kepala. Ini Aluna yang kehilangan segalanya.
Yang dipaksa menikah, dijadikan alat pencitraan, dan ditinggal keluarganya secara tragis.
Pelan-pelan, Alaric berlutut di dekatnya. “Al…” Suaranya nyaris seperti bisikan.
Aluna membuka mata. Matanya merah, bulir air tak henti turun di pipi. Ia tidak bicara. Hanya menunduk… lagi.
Alaric ingin menyentuhnya, tapi tangannya ragu. Sejenak, ia hanya menatap, diam. Merasakan sesak yang tidak ia mengerti.
“Aku… terlalu keras tadi, ya?” gumamnya akhirnya. “Aku cuma… Aku gak tahu cara bicara yang nggak nyakitin orang.”
Aluna masih tidak menjawab. Tapi kini… tubuhnya sedikit condong ke arah Alaric. Seolah butuh sandaran. Sekecil apapun.
Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, Alaric merasakan rasa bersalah... bukan karena pencitraan gagal.
Tapi karena dia lupa bahwa perempuan yang duduk di depannya ini bukan hanya istri di atas kertas.
Lalu… Aluna berbicara.
Perlahan. Dengan suara parau dan patah-patah karena sesenggukan.
“Boleh nggak… aku kuliah lagi…? Aku… cuma lulusan SMA. Masih cuti, tapi… aku pengin lanjut. Nggak mau cuma dikenal karena wajah atau skandal.”
Alaric mengangkat alis sedikit. Lalu menunduk dan tersenyum kecil. “Tentu boleh. Kamu nggak perlu izin buat itu, Al.”
Aluna memejamkan mata sebentar. Sekilas seperti lega, tapi juga lelah karena harus meminta sesuatu yang sederhana.
Alaric berkata, “tapi jangan lagi nanya gitu sambil nangis dan cuma pakai underwear. Bisa-bisa aku nggak konsen nyari kampus, malah mikir yang lain.”
Aluna menatapnya sejenak, lalu tersenyum lirih. Ia mencoba berdiri—pelan, tubuhnya masih sedikit lemas.
“Alaric… Keluar, dong! Aku mau mandi…”
Alaric justru tertawa ringan. “Malah nyuruh pergi. Padahal situasi pas banget buat hemat air dan waktu.”
Aluna melotot kesal, tapi senyumnya sulit disembunyikan. Ia berdiri cepat, bermaksud mendorong Alaric keluar—
Tapi—kakinya terpeleset.
“Akhh—!”
Tubuh Aluna terhuyung ke depan, dan tanpa sempat menahan diri, ia jatuh tepat ke arah Alaric yang juga spontan bergerak menangkap.
‘Brugh!’
Mereka berdua terjatuh ke lantai basah. Alaric telentang. Aluna di atasnya. Rambut basahnya menutupi sebagian wajah pria itu.
Beberapa detik hening.
Mata mereka bertemu. Dekat. Napas mereka bersentuhan.
Alaric tertawa kecil di bawah sana. “Kalau ini bukan takdir, aku nggak tahu apa lagi.”
Aluna menutup wajahnya dengan tangan. “Bodoh,” desisnya.
Tapi ia tidak buru-buru berdiri.
...***...
Pintu apartemen terbuka sebentar dan langsung ditutup kembali oleh Aluna.
Surya masuk dengan dua kantong kertas bertuliskan logo restoran favorit Aluna. Aroma daging panggang, sup pedas, dan kimchi langsung memenuhi ruangan.
“Princess Al sudah makan belum?” Suara Surya seperti biasa, ceria.
Aluna mengenakan piyama satin abu muda dan rambut diikat seadanya. “Belum. Tapi lo salah orang, Sur. Gue nggak pesan apa-apa.”
Surya meletakkan kantong di meja makan. Tangannya cekatan menyusun piring dan sendok seperti biasa, dengan keahlian manajer setia.
“Bukan lo yang minta. Tapi suami lo.”
Aluna mengernyit. Ia duduk perlahan di kursi bar meja makan, meraih sumpit, dan membuka tutup makanan.
“Serius? Dia?” Suapan pertama masuk ke mulut. Matanya langsung berbinar. “Ini… favorit gue sejak lama…”
Surya tertawa sambil duduk di seberangnya. “Iya. Makanya gue pikir lo yang minta ke dia. Ternyata dia minta langsung. Tanpa penjelasan.”
Aluna berhenti mengunyah sejenak. Ada sesuatu yang bergerak samar di dadanya.
Surya menatap ekspresi Aluna lalu menyengir. “Duh, jangan bilang lo mulai deg-degan.”
Aluna melotot pelan. “Nggak lah!”
“Lo gak bisa bohongin gue, Al,” ucap Surya lalu berjalan menjauh. “Gue pamit dulu ya. Takut ganggu pasutri pagi hari.”
Aluna tertawa pelan, lalu meneguk air. Tapi kemudian matanya melirik ke arah pintu kamar.
Pintu itu tertutup. Lampu bawahnya remang. Alaric pasti sudah tidur. Ia bilang tadi sedang pusing karena kerjaan menumpuk.
...***...
Langit pagi itu cerah. Udara masih segar saat mobil Van hitam berhenti tepat di depan gerbang kampus yang tampak ramai oleh mahasiswa yang hilir mudik.
Aluna keluar dengan senyum cerah. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist, dan tote bag berisi beberapa buku dan alat tulis. Rambutnya digerai natural, tanpa make-up berlebihan, hanya bedak tipis dan lipstik nude.
Surya turun dari kursi kemudi. Membuka pintu belakang, menyerahkan botol minum.
“Hari pertama kuliah lagi harus semangat. Jangan ngambek kalau dosennya gak tahu lo artis,” goda Surya.
“Justru gue berharap gak ada yang ingat.” Aluna terkekeh sambil menerima barangnya.
Surya mengangkat jempol. “Sukses, Princess Al.”
Aluna melambaikan tangan kecil. “Thanks, Pak Manajer!” Ia berbalik, melangkah melewati gerbang kampus.
Langkahnya ringan. Tatapannya hangat menatap gedung-gedung yang dulu pernah menjadi saksi perjuangannya—sebelum dunia hiburan menariknya pergi.
Saat membelok di antara gedung perkuliahan…
‘Brugh!’
Tubuhnya menabrak seseorang. Beberapa buku jatuh ke lantai.
Aluna tersentak. “Astaga! Maaf banget!” Ia langsung jongkok, memungut buku-buku yang berserakan di lantai koridor.
Satu per satu dikumpulkan sambil menunduk.
“Saya nggak lihat arah…”
Lalu saat tangan mereka bersamaan memungut buku terakhir…
Mereka bertatapan.
Tatapan itu berhenti sejenak.
Sunyi.
“Bang Kenzie?” Suara Aluna tercekat.
Pria itu tersenyum tipis.
Masih dengan tatapan tajam penuh percaya diri. Rambutnya kini lebih rapi, berkacamata bulat tipis, mengenakan jas semi-formal dengan ID card kampus tergantung di dada.
“Kita ketemu lagi,” katanya santai. “Di kampus. Bukan di lokasi syuting.”
Aluna berdiri perlahan, masih belum percaya. “Jangan bilang… Bang Kenzie jadi dosen di sini?”
Kenzie terkekeh pelan, mengambil kembali bukunya. “Gue lagi ambil S3 Marketing.”
Aluna mengangguk pelan. “Wow… dunia sempit, ya? Dulu Abang CEO agensi gue. Sekarang… bisa-bisa kita sekelas?”
Kenzie menyilangkan tangan, matanya tajam tapi senyumnya tenang.
“Mungkin bukan sekelas. Tapi gue tetap senang ngeliat mantan artis gue kembali jadi mahasiswi. Itu berarti lo masih punya tujuan, Al.”
Aluna menggigit bibir bawahnya, malu-malu. “Gue cuma pengen seleseiin apa yang udah gue mulai, Bang.”
Mereka saling tatap sebentar, lalu Aluna berdehem. “Gue harus ke kelas dulu. Dosen gue killer.”
“Tentu. Kita bakal sering ketemu, ya.” Kenzie melambaikan tangan ringan.
Aluna berbalik, melangkah cepat. Tapi dadanya terasa lain. Ada debar tak biasa, mungkin karena nostalgia… atau karena tatapan pria dari masa lalu yang kini muncul di tempat yang tak terduga.