Cerita ini season dua dari Istri Kesayangan Bule Sultan. Bercerita tentang perseteruan antar ayah dan anak yang berlomba-lomba merebut perhatian Mommy nya.
"Hari ini Mommy akan tidak bersama ku."
"Tidak! Mommy milik adek!"
"Kalian berdua jangan bertengkar karena karena Mommy akan tidur dengan Daddy, bukan dengan kalian berdua."
"Daddy!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 9
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, pada pukul empat sore. Matahari masih menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Begitu roda pesawat menyentuh landasan, Aidan yang semula tertidur lelap, langsung bangun.
Dia mendongak dan melirik ke luar jendela. “Kita udah sampai?” tanyanya dengan mata membulat penuh semangat.
“Iya, kita udah di Indonesia, Sayang,” jawab Maizah sambil mengusap rambut Aidan yang sedikit kusut.
Matthew, yang sudah terjaga lebih dulu, tersenyum. “Wah... kapan terakhir aku ke sini ya mom? Rasanya kayak berbeda gitu,"
"Lebaran tahun lalu sayang, ayo turun."
Setelah proses imigrasi dan pengambilan bagasi selesai, mereka melangkah keluar dari bandara dengan koper-koper kecil dan robot Max yang duduk manis dalam ransel transparan di punggung Aidan.
“Max masih nyala, Aidan?” tanya Matthew sambil melirik ransel adiknya.
“Masih dong,” jawab Aidan, menepuk ranselnya. “Dia juga nggak sabar pengen lihat rumah Mommy waktu kecil!”
Karena Maizah ingin memberikan kejutan kepada keluarganya, dia sengaja tidak memberi tahu bahwa mereka akan datang hari ini. Waktu telponan kemarin, dia bilang baru akan datang lusa. Jadi, tak ada satu pun yang menjemput mereka di bandara.
Namun Arvid sudah menyiapkan semuanya. Di area penjemputan. “Selamat datang, Ibu. Saya Amir, akan mengantar Ibu dan keluarga ke alamat yang sudah diberikan,” ucap sopir itu sopan sambil membungkuk sedikit.
“Terima kasih, Pak Amir,” balas Maizah, senang semuanya berjalan sesuai rencana.
Mobil van mewah dengan jok nyaman sudah menunggu mereka. Begitu masuk ke dalam, Aidan langsung menempelkan wajahnya ke jendela menatap kendaraan yang berlalu lalang.
Perjalanan dari bandara menuju rumah adik Maizah, Melati, memakan waktu sekitar satu jam. Lalu lintas Makassar yang padat saat sore hari membuat jalanan agak tersendat, namun suasana hati mereka terlalu senang untuk terganggu.
“Mau beli sesuatu dulu, honey?” tanya Arvid sambil mengarahkan pandangannya ke deretan toko makanan yang mereka lewati di sepanjang jalan.
Maizah yang duduk di sebelahnya menoleh, memperhatikan ruko-ruko kecil yang menjajakan aneka kue tradisional, risoles, dan air botol dingin. Di belakang mereka, Aidan dan Matthew sibuk melihat keluar jendela.
Meskipun tidak akan banyak orang karena mereka tidak mengatakan apa-apa kalau mereka pulang hari ini, namun saat sudah mengetahui bahwa mereka satu persatu orang pasti akan datang ke rumah Melati, Mamanya.
“Boleh beli beberapa makanan untuk jamuan,” jawab Maizah akhirnya, sambil tersenyum. “Oleh-oleh sudah ada, tapi kan nggak semua bisa dijamukan. Sisanya buat dikasih pas acara kumpul.”
Arvid mengangguk dan melirik ke kaca spion. “Pak Amir, kita berhenti sebentar di toko makanan yang di sebelah kanan itu ya.”
“Siap, Pak,” jawab sopir mereka dengan ramah.
Mobil pun berhenti di depan sebuah toko yang menjual aneka kue khas di sana.
Maizah keluar dari mobil sambil menggandeng Aidan, sedangkan Arvid dan Matthew menyusul dari sisi lain. Udara sore mulai agak lembap, tapi suasananya hangat dan menyenangkan. Suara motor berlalu lalang, penjual es kelapa muda di seberang jalan berseru menawarkan dagangannya.
“Selamat sore, Ibu, Bapak! Silakan dilihat-lihat,” sapa penjaga toko, seorang ibu paruh baya yang ramah.
“Wahhh, lihat itu!” seru Aidan dari belakang. “Warnanya kayak pelangi!”
Matthew tertawa. “Itu kue lapis, Dan. Aku inget Mommy pernah bikin waktu ulang aku."
Maizah langsung tertarik pada tampilan risoles dan lemper yang tampak segar. “Ini bisa pesan dalam kotak isi campur, Bu?”
“Bisa sekali. Mau berapa kotak?”
“7 kotak ya, campur semua. Tapi lebihkan risolesnya. Saya juga beberapa roti Marosnya."
“Siap, Bu. Ditunggu sebentar ya. Nanti saya tambahkan potongan pastel juga,” katanya sambil mulai mengemas.
Sementara itu, Arvid membeli beberapa botol minuman dingin—teh, air mineral, dan susu coklat kemasan untuk anak-anak. Aidan sudah memilih dua potong kue lapis dan menunjukkannya pada Maizah.
“Mommy, boleh bawa ini buat Nenek?”
Maizah mengangguk, tersenyum hangat. “Boleh, nanti kita kasih ya. Nenek pasti senang.”
Aidan tersenyum lebar, menggenggam erat kotak kecil berisi dua potong kue lapis yang warna-warni. Di sebelahnya, Matthew membawa bungkusan pastel untuk dirinya sendiri—walaupun sebenarnya dia tahu begitu sampai, pasti makanan akan berlimpah.
Setelah pembayaran selesai dan semua kotak kue dimasukkan ke dalam bagasi mobil, mereka kembali masuk ke dalam kendaraan. Sopir mereka, Pak Amir, memutar setir perlahan, menyatu kembali dengan lalu lintas Makassar yang semakin padat menjelang magrib.
“Masih jauh, Ma?” tanya Matthew, matanya menatap jalanan yang mulai berkelip dengan lampu-lampu toko dan kendaraan.
“Lumayan, Sayang,” jawab Maizah lembut. “Masih sekitar satu jam lebih, sabar ya. Kalau mau tidur tiduran saja."
Matthew lantas menggelengkan kepalanya. "Tidak,"
Perjalanan mereka mulai memasuki jalan yang lebih sempit. Pepohonan semakin rimbun, dan suara jangkrik mulai terdengar samar. Langit mulai berubah warna, menyiratkan bahwa malam tak lama lagi akan menyelimuti kota.
Pak Amir memperlambat laju kendaraan saat memasuki kawasan pemukiman yang lebih tenang. Rumah-rumah di sini berjajar rapat, dengan pagar kecil dan taman sederhana. Lampu-lampu halaman sudah mulai menyala, menambah kesan damai pada suasana.
Akhirnya mereka berhenti di depan rumah bercat hijau muda dengan atap cokelat tua dan pohon mangga yang rindang di sudut halaman.
Suasana di depan rumah memang sepi—maklum, sudah maghrib. Anak-anak yang biasanya bermain di taman kecil dekat gang sudah lama pulang. Hanya suara azan dari masjid dan sesekali dengung motor lewat yang menemani.
Setelah semua barang turun, pak Amir pamit undur diri meninggalkan Maizah berserta anak dan suaminya berdiri di teras rumah Melati.
Tok tok tok.
Ketukan pintu yang lembut namun mantap terdengar dalam senyap. Sesaat tak ada jawaban. Lalu terdengar suara langkah dari dalam, diikuti gumaman khas yang sudah Maizah kenali sejak kecil.
Ceklek.
“Siap—” suara Lily terhenti mendadak. Tatapannya jatuh tepat pada wajah Maizah yang berdiri di depannya sambil tersenyum. Mata Lily membelalak, mulutnya sedikit terbuka tak percaya.
"Kakak?!" Serunya kaget melihat kedatangan kakak perempuan yang tiba-tiba.
“Hai,” sapa Maizah ringan, namun senyumnya mengandung haru. Di belakangnya, Aidan dan Matthew melambaikan tangan sambil tersenyum malu-malu, "Halo onty," sedangkan Arvid mengangguk sopan.
“Yaampun! MAMA!!” Lily menoleh ke dalam rumah, teriakannya menggema. “Maaamaa!! Kak Maizah datang!”
Maizah hanya bisa tertawa kecil melihat wajah adiknya yang panik sekaligus bahagia. Tak butuh waktu lama, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari dalam.
Dari arah ruang makan, muncul sosok perempuan berkerudung pastel, membawa piring kecil berisi buah. Wajahnya menyiratkan kelelahan, tapi matanya yang tajam langsung membulat saat melihat siapa yang berdiri di pintu.
“Maizah?” gumam Melati pelan, seperti ragu dengan penglihatannya. Tangannya refleks menyimpan piring di meja.
“Surprise,” ucap Maizah, kali ini tak bisa menahan air matanya. Ia tersenyum, lalu membuka tangan lebar-lebar. “Aku pulang...”
Melati mendekat pelan, lalu berlari dan langsung memeluk putri sulungnya erat-erat. “Mama pikir kamu baru datang lusa... bohong banget!” ujar Melati setengah menangis, suaranya bergetar.
"Kan biar surprise Mama," ucap Maizah dan kembali memeluk Melati.
Lily yang tadi berdiri bengong langsung ikut memeluk mereka. Tangis ketiganya pecah, membanjiri suasana depan rumah yang sebelumnya sunyi.
Aidan dan Matthew menatap pemandangan itu dengan heran dan kagum. “Mommy nangis?” bisik Aidan ke kakaknya.
"Itu tangisan bahagia Aidan," jawab Matthew dengan tenang, Aidan mengangguk mengerti.
Tbc.
semangatttt