“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
POV ELAN.
Dulu ... sebelum daster lusuh dan tatapan sendu itu melekat di dirinya, Arawinda hadir sebagai siluet tenang dalam dunia ku yang serba tertata rapi.
Kami tidak pernah benar-benar berbicara. Bahkan menyapa pun tidak. Tapi, aku tau betul siapa dia.
Gadis cantik dengan mata yang seolah selalu membaca, bahkan ketika dia sedang tidak memegang buku. Rambutnya selalu dikuncir asal, tapi, entah kenapa selalu terlihat rapi dan—cantik!
Suaranya ... ya, aku tau suaranya. Bukan karena kami pernah saling berbicara, tapi karena aku sering duduk tak jauh dari gadis itu—saat dia sedang bersama teman-temannya di kantin.
Aku mendengar dia berbicara soal skripsi, soal dosen galak, soal hidup yang katanya gak adil hanya perkara dia tak kebagian cabai rawit saat membeli bakwan goreng favoritnya. Dia tertawa lepas, kadang mengomel, kadang juga melamun.
Dan aku? Aku duduk dua meja di belakang, pura-pura fokus pada jurnal yang sama sekali tidak bisa kutamatkan hari itu.
Aku, Elan Wiratama—senior tampan yang digadang-gadang punya masa depan cerah. Digilai mahasiswi fakultas, dipanggil-panggil seperti selebritas kecil di lorong kampus.
Aku, Elan Wiratama—terobsesi dengan nilai sempurna. Tugas-tugas wajib selesai sebelum deadline. Nilaiku harus selalu berada di peringkat teratas—dan harus bisa lulus dengan cepat. Kenapa? Agar aku bisa menjadi anak kebanggaan Ayah. Anak yang harus bisa membuktikan padanya, kalau aku pantas menggantikan posisinya di perusahaan nanti.
“Fokus dengan kuliahmu, Elan!” peringat Ayahku berkali-kali.
Tak ada ruang bagiku untuk bermain-main. Tak ada waktu untuk cinta-cintaan seperti teman-teman seangkatanku.
Sampai akhirnya—aku melihat gadis itu lagi.
Di pojok perpustakaan. Dia duduk bersila dengan tumpukan buku filsafat yang bahkan aku sendiri enggan membaca. Tangannya sibuk mencatat, wajahnya serius. Sekali waktu dia menggigit ujung pena, alisnya berkerut.
Dia sangat—cantik. Membuat mataku kesulitan berkedip.
Arah pandangku tertangkap oleh temanku yang duduk di seberang.
“Elan, Lo ngelamun? Ngelamunin apaan?”
Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis dan kembali berpura-pura menulis.
Tidak ada yang tau, dan tak akan pernah ada yang tau. Bahwa aku—Elan yang katanya dingin dan tak tersentuh itu—selalu menghabiskan lebih banyak waktu untuk menunggu Ara keluar kelas, hanya untuk melihat ke arah mana dia berjalan pulang.
Semuanya ku lewati dalam diam. Namun—tanpa aku sadari, aku terseret semakin dalam.
.
.
Hari itu hujan turun sejak siang. Langit sangat gelap, seolah-olah kami seperti baru saja melewati malam panjang.
Aku baru saja keluar dari ruang dosen pembimbing, langkah ku cepat—karena deadline skripsi yang terus menghantui. Tapi begitu masuk ke lorong perpustakaan ...
Aku melihatnya. Lagi.
Arawinda berdiri kikuk di depan loker. Rambutnya sedikit basah, jas hujan transparan sudah ia lipat rapi dan ia peluk di dada. Tangannya sibuk mengguncang-guncang kunci, mencoba membuka loker yang tampaknya macet.
“Sial. Bahkan dari jauh pun aku bisa melihat jemarinya yang mulai gemetar. Apa ini efek samping karena aku selalu tergila-gila pada wortel?” gumamku nyaris tak terdengar.
Aku bisa saja berjalan lurus. Melewatinya seperti biasanya. Tapi, entah bagian mana dari otakku yang rusak hari itu, langkahku malah berbelok—kemudian mendekatinya.
Aku berhenti tepat di sampingnya. Ia tidak menyadari kehadiranku sampai aku membuka suara.
“Macet?”
Seketika tubuhnya menegang. Matanya membulat, menatapku seolah aku baru turun dari langit. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat wajah itu dari jarak dekat. Kulitnya pucat, ada kantung mata tipis yang menunjukkan ia kurang tidur.
“I-Iya ... kayanya kuncinya rusak,” katanya pelan. Suaranya sama seperti yang sering kudengar dari kejauhan. Tapi kini terdengar lebih nyata. Lebih ... menusuk di telingaku.
Aku menunduk, menatap lubang kunci itu. Tangan kami bersisian. Aku bisa merasakan detaknya yang sedikit kacau. Mungkin karena panik. Atau mungkin karena ... aku? Ah, lagi-lagi aku kepedean. Ini gara-gara aku sering digilai para gadis-gadis kampus.
“Boleh?” Tanyaku, menunjuk kuncinya.
Dia mengangguk tanpa kata, kemudian menyerahkan kuncinya.
Aku masukkan kunci itu ke lubang, memutarnya perlahan, lalu menarik gagangnya dengan satu hentakan. Loker itu terbuka. Sungguh sesuatu yang sangat sederhana. Tapi entah kenapa, aku merasa bangga. Seperti menjadi juara cerdas cermat yang mewakilkan antar negara.
Dia mengedip. “Hah ... kamu ... bisa.”
Aku menoleh padanya. “Teknik dasar. Cuma butuh dorongan dari sudut yang tepat.”
Ia tertawa kecil. Lirih. Hampir seperti gumaman. Lalu berkata, “Terima kasih ....”
Aku mengangguk singkat. Ekspresi ku tetap seperti biasa, datar, dingin. Bahasa kerennya, cool!
Padahal jantungku sudah berdebar seperti orang gila. Tanganku masih hangat karena tadi menyentuh tangannya saat mengambil kunci.
Ia menunduk, mulai mengambil buku dari dalam lokernya. Dan aku tau harus pergi sebelum benteng di wajahku mulai retak.
Aku membalikkan badan. Tapi suaranya menahan ku.
“Kamu ... Elan, kan?”
Batinku langsung berkicau bak suara burung. ‘Sabar, tahan, jangan menoleh dulu. Pikirkan harga dirimu Elan. Kau harus menghitung dari 1 sampai 10, baru boleh menoleh. Oke, kita mulai, satuuuu—’
“Ya.” Sialnya, Aku langsung menoleh dalam hitungan ke-satu. BETAPA MURAHNYA KAU ELAN!
Ara tersenyum canggung ke arah ku, lalu berkata, “Kamu Elan, si kakak tingkat yang nilainya selalu bikin mahasiswa lain nangis karena iri, ‘kan?”
Aku nyaris tertawa. Tapi tetap bertahan dengan menaikkan satu alis. “Yah, begitulah.”
Sial. Sepertinya, aku mulai melayang ke awang-awang gara-gara pujian yang terdengar seperti....
Akh! Dia tersenyum tipis. Sumpah manis sekali! Semua kata-kata yang sudah ku susun dalam kepala, seketika langsung buyar.
“Aku ... sering lihat kamu di perpus, tapi nggak nyangka hari ini bisa ngobrol juga,” kata Ara pelan. Matanya menatapku lekat.
Aku membalas pandangannya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar tidak tau harus bicara apa.
Sejak percakapan kami yang pertama kalinya, hubungan ku dan Ara menjadi semakin akrab.
Perdebatan kecil soal teori sosial yang dia yakini lebih relevan daripada opiniku, semakin menghiasi hari-hariku.
Semua interaksi kami seperti benih yang tumbuh diam-diam. Tak pernah meledak-ledak, tapi perlahan merambat ke dalam.
Kami mulai sering duduk bersama di perpustakaan. Kadang sekadar berbagi headphone untuk mendengarkan podcast yang sama, kadang bertukar kopi, kadang juga hanya duduk bersebelahan tanpa suara.
Ara punya dunia kecil yang tenang. Dan untuk pertama kalinya, aku ingin tinggal lebih lama di dunia itu. Dunia yang—memberiku rasa aman dan ... nyaman.
Siang itu, aku mengajak Ara untuk makan bersama malam ini—di suatu tempat yang cukup populer. Kami akan bertemu langsung di tempat, jam 7 malam ini. Aku berniat untuk menyatakan perasaanku.
Aku sangat yakin perasaan ini akan berbalas, karena aku tau ... Ara memiliki perasaan yang sama terhadapku.
“Kau harus mempersiapkan semuanya Elan. Berikan kesan yang baik malam ini. Pastikan, malam ini menjadi malam yang tak terlupakan,” bisikku pada diriku sendiri.
Tapi ... semua itu hanya menjadi mimpi yang terkubur—begitu aku membuka pintu rumah sore itu.
Ibuku menangis di ruang keluarga. Ayahku duduk diam, dengan wajahnya yang kaku seperti batu. Lalu, mereka menyampaikan kabar itu—kabar yang membuat aku tidak bisa berbuat apapun.
“Kesehatan kakek mu semakin menurun, Elan.” Ayah menatapku tajam. “Kamu ini anak pertama. Kamu harapan keluarga ini, Elan. Jangan main-main dengan waktu.”
Aku menarik napas dalam-dalam, meremas kuat tali ransel ku. Namun, bibir ini masih diam seribu bahasa.
Seakan belum selesai, Ayah melanjutkan perkataannya. “Kamu sadar, kan, Elan? Kamu tidak punya waktu untuk bermain-main, untuk bersenang-senang, apalagi untuk menyukai seseorang.”
Deg!
Jantungku berdetak kencang, getaran samar mulai menjalar dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Ayah mengetahui tentang Ara?! Selama ini, Ayah menyelidiki aku secara diam-diam? Ini keterlaluan!
“Tinggalkan gadis itu, jika kau tak menginginkan aku memberi pelajaran padanya. Fokuslah belajar—ujianmu sudah dekat. Setelah lulus, kau harus langsung terjun sebagai karyawan intern di kantor cabang Sydney. Kau mengerti, Elan?”
Aku tidak menjawab. Namun, kaki ku bak terhipnotis, melangkah cepat ke kamar—dan langsung membuka buku-buku pelajaran yang selalu jadi pelarianku dari tekanan.
Waktu berlalu dalam diam—hari pun berganti malam. Ponselku tak hentinya berdenting. Aku tau, itu pasti pesan dari Ara yang sudah menunggu di tempat janjian kami malam ini.
“Maaf, Ar ....”
Malam itu, aku memikirkan semuanya matang-matang. Aku terpaksa meninggalkan Ara demi ambisiku, lebih tepatnya—demi masa depan keluargaku.
Jika masa jaya keluarga ku runtuh, maka—masa depan para karyawan-karyawan di perusahaan kami pun, akan terkena dampaknya. Benar kata Ayah, aku tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang seperti ini. Setidaknya, sampai semuanya stabil.
“Maafin aku, Ar ...,” lirihku sekali lagi. “Aku janji, aku akan menemuimu kembali nanti ....”
Malam itu, aku berpikir—aku pasti bisa menjemput Ara kelak. Dan untuk menjemputnya, tentu aku harus mengalah saat ini. Aku harus hadir dengan sosok yang memiliki kekuatan lebih besar, agar bisa membawa Ara masuk dalam duniaku. Masuk dalam lingkungan keluarga ku, dan menjadi benteng terkuat untuk melindungi Ara—jika sewaktu-waktu, keluargaku tidak menerimanya.
Namun, kenyataan yang ku terima saat kembali ke Indonesia—benar-benar menampar wajahku.
Aku harus menerima kenyataan pahit, bahwa Ara—sudah menikah dengan pria lain.
...****************...
Sudah dua minggu, Ara bekerja di perusahaan ku. Sebagai pria yang sangat gila dengan pekerjaan, aku dapat menilai—kinerja Ara sangat sempurna.
Dia cekatan, teliti, benar-benar profesional. Padahal, Ara sudah tiga tahun vacum dari dunia karir.
Davin juga cukup terbantu semenjak kehadiran dirinya. Tugas-tugasnya jauh banyak berkurang. Sepertinya, Davin cukup mengagumi Ara. Terbukti, ia selalu tersenyum jika sedang berbicara dengan wanita yang sampai saat ini—masih berhasil menggetarkan dada ku.
Biasanya, sahabat ku itu selalu bermuram durja dikarenakan lelah menghadapi permintaan ku yang terkadang di luar nurul.
“El,” Davin muncul dari balik pintu setelah mengetuk nya. Panjang umur nih anak.
“Masuk,” jawabku. Buru-buru aku menutup monitor yang memperlihatkan sebuah potret Ara di masa lalu. “Ada apa?”
Davin berdiri tepat di depan meja kerja ku. Ia mengeluarkan amplop putih dari sebalik jas nya—dan langsung menyerahkannya padaku.
Aku membukanya, amplop putih berisikan beberapa lembar potret mesra.
“Bener-bener udah lo selidiki, Dav?” tanya ku datar. Tanpa sadar, aku meremas amplop tersebut.
Davin mengangguk. “Gue udah mastiin semuanya, El. Mereka memang—berkencan.”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭