Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prediksi cuaca
Mei cukup tau beberapa wajah yang tergabung di kelompok 21 meski tak mengenal dekat, ada yang ia tau dan pernah berpapasan sesekali, atau hanya Mey tau, sebagai pendengar kabar angin yang berhembus di kampus, dimana nama-nama mahasiswa tenar dari berbagai fakultasnya itu kemudian tenggelam seiring waktu berjalan dan tak sempat ia kenali lebih jauh.
Langkahnya terayun cepat dengan nafas yang terengah-engah menuruni tangga lantai kelas ke luar area gedung, padahal jaraknya hanya beberapa ratus meter saja.
Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya harus membuat Mey mengejar ketertinggalan waktu dan merasa tak enak hati harus bikin anggota lain menunggu.
Meski wajah-wajah itu asing baginya, ia cukup yakin jika segerombol kecil orang yang berada di bawah taman kampus berpayung pohon-pohon trembesi itu adalah kelompoknya, mengingat ketikan bernama Maru mengatakan jika ia dan beberapa lain sudah berada di taman kampus dekat gedung FKM.
Langkahnya cepat-cepat dengan nafas yang ia buang kasar berusaha menghampiri kerumunan kecil yang sesekali diguguri dedaunan kering dari atas pohon, bahkan terlihat beberapa kali gadis berwajah manis di depan sana misuh-misuh sambil mendongak ke atas ketika rontokan daun itu menyiram kepalanya, ia membawa rambutnya ke belakang telinga bersama kipas yang setia menyejukan wajahnya.
"Sorry gue telat engga?" sapa Mei dari kejauhan membuat perhatian mereka terpancing untuk menoleh.
"Meidina kan? Gue Nalula...santai aja, masih pada belum datang juga kok," seorang gadis menyapa duluan sebelum Mei berhasil memperkenalkan namanya. Mungkin gerak menghampiri Mei yang terkesan tergesa dari atas sana itu, cukup membuatnya mengalihkan perhatian pada sikap random Mei yang berlarian di tangga gedung.
Mei mengangguk menyambut tangan gadis pertama yang memperkenalkan diri, ia sosok gadis dengan rambut diikat satu dan memiliki paras lembut, "soalnya langkah lo keliatan banget sejak turun tangga," tunjuknya ke arah gedung dengan dinding kaca menerawang yang ada di depan, "FKM."
Ah, ya...tentu saja...salahkan arsitektur yang mendesain gedung FKM hingga tembus pandang ke dalam begitu, "anak FKM tuh berasa ngga punya privasi ngga sih?" tembak seseorang lain yang kemudian mengulurkan tangannya untuk kembali Mei sambut, "Syua, FISIP.." ia memiliki garis wajah yang chubby, meski matanya sipit kontras dengan warna kulit putihnya. Mei ingat dengan nama panjang Syua, dimana marga Tan tersemat menunjukan jika Syua memiliki da rah campuran chinese.
Selanjutnya jabatan tangan bergulir berderet pada mereka yang berada di posisinya, membuat Mei harus sedikit melangkah demi menjangkau, "Maru." Oke, jadi cowok ini yang bernama Maru, dimana sejak 24 jam terakhir aura-auranya sudah tercium hangit-hangit aroma alpha-nya 21.
Kontras dengan ucapan sepatah dua patah kata yang selalu ia gaungkan ketika ia bersuara di grup, nyatanya wajahnya pun tak kalah menenangkan setengah datar saat ini.
Saking tenang dan antengnya, disaat kedua orang tengil di sampingnya sedang saling gontok-gontokan ia seperti sama sekali tak terganggu oleh tingkah riuh yang bahkan mengenainya beberapa kali itu.
Beralih dari sana, Mei harus menunggu keduanya selesai bercanda, sampai pemuda dengan rambut yang sengaja ia kucir di atas belakang demi menyingkirkan sebagian rambut bagian yang memanjang di sisi kanan dan kiri menghalangi pemandangan, sementara bagian samping ia cepak satu centi mengulurkan tangannya, "Arlan. Si ganteng----"
"Dari goa hantu." Tukas Jovian, si pemuda jangkung yang siapapun akan mengenalinya karena ia adalah salah satu anak tekhnik yang cukup terkenal dari fakultasnya, ia juga---huftt! Meidina harus mengakui, jika Jovian ini beberapa kali terlihat dekat dengan Jingga meski berbeda jurusan, "Jovian."
So pasti, anak teknik....Mei mengangguk-angguk dengan ketengilan dan keusilan mereka.
Lalu ada wajah sengak dan jutek yang duduk paling nyaman seolah enggan tergoyahkan dari singgasananya, siapa lagi kalau bukan Mahadri, bahkan ketimbang harus menghampiri Mei, ia lebih memilih diam di tempatnya dengan Mei yang harus menghampirinya, sebal sekalih! Aura orang kaya memang beda, awur-awuran...memandang dunia dengan mata piciknya.
Tidak terhenti sampai disana, ada Zaltan yang langsung menggenggam tangan Mei berikut senandung lirih yang tak merdu-merdu amat dan praktis bikin semua orang keki dibuatnya.
"Saipul jambal." Decih Alby.
"Gue Sultan..." ujar Alby berebut tangan Mei lalu menyunggingkan senyuman selebar dunia, mungkin cita-citanya ingin menjadi brand ambassador pasta gigi jika tidak bisa menggantikan ke bo garap sawah, karena jelas ia anak fakultas pertanian dengan segala perintilan yang hanya anak pertanian saja yang punya.
Pfftttt, justru mereka cengengesan mendengar Alby memperkenalkan diri, "sultan dari sudut mananya, by?" tanya Senja menyebalkan, si gadis paling manis, saking manisnya segala yang ia pakai itu bernuansa magenta, persis minuman lebaran.
"Elah....panggil aja gue---"
"Rakyat jelata." Tukas Mahad kembali memantik tawa tertahan mereka. Mei tersenyum dan mengalihkan tatapan dari Alby ke arah orang terakhir Senja dan menyalami gadis dengan kipas kecil yang senantiasa memutar di depan wajahnya.
Baru selesai menyalami Senja, dari arah lain bergabung pula seorang gadis bercepol satu yang datang sambil misuh-misuh, "gila deh ah! Ngga kira-kira...udah mau KKN begini masih aja disuruh setor yang kurang-kurang!" dumelnya, "sorry ya guys...telat gara-gara pak Dirwan. Gue Savio...eh, ini beneran kan ya kelompok 21? Takutnya salah gabung..." tanya nya nyeroscos namun kemudian pandangannya jatuh pada Maru yang duduk menjatuhkan tatap tak peduli, "eh iya deh...ada elo disini, Ru..."
"Gue---" Alby hendak mendorong tangannya untuk bersalaman dengan Vio namun kembali di sela Mahad, "sultan."
Pfftt...
"Ya?" tanya Vio membeo.
"Nama dia Sultan by the way..." dan entah kenapa pembahasan nama Alby saja bisa membuat tawa cair diantara mereka, bullying kah? Atau----
"Oh, paham." Vio mengangguk mengatupkan mulutnya yang sempat menganga.
"Makasih loh abang Mahad...padahal kali ini gue mau bilang kalo nama gue cinta." cibir Alby, diangguki Mahad, "sama-sama cinta."
Jovian mendorong kepala Alby, "laga lo cinta, gue Rangga."
Maru melirik jam tangannya lalu ia menatap satu-satu manusia yang hadir disana sambil komat-kamit menghitung, "satu lagi siapa nih? Ketut bukan?" tanya nya diangguki Arlan, "si kentut."
Namun baru saja Maru ingin kembali buka suara, dering ponsel di tangannya sudah berbunyi. Dari gesturnya yang menegakan duduknya, sepertinya panggilan itu cukup penting.
"Iya pak. Tapi kenapa kalau boleh tau?" tanya nya dengan wajah serius, namun keseriusan itu memudar barang seulas. "Ah iya, saya dan kawan-kawan..." sejenak ia menatap wajah anggota KKN 21.
"Paham." pungkasnya.
Semua mendadak diam dan memperhatikan Maru dengan wajah penasaran, "ada perubahan anggota, tadi pak Sulaeman LPM ngasih info kalo nama Ketut dirolling sama anggota kelompok lain karena satu dan lain sebab. Ngga dijelasin sih apa sebabnya..." Jelasnya benar-benar menarik semua perhatian dan rasa keheranan.
Mei saling pandang pada beberapa teman termasuk Lula.
"Siapa? Anak fakultas mana?" tanya Alby.
"Dia anak teknik juga," jawab Maru kini terlihat mengotak-atik ponsel seperti tengah mengetik sesuatu.
"Anak teknik?" tanya Arlan memastikan jika ia mengenal hampir semua penghuni fakultas teknik termasuk semut-semut yang menghuni lubang di tanah gedung fakultas teknik sekalipun. Shoombong!
"Saha?" tanya Jovian bersitatap dengan Arlan.
"Sorry-sorry, gue ngga telat-telat banget kan?" mendadak semua leher berputar menoleh ke arah sumber suara.
"Kenalin, gue Aksara Jingga anak teknik---"
"Weyyy, bapak!" belum selesai berucap Jovian dan Arlan sudah berseru menyambutnya bak menyambut anak hilang, penuh penghayatan berlebihan membuat sebagian dari mereka terkekeh dan mengernyit jengah.
Kentara sekali dengan apa yang terjadi diantara mereka, mungkin hanya Mei yang merasakan sinyal buruk dan merinding sebadan-badan saat ini.
Tidak seperti Maru yang mungkin hanya menatap malas kedatangan Jingga sebab memang ia tak begitu peduli dengan dunia serta isinya, bahkan mungkin jika ada ribuan koloni lebah menyerang seisi kampus, hanya ia manusia yang santai. Atau Mahad yang memang basicnya memiliki raut wajah angkuh menyebalkan, menganggap tak ada manusia lain yang begitu spesial kecuali dirinya dan raja Arab.
Mei tertegun karena ada sesuatu yang kini terdengar telah runtuh di dalam hati dan pikirannya melihat kedatangan pemuda dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya itu.
Jingga menyalami satu persatu anggota kelompok dan saat tiba bagiannya bertemu dengan Mei, ia justru menurunkan sejenak tangannya, sorot matanya tak bisa dijabarkan dengan mendorong kacamata dan membenarkan tata letaknya yang sedikit merosot.
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM Ga...kenal atau tau?" bukan Mei melainkan Lula yang berada di dekat Mei. Percayalah, Mei sudah merasakan lidahnya kelu, lemas di sekujur tubuhnya, bahkan ia sempat refleks memegang lengan Lula demi menahan keseimbangan badannya, untung saja Lula tak begitu mempertanyakan hal itu saat ini. Sepertinya, kedepannya Lula akan bisa ia ajak kerja sama jika sesuatu terjadi padanya.
"Sorry, gue ngga kenal..." jawabnya datar, membuat degupan jantung Mei kembali berdegup normal meski kini syaraff matanya ingin sekali meledakan air mata dan melempar kepala Jingga dengan bunga sekalian dengan pot-potnya.
"Ah, bang Jing....masa yang cantik-cantik ngga kenal, giliran dosen spek Maria mercedes diajakin ngapel."
Namun ia justru menunjukan reaksi tak peduli, "oke, udah sampai mana barusan? Apa yang gue lewatkan?" tanya Jingga menatap mereka satu persatu.
"Baru sampe ngomongin kapan lo mau ke rumah Maria mercedes..." jawab Arlan dikekehi yang lain termasuk Mahad.
"Belum sampai dimana-mana, baru saling tunggu aja." Jawab Maru.
"Oh, oke kalo gitu. Ini kita mau ngobrolin masalah kkn disini aja?" tanya Jingga mendadak supel. Entah mungkin kharisma ketosnya terbawa hingga saat ini.
"Iya ih, dari tadi kek ada yang nanya begini...gue kepanasan tau! Di cafe aja gimana, biar sambil minum?" dengan ciri khas prengat prengut anak mama, nyatanya Senja sudah merasakan tak nyaman sejak tadi.
"Di kantin gimana? Biar ngga usah buang-buang waktu?" tanya Jingga lagi memberikan solusi cepat dan cukup tepat di saat begini.
"Setuju." Senja bahkan sudah berjalan duluan memimpin kerumunan kelompok disusul Vio.
Luka, sorot mata yang pertama kali Mei tangkap ketika tak sengaja ia bertemu tatap dengan Jingga. Ia mulai merasakan jika awan mendung dan prediksi badai akan terjadi untuknya selama 45 hari ke depan. Apakah ia harus menyalahkan Ketut, atau menghajar DPM dan LPM sekarang, yang sudah berani-beraninya menempatkan Jingga di satu kelompok dengannya? Yang jelas takdir nyatanya telah berkata demikian.
.
.
.
.
eeeeh tapi ngapain jingga n mei didlm????
jadi jangan ada yg di tutup²in lagi ya cantik