Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suka-suka saya, dong!
Kendaraan yang ditumpangi William memasuki salah satu hotel paling besar dan mewah di ibukota. WG Diamond Hotel.
Seperti biasa, William disambut bak pangeran hingga memasuki lift menuju ruang privat meeting dimana Wirautama-ayahnya, sudah menunggu.
"Kau sedikit terlambat!" sambut Wirautama saat William muncul di depan pintu masuk.
"My bad, Dad!" balas William sungguh-sungguh, lalu duduk berseberangan dengan Wirautama.
Hening sejenak memenuhi ruangan itu.
"Terakhir kali, kita tidak mendapat kesepahaman tentang langkah yang perlu diambil selanjutnya!" Wirautama memecah keheningan.
William mengangkat sebelah alisnya, mengingat makan siang keluarga beberapa waktu lalu.
"Oh, soal itu." William mengangguk. "Jadi... apa persisnya yang ingin ayah sampaikan? Atau apa yang ayah ketahui tentang rencana Adi Wijaya?" tanya William. Ia sebenarnya tidak tahu sejauh apa yang diketahui oleh Wirautama mengenai cucu Adi Wijaya yang dulu dikira sudah meninggal dunia.
Wirautama mengerutkan kening nya. William tetap saja sulit untuk dikendalikan. Mereka memang jarang sepaham tentang hal apapun menyangkut pekerjaan. Anak ini terlalu kaku dan lurus! pikir Wirautama.
"Adi Wijaya sedang mengubah wasiatnya."
"Ya. Lalu? Apa ayah sudah tahu isi wasiat itu?"
Wirautama menggeleng.
William tersenyum miring. Jadi ayah belum tahu tentang Anna! Bagus lah kalau begitu.
"Apa kau tahu, Will?" tanya Wirautama mencari tahu.
Pandangan mata keduanya bertemu. Saling menyelami pikiran masing-masing. William menggeleng.
"Lalu mengapa kau tersenyum mengejek?"
William mengangkat bahu. "Ayah bahkan tidak tahu persis apa yang terjadi. Lalu kenapa harus ambil pusing?!"
Wirautama terdiam. Ia ingin mengorek informasi dari William, namun dirinya malah dicemooh putranya sendiri. Wirautama mengambil ponsel yang terletak di atas meja, mencari salah satu kontak disana lalu melakukan panggilan.
"Suruh Zayyana masuk!"
Degh!
Jantung William melompat. Zayyana? Perempuan itu? Aku tidak salah dengar?
Ketukan terdengar di pintu masuk, lalu seorang wanita berambut bergelombang panjang terurai masuk melempar senyum ke arah William. Tubuh wanita itu masih saja indah dan menarik.
"Aku merindukan mu, Will!" Sapa wanita cantik yang merangkul kan tangan nya di bahu William dan menyapa lelaki itu dari balik punggung William.
William mengepalkan kedua tangan dan menatap tajam ke arah ayahnya. Ia berusaha menekan emosi yang muncul.
Zayyana. Perempuan yang dulu pernah dipuja nya. Dan perempuan yang sama yang telah mengkhianati dirinya, meninggalkannya dengan kesepakatan tak masuk akal dengan Wirautama -ayahnya.
"Apa maksudmu, DAD?!" William tidak menggubris Zayyana. Perempuan itu membuat perutnya bergolak. Mual.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, Will?" balas Wirautama. Bukankah dulu William tergila-gila dengan model itu? Bukankah dulu William bahkan bersedia meninggalkan Wijaya Grup demi Zayyana?
Brak!!
William berdiri menggebrak meja. Ia sudah tidak tahan berada di ruangan ini. "Apa pun rencanamu, tolong hentikan! Adi Wijaya tidak semudah yang kau pikir! Dan upaya mu untuk mempengaruhi Adi Wijaya melalui diriku tidak akan berhasil!"
William meninggalkan ruangan yang membuatnya muak itu. Ayahnya. Zayyana. Keduanya memuakkan!
***
Anna kembali ke ruangan sekretaris dengan mendapatkan tatapan beragam dari semua yang ada di ruangan itu. Habis sudah khayalan nya untuk bekerja dengan baik di hari pertama dengan peristiwa-peristiwa yang tidak disangkanya sejak pagi tadi.
"Naura! Tolong lo jelasin pekerjaan yang harus dikerjakan Bu Anna, sang sekretaris baru pilihan direktur itu, ya!" perintah Sherly terdengar dari balik kubikel khusus miliknya yang terpisah dari para sekretaris yang lain.
"Baik, Mbak Sherly!" Naura berdiri dari tempat duduknya sambil membawa setumpuk berkas. Sepertinya mereka sudah mempersiapkan penyambutan itu buat Anna.
"Sekalian sampaikan pada Bu Anna buat merapikan rambutnya! Ini kantor, bukan Bar tempat ia bisa menggerai rambut kusut nya itu." Sherly kembali menyindir.
Sepertinya rasa malu telah hilang dari kamus Sherly. Bukankah tadi ia pingsan setelah diguyur minuman oleh direktur? Sekarang ia sudah rapi kembali dan bertingkah masih seperti sekretaris utama tanpa merasa malu sedikitpun? Anna hanya bisa menghela napas.
"Mohon bantuannya, Mbak!" ucap Anna saat Naura sudah berdiri di depannya dan meletakkan berkas-berkas itu di atas meja Anna.
Naura melengos tanpa mengucapkan apa-apa.
Anna tidak lagi melihat jam yang tertera di sudut bawah komputer miliknya. Setumpuk dokumen yang diberikan kepadanya baru selesai tujuh puluh lima persen saat jam pulang kantor datang.
"Kamu harus menyelesaikan analisis itu malam ini. Besok bahan-bahan ini akan dibawa rapat oleh tim bersama Pak Daniel dari WG Diamond hotel!" Naura yang tadi diperintah Sherly untuk memberi tugas kepada Anna berkata sesaat sebelum senior Anna itu meninggalkan ruangan.
Anna melirik sudut komputer. Sudah waktunya pulang kantor memang, tapi tugas-tugas ini membutuhkan waktu paling cepat tiga jam lagi untuk selesai. Anna mendesah.
"Maaf ya Anna, saya tidak bisa bantu kamu. Soalnya punya anak balita di rumah." Vita salah satu sekretaris yang tadi bersimpati kepada Anna juga pamit pulang.
"Ya, ga papa Mba Vit," Anna memaksakan senyum. Pekerjaan yang diberikan kepadanya sebenarnya cukup simpel, meng-entrikan surat-surat masuk lalu mengelompokkan berdasarkan divisi dan terakhir membuat analisis. Hanya saja Anna heran, kenapa berkas-berkas itu dibiarkan sampai menumpuk begitu banyak. Segitu beratnya kah tugas para sekretaris di kantor pusat Wijaya Grup ini?
Setengah jam berlalu dan Anna merasa kuduk nya mulai kaku. Ia pun meregang lengan nya, melemaskan otot-otot yang sudah dipaksa bekerja sejak siang tadi. Ponsel Anna berdering.
"Napa, Ton...?" tanya Anna lelah.
"Lo udah pulang? Gue udah nunggu dari tadi. Kok lo ga muncul-muncul sih?"
Anna menarik napas. "Nunggu dimana emang nya Lo?" Anna berdiri ke arah jendela kaca besar di ruangan itu, dari sana terlihat halaman depan kantornya. Hanya lalu-lalang manusia dan kendaraan yang meninggalkan kompleks perkantoran Wijaya Grup yang terlihat, dan itu pun terlihat kecil.
"Nih. Gue di depan, deket halte."
"Lambe in tangan lo deh ke arah atas. Gue di lantai paling atas, di bawah rooftop."
Anna melihat ada titik yang bergerak dan mungkin melambai ke arah nya. Ia pun refleks melambaikan tangan dan akhirnya sadar bahwa itu percuma. Tony tidak akan bisa melihat dirinya dari bawah sana.
"Lo belum pulang?"
"Belom! Masih ada kerjaan."
"Mau gue temenin?"
Mau banget! Gue takut sendirian sebenarnya. Anna hanya menjawab dalam hati. Lembur bersama karyawan dari divisi lain yang tidak ditugaskan bersama pasti akan membuat kehebohan lagi. "Ga usah deh Ton, Gue coba kerjain setengah jam lagi, kalau ga selesai, gue bawa pulang aja!"
"Kalo gitu gue tunggu di kafe depan aja!"
"Ga usah deh, Ton! Lo pulang aja. Gue masih sama yang lain kok!" Anna berbohong.
"Ohh. Ya udah. Gue duluan yah!"
Tuut.
Huft. Anna melepaskan nafas, lalu kembali duduk di depan meja nya menatap layar komputer dan mulai tenggelam kembali bersama data-data yang sedang direkap.
"Sibuk?!!"
"ASTAGA!!" Anna terperanjat, dan merasa nyawa nya hampir melayang karena terkejut. Ia juga hampir menjatuhkan berkas-berkas yang ada di atas meja.