Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IX
5 tahun. Sudah selama itu Gia berusaha pada kehidupannya. Gia berhasil, meski harus terjatuh berkali-kali. Bayi-bayinya dulu, kini telah tumbuh menjadi seorang anak-anak berusia 5 tahun.
Kini Gia bekerja pada salah satu toko retail tak jauh dari rumahnya.
" Shila, Bara. Ayo pulang, udah Maghrib. " Ucap Gia memanggil anak-anaknya. Dia baru saja pulang dari kerjanya, masih lelah tapi senyum tak akan pernah luntur dari bibirnya.
Shila dan Bara yang mendengar itu mulai berpamitan dengan teman-temannya, tak lupa berdadah dadah.
" Bunda Shila kangen. "
" Bunda Bara kangen. "
Shila dan Bara berlari memeluk ibunya, rindu. Sudah seharian ini ibunya bekerja. Tentu perasaan rindu itu akan selalu ada, meski mereka kini telah terbiasa ditinggal kerja oleh sang ibu.
Gia pun berjongkok menggendong anak-anaknya dikedua tangannya. Yah, kini dia setangguh itu. Bahkan dia dapat menggendong kedua buah hatinya sekaligus. Kalau dulu boro-boro menggendong kedua buah hatinya sekaligus, menenangkan kedua buah hatinya ketika menangis bersamaan saja Gia kelimpungan.
Gia membawa kedua anaknya memasuki rumah. Mulai menutup rumah sederhananya. Membersihkan diri dan memastikan kedua anak-anaknya membersihkan diri. Yah, Shila dan Bara sudah bisa mandi sendiri sekarang. Gia bangga akan hal itu.
Setelah usai membersihkan diri, makan, dan beribadah, Gia berkumpul dengan anak-anaknya. Mulai mendengarkan murotal, agar mempermudah daya ingat anak-anaknya dalam menghapal.
Gia mempunyai tekad, menanamkan nilai agama pada hati mereka. Anggap saja sebagai tabungan untuk dirinya dan anak-anaknya kelak. Tak hanya memberikan ilmu agama, Gia juga memastikan anak-anaknya menyerap dengan baik hafalannya, lalu menerapkan pada kehidupan.
Hal itu selama ini berjalan dengan baik, kedua anaknya mulai dapat menghafal. Kini Bara dapat menghafal 2 juz, sedangkan Shila dapat menghafal 1 juz. Sungguh membuat syukur Gia tiada hentinya terpanjat.
Karena memiliki tekad menjadikan sang anak menjadi hafidz dan hafidzah, Gia juga mulai belajar agama lebih dalam. Membuat hidupnya semakin tertata lebih baik.
Sembari duduk didepan televisi, masih dengan mukena dan pakaian kokoh yang menempel padanya dan anak-anaknya, Gia menatap televisi menayangkan murotal Qur'an. Kali ini surat yang Gia putar adalah surat surat yang masih anak-anaknya hafal.
Gia menatap anak-anaknya itu yang tengah terduduk sembari sahut menyahut menghafal. Seolah ingin menyombongkan kefasihan satu sama lain tentang hafalan mereka masing-masing.
Gia hanya dapat tersenyum menatap itu. Bahagia, dirinya sangat bahagia sekarang. Hidupnya sempurna, meski perasaan rindu dan khawatir pada anak-anaknya yang lain masih membuncah kuat, tapi tak apa doa-doa Gia akan selalu menyertai anak-anaknya yang lain.
Shila dan Bara, kedua buah hati yang akan selalu Gia jaga dari kerasnya kehidupan. Jika tuhan hanya mengizinkan Gia merawat dua buah hatinya, maka Gia akan sekuat tenaga melakukannya dengan baik.
Waktu berlalu begitu cepat. Kini Gia tengah berada diruang tamu seorang diri. Shila dan Bara telah tertidur dikamar mereka masing-masing. Yah, mereka sangat mandiri diberbagai hal, terkadang Gia berpikir tak menjalankan tugasnya dengan baik melihat kemandirian anak-anaknya itu.
Tidur selonjoran pada sofa panjang, sofa yang berada dirumah suaminya dulu. Gia masih mempertahankan perabotan-perabotan yang sekiranya masih dibutuhkan untuk rumah sederhananya ini. Dan kebetulan didalam rumah itu memiliki 4 sofa. 3 sofa berukuran besar telah ia jual dan tersisalah 1 sofa yang tak terlalu besar ia masih simpan dirumah sederhana ini.
Funfact, sofa ini adalah sofa dikamar Gia dan Jordan dulu. Gia sempat dibuat takjub oleh kamarnya dulu yang sebesar ruang tengah rumahnya kini, dimana menurut Gia paling besar ukurannya dibanding ruang lain.
Gia asik dalam mengscrol akun media sosialnya. Sudah waktunya meluangkan diri untuk dirinya sendiri. Terkadang kita memang harus meluangkan waktu untuk diri sendiri bukan? Seorang ibu juga butuh istirahat, apalagi dia sekarang tengah merangkap menjadi sosok ibu dan ayah.
Di umurnya yang masih 23 tahun ini, Gia merasa tertinggal dengan teman-temannya. Tapi tak apa, dia mensyukuri hidupnya kini. Ingat apalagi yang harus Gia cari, jika semua hal di dunia sudah tuhan kasih dalam bentuk anak-anaknya yang amat sangat membanggakan itu.
Ditengah-tengah asik mengscrol akun sosial media, tangan lentiknya harus terhenti menggulir, kala netra Gia menatap sebuah akun gosip yang menayangkan kabar bahagia tentang sosok yang amat Gia kenali. Jordan Utomo.
Pria itu tampak tampan dan gagah disamping seorang wanita cantik dengan hijab panjangnya, bahkan senyumnya mengembang begitu indah. Tatapan teduhnya, raut tenangnya. Segala kelembutan dan kesempurnaan tertuang indah dalam satu raga seorang wanita yang tengah berada di sebelah mantan suaminya.
Anggun, cantik, lembut, teduh, dan masih banyak hal lagi yang dapat menggambarkan sosok wanita itu. Sangat berbanding terbalik dengan Gia, kulitnya sekarang tampak kusam karena sering berada dibawah matahari langsung. Perangainya tak seteduh itu. Parasnya tak terlalu cantik tak terlalu buruk rupa. Jiwanya tak semenenangkan itu, terlebih saat kejiwaannya kembali terganggu. Sifatnya memang tak buruk tapi tak baik juga, berada di dunia yang keras membuatnya menjadi pribadi yang keras juga. Banyak hal yang sangat jauh diantara dirinya dan wanita itu. Jauh sangat jauh.
Dapat Gia baca caption dari postingan itu yang kurang lebih mengatakan bahwa sang mantan suami telah menemukan pelabuhan terakhirnya. Pria itu telah menikah kembali. Menjalani hidup yang lebih bahagia bersama wanita lain.
Kali ini, Gia tak terisak, tak berteriak kesakitan. Gia tak menunjukan raut wajah berarti. Tetapi tak ada yang bisa menutupi perasaan mendung dihatinya, kala matanya menitikkan sebulir air bening tanpa dapat dicegah. Gia tak berniat menangis, tapi tetap saja air matanya mengalir dengan sendirinya.
Sama hal dengan parasnya, takdir wanita itu sempurna. Hidupnya tenang dengan kekayaan bergelimang harta, bahkan wanita itu tak perlu repot-repot melawan dunia yang tak adil, semua kebutuhannya akan terpenuhi dengan baik.
Begitu pula dengan paras Gia, tak begitu sempurna. Begitu pula dengan kehidupannya yang ikut tak sempurna. Wanita itu harus kuat, tumbuh diterjang ombak kala dunia menghantam tiada henti. Tiada pelindung, tiada berpulang. Tapi harus tetap teguh agar menjadi tempat berpulangan paling damai bagi anak-anaknya.
Gia iri, sangat iri. Siapa yang tak iri, kala mereka harus hidup di dunia yang sama, tetapi kapasitas ujiannya berbeda. Mengapa dunia tak adil? Jikalau Gia mengutuk dunia karena terlalu lelah dengan hidup yang tak adil ini, Gia tetap dianggap jahat dan disalahkan, dianggap menjadi manusia yang tak tahu diri hingga tak tahu cara bersyukur. Kalau Gia pikir-pikir dibanding hidupnya dan wanita itu, tentu Gia tetap akan lebih mensyukuri hidup wanita itu dibanding hidupnya.
Wanita itu terlindungi dibelakang orang tuanya. Sedangkan Gia? Bahkan kini Gia memutuskan pergi karena terlalu lelah menatap rumahnya yang tak akan pernah bisa menjadi tempat berpulangnya itu. Wanita itu bahagia, bersama seorang kekasih disebalahnya. Sedangkan Gia hanya seorang diri sebatang kara. Wanita itu dapat hidupnya nyaman dengan dunianya. Sedangkan Gia harus merasa cukup dengan napas yang masih berhembus.
Dunia tak adil.
Yah itulah yang bergejolak dihatinya. Tapi tak apa, paling tidak anak-anaknya akan baik-baik saja ditangan wanita itu. Tak seperti dengannya, kala segala kekurangan terpupuk tiada henti.
Mengingat hal itu, Gia tenggelam untuk mencari semua postingan tentang pernikahan mewah yang tengah mantan suaminya itu gelar. Berharap satu saja tangkapan kamera membidik salah satu anaknya yang telah lama tak ia lihat. Sayang teramat sayang, nyatanya foto-foto itu hanya ditujukan untuk memberi tahu pada dunia, bahwa pewaris salah satu perusahaan besar tengah memiliki kekasih. Selain itu tak ada lagi, pria itu dan kehidupannya sangat dikelilingi oleh privasi yang terjaga dengan baik. Gia tak memiliki kesempatan untuk mengetahui kehidupan seperti apa yang tengah anak-anaknya alami.
Baiklah, baiklah. Gia merasa kalah kali ini. Air matanya kembali tumpah ruah. Gia memilih terduduk dengan kaki yang tertekuk. Gia menenggelamkan kepalanya dibalik kakinya.
Terkadang, bukankah kita juga perlu menangis? Begitu pula dengan Gia. Biarkan dia menangis sekarang, meratapi hidupnya. Tapi Gia janji, besok dia akan kembali bangkit untuk anak-anaknya.
Berbahagialah wahai sosok yang berada dimasa lalu. Bawalah kisah-kisah yang telah kita alami sebagai kenangan.
Tak perlu terlalu sering dikenang. Hanya sebagai salah satu memori dimasa lalu sudah sangat cukup.
Hidup terus berjalan. Maka hiduplah dengan baik kali ini.