Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Pagi itu matahari belum tinggi ketika Andre membuka matanya. Cahaya temaram menembus sela tirai kamar Lily—kamar yang kini juga menjadi miliknya. Di sisinya, Lily masih tertidur dengan nafas teratur, sebagian tubuhnya terselimuti, sebagian lain terpapar udara pagi yang hangat.
Tangannya terulur, menyentuh lembut punggung Lily, lalu menelusuri lekuk pinggangnya. Lily bergeliat pelan, lalu membuka mata dan tersenyum tipis.
“Pagi,” bisiknya serak.
Andre mengecup keningnya. “Pagi, Bu Nyai.”
Lily mencubit dadanya pelan, lalu tertawa. “Mulai sekarang, jangan panggil aku seperti itu.”
“Aku suka lihat kamu marah-marah,” jawab Andre sambil mencium pipinya.
Lily menyusup lebih dekat, menempelkan wajahnya ke dada Andre. “Kita keterusan ya semalam…”
“Keterusan yang enak,” gumam Andre sambil mengelus rambutnya. “Kalau bisa, kuputar semalaman tanpa berhenti.”
Lily tertawa kecil tapi wajahnya memerah. Mereka saling diam sejenak, tenggelam dalam pelukan hangat pagi, sebelum akhirnya Lily bangkit lebih dulu.
“Aku bikin teh ya?” tanyanya sambil mengenakan kemeja Andre yang semalam ia lucuti sendiri.
“Teh, kopi, apa aja asal kamu yang bikin,” sahut Andre santai, meregangkan tubuhnya.
Namun ketenangan pagi itu tak bertahan lama. Ponsel Andre bergetar keras di atas nakas. Ia meraihnya, dan wajahnya seketika berubah tegang saat membaca isi pesan dan laporan yang masuk.
“Kenapa?” tanya Lily dari meja kecil tempat ia menuang air panas.
Andre tak langsung menjawab. Ia membaca ulang file PDF yang dilampirkan: hasil audit internal dari salah satu proyek real estate yang ia pegang. Ada indikasi manipulasi keuangan—penarikan dana tidak sah dari mitra kerja yang selama ini ia percayai.
“Kita ada masalah,” gumam Andre.
Lily meletakkan cangkir di hadapannya. “Masalah kerjaan?”
Andre mengangguk, wajahnya menegang. “Aku harus ke kantor. Dan… harus kirim laporan ini ke Bapak.”
Lily duduk di sisi ranjang, menyentuh bahu Andre. “Kalau kamu mau, aku bisa bantu baca dan tandai beberapa poin penting. Aku terbiasa baca laporan keuangan.”
Andre memandangnya, untuk sesaat lupa bahwa Lily bukan sekadar wanita yang ia nikahi karena keadaan. Ia adalah partner, orang yang bisa berdiri di sampingnya saat semua orang menjauh.
Namun satu jam kemudian, setelah semua dikaji dan email dikirim, ponselnya berdering.
Nama yang muncul di layar membuat napas Andre tercekat: Bapak.
“Angkat,” bisik Lily. “Hadapi saja.”
Andre menekan tombol hijau. “Halo, Pak.”
“Datang sekarang juga ke rumah,” suara Sultan Munier terdengar dingin dan berat. “Kamu gagal mengawasi pegawaimu. Kita akan bicarakan ini langsung.”
Klik. Telepon terputus.
Andre menatap Lily. “Aku harus pergi.”
Lily mengangguk, tak berkata apa-apa, tapi wajahnya menyiratkan kekhawatiran.
...****************...
Bangunan kolonial itu masih berdiri megah, dikelilingi pohon-pohon tua yang tertata rapi seperti pasukan kerajaan. Andre melangkah masuk dengan kepala tegak, meski perutnya terasa dikocok. Di ruang kerja, ayahnya sudah menunggu, duduk di belakang meja besar dari kayu jati.
“Duduk,” perintah Sultan dingin.
Andre duduk tanpa suara.
“Laporan sudah Bapak terima. Kamu biarkan uang mengalir tanpa pengawasan, proyek ratusan miliar bocor begitu saja.”
“Itu partner eksternal, Pak. Aku juga baru terima laporan semalam.”
“Alasan.” Sultan menggebrak meja. “Tiap kali masalah, kamu selalu lempar tanggung jawab.”
Andre menahan diri. “Aku tidak lari. Aku datang ke sini untuk menjelaskan. Dan aku sendiri yang akan tuntaskan masalah ini.”
Bowo masuk dari arah samping, berdiri menyender ke dinding sambil tersenyum sinis. “Katanya suami cucu presiden. Masa nggak becus urus proyek sendiri.”
Andre meliriknya tajam. “Diamlah, Bowo. Urus pacarmu yang bule itu.”
“Kamu jangan berani-berani!” Sultan bangkit. “Jangan merasa besar karena kamu dapat Lily. Kamu itu tetap cadangan! Tetap anak dari perempuan kedua! Jangan lupa tempatmu!”
Andre berdiri perlahan. Napasnya memburu.
“Aku tahu tempatku, Pak. Tapi aku juga tahu siapa aku sekarang. Aku nggak minta dilahirkan, nggak minta jadi cadangan, dan aku juga nggak minta dinikahkan. Tapi sekarang, aku berusaha menjalani semuanya, dan kalau masih salah… ya sudah, salahkan semuanya padaku.”
“Kurang ajar kamu—!”
Plak!
Tamparan Sultan mendarat keras di pipi kiri Andre. Kepala Andre menoleh, tapi dia tak mundur. Ia menahan napas, dadanya naik-turun cepat.
“Saya pamit,” ucapnya pelan.
Ia melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan ruang kerja yang mendadak senyap.
...****************...
Andre menyandarkan kepala di jok mobil. Ponselnya bergetar, kali ini dari Lily.
Ada masalah?
Andre tak membalas. Ia hanya menutup mata. Di luar jendela, Jakarta tetap padat dan riuh, tapi dalam dirinya… sepi.
Tangan kirinya terangkat, menyentuh pipi yang masih berdenyut akibat tamparan. Tapi jauh lebih sakit adalah perasaan di dadanya—perasaan bahwa meski ia sudah menikahi Lily, sudah mencoba hidup baru, ia tetap saja anak yang tak pernah diinginkan.
Tapi mungkin… untuk Lily, ia bisa menjadi seseorang yang benar-benar berarti.
Setelah percakapan panas dan tensi tinggi antara Andre dan ayahnya siang tadi, suasana hatinya masih belum membaik. Ia pulang ke rumah bata merah di Senopati dengan kepala berat dan napas dalam. Tapi begitu masuk ke rumah, aroma masakan menyambutnya dari dapur. Aroma bawang tumis, daging yang dipanggang dengan sempurna, dan sayur bening kesukaannya menguar hingga ke ruang tengah.
Andre menaruh tas kerjanya di sofa dan berjalan ke arah dapur.
Lily berdiri di sana, mengenakan apron tipis berwarna abu dan kaus putih kebesaran. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya polos tanpa riasan. Ia sedang menata piring terakhir ke atas meja makan yang sudah dihias rapi dengan lilin kecil dan bunga segar.
“Kamu masak?” tanya Andre, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia maksudkan.
Lily menoleh dan tersenyum. “Nggak selalu harus aku yang dimasakin, kan?”
Andre mendekat. Di matanya, Lily terlihat lebih cantik daripada sebelumnya—bukan karena pakaian atau penampilannya, tapi karena gestur kecil itu: membuat makan malam untuknya setelah hari yang melelahkan.
“Kamu tahu aku baru dimarahi habis-habisan hari ini?”
Lily mengangguk. “Aku nggak bisa bantu banyak soal kerjaanmu, tapi aku bisa bantu perut kamu.”
Mereka duduk berseberangan. Lily menyendokkan nasi dan menggeser lauk ke piring Andre, seperti seorang istri yang sudah terbiasa melayani suaminya.
Suara sendok dan piring saling beradu pelan. Suasana makan malam itu tenang, hangat, dan nyaris seperti mimpi—setidaknya bagi Andre.
“Ayahku bilang aku gagal. Karena aku nggak bisa ngawasin orang. Karena aku terlalu sibuk… sama kamu,” gumam Andre sambil menunduk.
Lily menatapnya tajam tapi tenang. “Kamu sibuk karena kamu peduli. Itu bukan kelemahan.”
Andre menghela napas, menggenggam garpunya. “Kalau aku gagal, semua yang kubangun bisa runtuh.”
Lily mengambil gelas air mineral dan mengangkatnya pelan ke arah Andre. “Kalau kamu jatuh, aku yang akan berdiri di sampingmu. Asal kamu izinkan.”
Untuk sesaat, Andre terdiam. Matanya hangat. Dulu, ia tak percaya akan ada perempuan yang berkata seperti itu padanya. Tapi malam ini, kata-kata itu terdengar nyata.
“Kamu bukan beban,” lanjut Lily pelan. “Kamu adalah hadiah. Meskipun kadang kamu keras kepala, menyebalkan, dan susah ditebak.”
Andre tertawa pelan. Lalu ia berdiri, berjalan mengitari meja, dan mengecup kening Lily. Lama. Dalam.
“Terima kasih,” bisiknya.
Di luar rumah, lampu-lampu kota mulai menyala. Tapi di dalam, rumah itu tak lagi terasa dingin. Lily mengisi sudut-sudut kosongnya dengan perhatian kecil yang tak pernah ia minta, dan Andre… mulai mengizinkan dirinya merasa dicintai.