Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Di salah satu jalanan sepi di pinggiran kota, suara deru mesin motor meraung-raung memecah keheningan malam.
Lampu kendaraan memantul liar di aspal, menambah kesan liar dan berbahaya.
Asap rokok, teriakan penonton, dan suara klakson bercampur menjadi satu dalam hiruk-pikuk suasana balapan liar yang mendebarkan.
Beberapa anak muda bersorak di pinggir jalan, menantikan giliran pembalap berikutnya.
Di tengah kerumunan itu, Yudha berdiri dengan mata merah, napas tak teratur, dan aroma alkohol yang menyengat dari tubuhnya.
Jaketnya setengah terbuka, helmnya digenggam sembarangan di tangan.
“Yud, udah! Lo nggak bisa kayak gini terus!” teriak Rama mencoba menahannya.
Tapi Yudha hanya tertawa miring, tubuhnya sedikit oleng.
“Hidup itu balapan, Ram. Siapa yang berhenti, dia yang kalah,” katanya sambil tertawa pahit.
“Lo mabuk! Lo bisa celaka!” Rama menahan frustrasi saat melihat Yudha menjadi seperti itu.
Namun Yudha tak peduli dan mendorong Rama perlahan lalu naik ke atas motornya dengan gerakan yang tak stabil.
Tangannya gemetar saat menyalakan mesin dan beberapa orang yang menyadari kondisinya mulai mundur, tapi tak ada yang benar-benar berani menghentikannya.
Mesin meraung keras, Yudha menatap lurus ke depan, tapi tatapan matanya kosong seperti orang yang tak lagi peduli pada dirinya sendiri.
Dari kejauhan suara motor Puri terdengar mendekat dari kejauhan, dan beberapa orang menoleh ke arahnya. Ia berhenti mendadak di sisi jalan, matanya langsung mencari satu sosok yaitu Yudha.
Begitu melihat Yudha yang sudah berada di atas motor dalam kondisi mabuk, Puri turun dan berlari ke arahnya tanpa pikir panjang.
“Yudha! Berhenti!” teriaknya sambil menarik tangan Yudha dengan paksa.
Yudha menoleh, terkejut. Matanya merah, napasnya masih bau alkohol.
Begitu sadar siapa yang menariknya, ekspresinya berubah menjadi jengkel.
“Ngapain kamu ke sini?! Pergi, Puri!” hardiknya kasar, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Puri.
“Kamu gila? Mau mati, hah?! Kamu nggak sadar kamu mabuk?!”
“Aku nggak peduli!” bentak Yudha, lalu tanpa menunggu lagi, ia menarik gas motornya dan maju ke garis start.
Puri menahan napas, tubuhnya gemetar antara emosi dan cemas.
Tanpa berpikir panjang, ia mengambil helm milik salah satu penonton dan berjalan ke arah motor pinjaman yang diparkir di samping jalan.
"Puri! Kamu mau ngapain?!” Rama yang melihat itu langsung menghampiri.
Puri menoleh cepat, matanya membara. “Kalau Yudha nggak mau berhenti, aku yang bikin Yudha berhenti!”
Ia memasang helm dan menyalakan motor. Suara mesinnya meraung.
“Kalau aku menang... kamu pulang sama aku!” teriak Puri ke arah Yudha yang sudah bersiap.
Yudha menoleh sekilas, terkejut. Ia mengerutkan kening, seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Apa?! Kamu serius?”
“Kalau kamu masih punya nyali, lawan aku!” bentak Puri dengan nada penuh tantangan.
Kerumunan mulai bersorak, sebagian tak percaya, sebagian menantikan bagaimana balapan ini akan berakhir.
Dua motor berdiri sejajar di garis start, satu dikendarai pria yang sedang kehilangan kendali, satu lagi oleh perempuan yang nekat bertaruh dengan emosi dan cinta.
Malam itu, suara mesin kembali meraung. Tapi taruhan mereka lebih besar dari sekadar siapa yang paling cepat.
Teriakan penonton menggema di sepanjang jalanan gelap yang disulap jadi lintasan balapan liar.
Angin malam semakin dingin, tapi suasana justru memanas.
“3… 2… 1… GO!!”
Dua motor melesat bersamaan. Puri memelintir gas sekuat tenaga, tubuhnya condong ke depan, matanya fokus menatap jalan.
Debu dan asap dari ban motor menyelimuti mereka, membuat pandangan buram, tapi adrenalin yang mengalir menajamkan insting.
Yudha di sebelahnya tancap gas tanpa ragu. Meski mabuk, naluri balapnya tetap liar, tapi gerakannya tidak stabil.
Beberapa kali ia hampir kehilangan kendali, namun ia terus memaksa motornya melaju kencang.
Puri menoleh sekilas, melihat bagaimana Yudha mulai goyah.
“Tolong jangan celaka, Yudha," batinnya berdesir, namun ia tetap mempertahankan kecepatan.
Jarak garis finis makin dekat. Penonton sudah berteriak-teriak, sebagian bersorak, sebagian panik melihat kondisi Yudha yang makin tidak terkendali.
Dan saat tinggal beberapa meter lagi menuju garis finis lagi, Yudha memiringkan motornya terlalu tajam.
Ban belakang kehilangan cengkeraman.
Seketika, motor itu tergelincir keras di aspal.
BRAK!
Tubuh Yudha terpelanting ke sisi jalan, menghantam keras pembatas.
Suara logam, teriakan, dan hentakan mesin yang mendadak berhenti membuat semua orang terdiam seketika.
“YUDHA!!!” teriak Puri kencang, menghentikan motornya dengan rem mendadak, nyaris terpeleset.
Ia segera berlari ke arah tubuh Yudha yang terkapar tak bergerak.
Kerumunan mulai berdatangan, namun Puri mendorong mereka panik.
“Minggir! JANGAN DEKATI DIA!”
Ia berlutut di samping Yudha, wajahnya pucat, tangannya gemetar saat menyentuh pundak Yudha yang berdarah dan tergores aspal.
Helmnya terlepas, dan ada noda merah mengalir dari pelipisnya.
“Yudha… buka mata kamu, tolong…” bisik Puri dengan suara parau.
Tubuh Yudha masih tergeletak, napasnya berat. Puri memegangi bahunya dengan panik, air mata mulai menggenang di matanya.
Tiba-tiba, Yudha mengerang pelan dan perlahan membuka matanya. Tatapannya buram, tapi ia bisa melihat wajah Puri yang basah oleh air mata. Ia tersenyum tipis dengan kondisi yang lemah, tapi penuh kejujuran.
“Puri...” gumamnya lirih.
Puri mendekat, menggenggam tangan Yudha. “Aku di sini, Yud. Aku di sini…”
Yudha menatapnya dalam-dalam, lalu berkata pelan, hampir seperti bisikan, “Aku mencintaimu, Puri…”
Puri membeku. Hatinya seperti diremas. Ia ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat. Yudha perlahan bangkit, meski tubuhnya gemetar dan jelas kesakitan.
Ia menoleh ke arah kerumunan. “Rama...” panggilnya dengan suara serak. “Antarkan aku pulang.”
Rama, yang sejak tadi berdiri membatu, langsung menghampiri dan memapah Yudha dengan hati-hati.
Beberapa teman lain ikut membantu, membawa Yudha ke arah mobil.
Puri tetap di tempatnya. Ia duduk perlahan di pinggir jalan, tubuhnya lemas. Air mata mulai mengalir bebas di pipinya—bukan karena cintanya dibalas, tapi karena ia tahu, perasaan itu tak bisa ia balas.
Dan malam itu, di tengah dinginnya angin dan gemuruh perasaan yang tak tersampaikan, Puri menangis dalam diam.
Ia masih tidak menyangka jika Yudha akan mencintaimu seperti itu.
Puri lekas bangkit dan melajukan motornya menuju ke rumah.
Sebelum sampai di rumah ia menghentikan motornya di depan mini market.
Ia membeli susu kedelai dan beberapa camilan lainnya.
Disaat sedang duduk di teras mini market, Rama mengirimkan pesan dan mengatakan kalau Yudha sudah sampai di rumah.
Puri membalas pesan dari Rama dan memintanya untuk menjaga Yudha agar tidak keluar dari rumahnya.
Setelah selesai menghabiskan susu kedelainya, Puri kembali melajukan motornya menuju ke rumah.
Lampu-lampu yang sedikit redup dan jalan yang terlihat sepi membuat Puri lekas sampai di rumah.