NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24: Ultimatum dan Strategi Baru

​Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela kamar 405, menyilaukan mata Bara yang baru saja terbangun. Ia mengerjap, mencoba menggerakkan badannya, tapi rasa nyeri di lengan kirinya langsung menyengat, mengingatkannya bahwa ia masih terpasung gips.

​"Jangan banyak gerak dulu," suara lembut Kaluna terdengar dari samping.

​Kaluna sedang duduk di sofa, memangku laptopnya. Ia sudah mandi dan berganti pakaian bersih (Rian membawakannya pagi-pagi sekali), dan rambutnya kini tergerai rapi. Wajahnya terlihat segar meski ada lingkaran hitam samar di bawah matanya.

​"Jam berapa ini?" tanya Bara, suaranya serak.

​"Jam sembilan. Dokter baru saja visit saat kamu tidur. Katanya perkembanganmu bagus, lusa sudah boleh pulang," lapor Kaluna sambil menutup laptopnya dan berjalan mendekat. "Mau sarapan? Bubur lagi."

​Bara meringis. "Aku mau nasi padang."

​"Nggak boleh. Lambungmu masih sensitif karena obat nyeri dosis tinggi," tolak Kaluna tegas sambil menyiapkan meja makan pasien.

​Saat mereka sedang berdebat kecil soal menu sarapan, pintu kamar diketuk. Bukan ketukan sopan suster, melainkan ketukan tegas dan formal.

​Rian masuk, wajahnya tegang. Di belakangnya, mengekor seorang pria berjas rapi membawa tas kerja kulit.

​"Maaf, Pak Bara," Rian menunduk, tidak berani menatap bosnya. "Ada tamu dari... pihak Maheswari Group. Pengacara Bu Siska."

​Suasana kamar yang hangat seketika berubah dingin. Bara menegakkan sandaran punggungnya, wajahnya berubah menjadi topeng CEO yang keras.

​"Masuk," perintah Bara.

​Pengacara itu, Pak David, mengangguk singkat pada Bara dan Kaluna. Ia tidak basa-basi. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal berlogo firma hukum ternama.

​"Selamat pagi, Pak Bara. Saya mewakili klien saya, Ibu Siska Maheswari. Kami turut prihatin atas musibah yang menimpa Bapak," ucap Pak David datar. "Namun, klien saya meminta saya menyampaikan surat ini."

​Bara menerima amplop itu dengan tangan kanannya. Ia membukanya dengan susah payah menggunakan satu tangan dan gigi, menolak bantuan Kaluna karena egonya.

​Ia membaca isinya. Matanya menyipit. Rahangnya mengeras.

​"Brengsek," desis Bara pelan.

​"Ada apa?" tanya Kaluna cemas.

​Bara melempar surat itu ke meja. "Siska menarik seluruh investasinya. Bukan cuma itu, dia menuntut pengembalian dana awal sebesar 200 Miliar Rupiah ditambah penalti pembatalan kontrak sepihak sebesar 50 Miliar. Total 250 Miliar."

​"Dan tenggat waktunya?" tanya Bara pada pengacara itu.

​"Tujuh hari kerja, Pak," jawab Pak David tenang. "Terhitung mulai hari ini. Jika tidak dilunasi, klien kami akan mengajukan gugatan pailit terhadap Adhitama Group dan menyita aset jaminan... yang kebetulan adalah gedung Hotel Menteng itu sendiri."

​Kaluna menutup mulutnya. Siska benar-benar ingin menghancurkan mereka. Dia ingin merebut hotel itu—karya Bara dan Kaluna—sebagai trofi kemenangannya.

​"Sampaikan pada klienmu," ujar Bara dingin, matanya berkilat marah. "Saya akan bayar. Setiap sennya. Dan bilang padanya, jangan pernah bermimpi menyentuh Hotel Menteng."

​"Baik, Pak. Kami tunggu buktinya tujuh hari lagi. Permisi."

​Pengacara itu pergi, meninggalkan bom waktu yang berdetak di ruangan itu.

​Rian tampak pucat. "Pak... 250 Miliar dalam tujuh hari? Cash flow perusahaan kita sedang tipis karena baru beli material baja. Kita nggak punya uang tunai sebanyak itu."

​Bara memijat pelipisnya yang berdenyut. "Jual aset pribadiku. Penthouse, koleksi mobil, jam tangan. Semuanya."

​"Itu paling cuma dapat 50 Miliar kalau dijual cepat, Pak," bantah Rian. "Sisanya?"

​"Cari pinjaman bank. Gadaikan sahamku."

​"Bank butuh proses sebulan, Pak. Siska cuma kasih waktu seminggu."

​Bara terdiam. Ia menatap langit-langit. Jalan buntu. Ia bisa merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia baru saja berjanji melindungi Kaluna dan perusahaannya, tapi realitas angka tidak bisa dilawan dengan janji manis.

​"Kita harus lepas proyek ini," gumam Bara akhirnya, suaranya terdengar kalah. "Kita jual kepemilikan Hotel Menteng ke developer lain. Dengan begitu kita bisa bayar Siska dan menyelamatkan induk perusahaan."

​"Tidak!" seru Kaluna tiba-tiba.

​Bara dan Rian menoleh.

​Kaluna berdiri, matanya menyala. "Kamu nggak boleh jual hotel itu, Bara. Itu warisan Kakekmu. Itu mimpi kita."

​"Kita butuh uang, Kaluna! Kamu dengar sendiri angkanya!" bentak Bara frustrasi. "Kamu mau aku masuk penjara karena pailit?"

​"Kita butuh investor baru," kata Kaluna tegas. "Bukan jual putus."

​"Siapa yang mau investasi 250 Miliar dalam waktu seminggu untuk proyek bangunan tua yang lagi kena skandal?" tanya Bara pesimis. "Investor mau keuntungan pasti. Konsep kita yang sekarang—antara heritage dan kemauan norak Siska—itu berantakan. Nggak punya identitas."

​Kaluna berjalan mendekati ranjang, mengambil iPad-nya, dan membuka sebuah file.

​"Justru itu kuncinya," ujar Kaluna. Ia menunjukkan layar iPad ke Bara. "Kita kembali ke rencana awal. Bukan, bukan rencana awalku yang Sage Green. Tapi rencana yang kita temukan di Yogyakarta."

​Di layar, terpampang sketsa digital yang baru dibuat Kaluna semalam saat menjaga Bara.

​Gambar Grand Ballroom yang megah. Tapi bukan dengan warna emas mencolok ala Siska, melainkan nuansa tembaga bakar (oxidized copper) yang gelap dan elegan, dipadukan dengan kain lurik marun alami dan kayu jati tua.

​"Konsep: The Royal Javanese Heritage," presentasi Kaluna dengan semangat. "Kita tidak menjual 'kemewahan baru'. Kita menjual 'kemewahan masa lalu'. Kita targetkan segmen pasar Ultra-High-Net-Worth Individuals yang menghargai budaya, bukan OKB (Orang Kaya Baru) yang suka pamer."

​Bara menatap sketsa itu. Indah. Sangat berkarakter. Ini adalah perpaduan sempurna antara idealismenya dan sentuhan magis Kaluna.

​"Masalahnya, siapa investor yang suka gaya beginian dan punya uang tunai 250 Miliar?" tanya Bara skeptis.

​"Pak Hamengku," jawab Kaluna cepat.

​Bara mengernyit. "Hamengku Kusumo? Konglomerat tembakau yang kolektor barang antik itu?"

​"Betul," Kaluna mengangguk. "Aku baca di majalah arsitektur bulan lalu, beliau sedang mencari properti heritage di Jakarta untuk dijadikan butik hotel sekaligus galeri pribadinya. Beliau benci gaya modern minimalis. Beliau suka sesuatu yang punya 'jiwa'."

​Bara terdiam, otaknya berputar cepat. Hamengku Kusumo. Orang tua yang eksentrik, sangat kaya, dan sangat sulit ditemui.

​"Beliau terkenal susah ditembus, Kal. Proposal bisnis biasa pasti dibuang asistennya," kata Bara.

​"Makanya kita nggak pakai proposal bisnis biasa," Kaluna tersenyum licik. "Kita pakai pendekatan personal. Pak Hamengku akan hadir di lelang lukisan Raden Saleh di Jakarta besok malam. Aku tahu karena Julian—eh, maksudku temanku—bilang dia diundang catering-nya."

​Bara mendelik sedikit mendengar nama Julian, tapi ia mengabaikannya demi strategi.

​"Jadi rencanamu?"

​"Kamu harus datang ke lelang itu. Temui beliau. Tunjukkan desain ini. Tawarkan dia bukan sebagai investor pasif, tapi sebagai 'Patron Budaya' yang menyelamatkan bangunan bersejarah," jelas Kaluna.

​"Kaluna," Bara mengangkat tangan kirinya yang digips. "Aku di rumah sakit. Gips, infus, gegar otak. Kamu mau aku datang ke lelang elit dengan kursi roda?"

​"Kenapa tidak?" tantang Kaluna. "Itu justru nilai plus. Menunjukkan dedikasimu. Seorang CEO muda yang rela keluar dari RS demi menyelamatkan warisan budaya. Pak Hamengku suka orang yang gigih."

​Bara menatap Kaluna lama. Ia melihat api di mata wanita itu. Api yang sama yang dulu membuatnya jatuh cinta. Kaluna bukan cuma arsitek yang pandai menggambar, dia adalah partner yang cerdas.

​Perlahan, senyum miring Bara kembali.

​"Rian," panggil Bara.

​"Siap, Pak!"

​"Siapkan setelan jas terbaikku. Gunting lengan kirinya supaya muat masuk gips. Dan hubungi panitia lelang, pastikan aku dapat undangan VVIP," perintah Bara.

​"Tapi Pak... Dokter..."

​"Persetan dengan dokter. Aku akan kabur kalau perlu," potong Bara. Ia menatap Kaluna. "Siapkan materi presentasimu. Buat yang paling bagus. Kita akan jualan mimpi besok malam."

​Kaluna tersenyum lebar. "Siap, Bos."

​Di tengah ancaman kebangkrutan, semangat tempur mereka justru menyala. Siska mungkin punya uang dan pengacara, tapi Bara dan Kaluna punya sesuatu yang lebih berbahaya: visi yang sama dan kenekatan orang yang terdesak.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!