'𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐓𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚, 𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝐊𝐚𝐤𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚.'
Aruna Mayswara tak pernah membayangkan harus mengikat janji suci dengan Jakson Mahendra—mantan kakak iparnya yang dingin, galak, dan pernah ia juluki sebagai '𝘗𝘪𝘭𝘰𝘵 𝘕𝘦𝘳𝘢𝘬𝘢'. Pria itu bukan hanya jauh dari sosok ideal, tapi juga membawa luka yang belum sembuh sejak kepergian Kinanti, kakak Aruna.
Demi keponakan kecil yang ia sayangi seperti darah daging sendiri, Aruna rela mengorbankan masa mudanya, mimpinya, bahkan hatinya. Namun, rumah tangga tanpa cinta, tanpa sentuhan, hanya diikat oleh perjanjian dan pengorbanan—sanggupkah mereka bertahan?
Apakah kebencian bisa berubah menjadi cinta, atau justru pernikahan ini hanya akan menjadi neraka baru bagi keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. MERAMPAS LEBIH DAHULU
Hana melirik ngeri ke arah Aruna, ponsel di atas meja terus bergetar. Atensi Hana jatuh pada nama yang tertera di atas layar ponsel. Aruna ikut melirik, ia menghela napas berat. Kenapa hari-hari Aruna menjadi kian kusut sejak dinikahi oleh Jakson, atau memang benar turun ranjang merupakan hal buruk.
"Nggak diangkat?" tanya Hana, membawa atensinya ke arah wajah cantik Aruna.
"Malas," sahut Aruna lirih, "paling-paling kalo ngomong lagi, yang ada berantem lagi kek biasa."
Hana mendesah kasar, tangannya mendorong kecil smartphone milik sang sahabat ke depan.
"Angkat aja, siapa tau penting. Kamu sama dia udah mau satu bulan pas loh nggak ketemu. Kasian dia," bujuk Hana.
Aruna meraih benda persegi panjang itu, bertepatan dengan panggilan berakhir. Aruna memperlihatkan layar ponsel ke arah Hana, tersenyum kecil.
"Udah mati, sayangnya," tutur Aruna pelan.
Hana mendengus, "Siapa suruh kamu terlalu lama ngangkat teleponnya. Mending kamu telepon balik aja deh."
Aruna menggeleng, memilih menyimpan ponselnya ke dalam tas. Raka disibukkan dengan pertandingan, tidak ada kabar soal pernikahan Aruna yang mencuat di permukaan. Yang selalu membuat Aruna dan Raka bertengkar, sudah pasti disebabkan oleh ego masing-masing. Apalagi beban berbeda yang harus mereka pikul, Aruna tidak bisa mengatakan secara blak-blakan apa status yang mengikat dirinya.
Diperparah oleh skripsi yang tidak kunjung mendapatkan pencerahan, tekanan semakin besar saat sosok lain mulai hadir di kehidupan Jakson. Sementara Raka, pria itu tertekan karena perlombaan basket. Menjadi seorang kapten tim, memberikan tekanan yang berlebih untuk Raka. Pria itu butuh support dari Aruna sang kekasih tapi, setiap pembicaraan selalu ada saja jalan untuk bertengkar.
"Han!"
"Kenapa?" tanya Hana melirik Aruna.
"Kok aku merasa ada yang aneh ya," gumam Aruna, "rasanya kayak ada yang salah. Anehnya aku malah nggak tau salahnya dari mana."
Dahi Hana mengerut, "Apaan sih, yang kamu maksud. Nggak jelas banget."
Aruna menggeser kursinya lebih dekat dengan milik Hana, mencondongkan tubuhnya ke samping.
"Menurutmu, mungkinkah Mas Jakson selingkuh di belakang Mbak Kinanti," bisik Aruna pelan.
Mata Hana melotot, ia menoleh ke arah Aruna. "Hah? Mas Jakson selingkuh di belakang Mbak Kinanti? Masa sih, rasanya nggak mungkin deh. Kalo dilihat-lihat cara Mas Jakson berinteraksi sama cewek lain. Bahkan sama kamu aja, dia galak dan kaku banget," jawab Hana spontan.
Aruna duduk kembali dengan tegap, apa yang dikatakan oleh Viera tempo hari. Serta pertengkaran dirinya dan Jakson malam kemarin, rasanya pemikir buruk terus menghantui Aruna.
"Apa karena omongan Viera, kamu jadi mikir Mas Jakson selingkuh," tebak Hana tepat sasaran.
Kepala Aruna mengangguk, tidak ada yang perlu disembunyikan oleh Aruna dari sang sahabat. Hanya Hana tempat Aruna bercerita tanpa harus merahasiakan apapun, tidak mungkin untuk Aruna mengatakan ini pada ibunya. Permasalahan yang belum jelas, akan menjadi runyam.
"Jujur aja, saat aku bicarain ini ke Mas Jakson. Reaksinya beda, benar-benar beda. Aku tau, selama Mas Jakson nikah sama Mbak Kinanti. Rumah tangga mereka harmonis, cuma..., ah. Aku ngerasa ada yang berbeda," beber Aruna terdengar frustrasi.
Hana mengeleng sekilas, dan berkata, "Di rumah tangga mana sih yang nggak ada berantem dan salah pahamnya. Kalo pun nih, Mas Jakson pernah ada hubungan sama si Mbak-mbak yang tempo hari kita liat. Udah pasti berakhir, Viera cuma menghasutmu. Biar kamu dan Mas Jakson berantem. Kalo udah berantem kalian otomatis cerai, dong. Ini yang dimau sama keluarga mereka."
Apa yang dikatakan oleh Hana ada benarnya juga, Viera-sepupu Jakson dari awal tidak suka pada Aruna. Apalagi saat tahu Aruna malah jadi istri kedua Jakson, tidak hanya Viera saja yang tidak suka padanya. Keluarga besar Jakson sudah dapat dipastikan, hanya Mentari yang diterima menjadi bagian dari mereka.
"Iya, sih. Tapi, 'kan cepat atau lambat aku pun akan menceraikan Mas Jakson. Setelah wisuda, dan dapat pekerjaan aku akan langsung cerai darinya," balas Aruna.
"Kalo Mas Jakson menolak gimana?" tanya Hana penasaran.
"Ya, nggak mungkin. Dia nggak cinta sama aku, begitu pula aku."
"Kalo dia cerai sama kamu, Mentari udah pasti akan tetap dia yang besarin. Emang kamu bisa ngalahin Mas Jakson, dari segi ekonomi sama kedudukan aja kamu nggak setara sama dia," kata Hana menggebu-gebu, "eh, bukan maksudnya aku nyepelein kamu. Aku cuma mau kamu buka mata lebar-lebar kalo kamu pisah dari dia tanpa ada senjata apapun. Kamu yang akan rugi, bukan dia."
Hana merendahkan intonasi nada suaranya, saat atensinya mendapati perubahan ekspresi wajah Aruna. Jari jemari Aruna saling bertautan, apa yang dikatakan oleh Hana benar adanya. Sakit memang untuk didengarkan tapi, itulah faktanya.
...***...
Pintu salah satu bilik toilet terbuka, Viera tersenyum mendapati keberadaan Hana di wastafel. Ia mengayunkan langkah kakinya, berdiri di samping Hana. Tangannya bergerak membasuh kedua telapak tangannya, manik mata Viera menatap pantulan mereka di cermin.
"Bukankah ini kesempatan yang langka," kata Viera, tanpa menatap langsung wajah Hana.
Pergerakan tangan Hana berhenti mendadak, ia melirik ke samping. Alis mata Hana mengerut, Viera menyeringai.
"Raka dan Aruna, mereka sudah diujung tanduk. Bergerak lebih awal, berpeluang lebih besar buat dapatin Raka," lanjut Viera.
"Apa yang kamu maksud, huh? Aku nggak paham," sahut Hana, tangannya bergerak meraih selembar tisu di kotak.
Viera mengikuti jejak Hana, mengusap tangannya. Meremas tisu yang lembab menjadi bola, dan melemparkannya ke tong sampah di sudut toilet.
"Berpura-pura nggak tau," balas Viera, "kamu bisa kek gini di depan Aruna. Seakan nggak ada rasa sama kekasihnya, ngintilin mereka kemana pun mereka pergi. Lakuin ini dan itu, persahabatan yang so sweet. Menunggu waktu yang tepat untuk bisa mendapati kekasih sahabatnya sendiri."
Mata Hana melotot tajam, Viera terkekeh geli. Aruna mungkin tidak tahu, dan tidak melihat bagaimana cara Hana menatap sang kapten basket. Terlihat memuja, dan ingin memiliki.
"Apa maumu, huh?" tanya Hana menekan nada yang keluar dari bibirnya.
Viera mengangkat kedua sisi bahunya acuh tak acuh, lagi-lagi tersenyum.
"Kamu jelas tau apa yang aku mau, Hana," jawab Viera santai.
"Kamu mau Aruna cerai sama Mas Jakson?"
"No, bukan cuma itu. Aku ingin Aruna kehilangan banyak hal, kehilangan Raka yang amat dia cintai. Dirampas oleh sahabatnya sendiri, lalu diceraikan oleh Mas Jakson. Ditinggal oleh orang terkasih, dia akan menangis darah. Dikhianati oleh sahabat paling dia sayangi, dan ditinggalkan oleh Raka," ujar Viera, tatapan matanya mengelap.
"Merampas," gumam Hana masih dapat didengar oleh Viera, "jauh sebelum dia jadi pacarnya Aruna. Raka sudah aku cintai diam-diam, lantas di mana datangnya aku merampas Raka. Sedari awal, Raka harusnya jadi milikku."
Viera tidak peduli bagaimana perasaan Hana, siapa yang lebih dahulu jatuh cinta. Serta siapa yang mendapat Raka, yang dia inginkan hanya satu. Kehancuran Aruna, suara pintu toilet terbuka, keduanya serentak membawa atensi ke arah gadis yang baru saja masuk.
"Han! Kamu ko—eh." Aruna berhenti berbicara saat melihat siapa yang berada di samping Hana.
Viera melangkah melewati Aruna begitu saja, Hana mendesah kasar. Aruna melirik pintu yang tertutup, lalu bergerak menatap Hana.
"Kamu nggak apa-apa 'kan? Viera nggak nyakitin kamu, 'kan Hana? Apa yang terjadi? Kenapa dia ada di sini sama kamu?" Aruna membombardir Hana dengan pertanyaan saat kakinya diayunkan melangkah mendekati Hana.
Hana mengeleng, tak lupa menyunggingkan senyum lembut. "Aku baik-baik aja, di sini toilet kampus. Tentu aja bisa ketemu dia di sini secara nggak sengaja."
Aruna menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, ia lupa. Karena Hana terlalu lama di toilet, Aruna memutuskan menyusul. Hana merangkul bahu Aruna.
"Ayo, udah mau sore. Kita mendingan balik aja." Hana menarik Aruna untuk keluar dari toilet.
Aruna mengangguk, melangkah bersama Hana keluar dari dalam toilet tanpa bertanya lebih jauh lagi. Tidak curiga, apa yang dibicarakan oleh keduanya.
Bersambung...
sehat sll Thor 🤗